Latihan Perang Berakhir, Putin Pilih Invasi Ukraina atau Tidak
Latihan perang Rusia-Ukraina dan Olimpiade Musim Dingin di Beijing berakhir hari ini. Apakah langkah Rusia selanjutnya terhadap Ukraina?
Intensitas kontak senjata di Donbas, wilayah yang meliputi Donetsk dan Luhansk di Ukraina timur, antara separatis dukungan Rusia dan militer Ukraina, semakin tinggi dalam tiga hari ini. Situasi makin memanas dan dikhawatirkan memicu perang terbuka antara Rusia dan Ukraina.
Kontak senjata di Ukraina timur meningkat sejak beberapa hari lalu hingga beberapa jam menjelang berakhirnya latihan perang Rusia-Belarus dan latihan solo Angkatan Laut Rusia di Laut Hitam, Minggu (20/2/2022). Hari ini Olimpiade Musim Dingin di Bejing juga ditutup, tetapi apa hubungannya dengan Ukraina?
Latihan perang Rusia-Belarus di utara Ukraina, penempatan pasukan Rusia dan milisi pro-Rusia di timur dan Angkatan Laut Rusia di selatan memang telah membuat Ukraina terkepung. Terhadap latihan itu, kekuatan Barat, termasuk Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), menilainya sebagai kemungkinan persiapan invasi Rusia ke Ukraina.
Baca Juga: Ukraina Timur Semakin Tegang, Rusia Bersiap Uji Rudal Balistik
Di sisi lain, saat Putin bertemu Presiden China Xi Jinping dan menghadiri pembukaan Olimpiade, 4 Februari lalu, pejabat dan analis Barat menilai Olimpiade hanya menunda rencana invasi. Artinya, pasca-Olimpiade dan meraih dukungan China, ada dugaan, Rusia semakin yakin untuk menginvasi Ukraina.
Sekarang, setelah latihan perang Rusia dan Olimpiade Musim Dingin usai, apakah langkah Putin selanjutnya? Jika benar Olimpiade menunda sementara rencana invasi dan latihan perang Rusia adalah persiapan akhir, apakah kini waktunya bagi Putin untuk memilih menyerang Ukraina, atau tidak?
Presiden Perancis Emmanuel Macron, Minggu (20/2/2022), menelepon Putin untuk mencoba mencegah Rusia menginvasi Ukraina. Komunikasi itu terjadi ketika ribuan warga sipil dievakuasi dari garis depan di Ukraina timur.
Kremlin menegaskan pihaknya tidak memiliki rencana penyerangan. Namun, Rusia telah melakukan latihan penembakan rudal berkemampuan nuklirnya, Sabtu kemarin. Langkah itu bukan untuk meredakan ketegangan, tetapi justru menimbulkan kecemasan baru.
”Setiap indikasi menunjukkan bahwa Rusia merencanakan serangan penuh terhadap Ukraina,” kata Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg. Presiden AS Joe Biden dua hari lalu meyakini bahwa Putin telah membuat keputusan untuk melakukan invasi dalam satu dua hari ke depan.
Dukungan terhadap Rusia
Mari kita melihat mengapa Barat meyakini Rusia siap menyerang Ukraina. Kita perlu melihat peta dukungan dan kekuatan Rusia untuk Ukraina. Rangkuman pendapat dari sejumlah analis menunjukkan, empat negara mendukung Rusia, yakni Belarus, China, Iran, dan Korea Utara.
Baca Juga: Ukraina Timur Memanas, Putin Pimpin Uji Rudal-rudal Andalan Rusia
Pengamat Timur Tengah di Iran, Mohsen Jalilvand, kepada Aftab News yang dikutip situs berita Iran International mengatakan, Belarus, China, dan Iran mendukung Rusia terkait isu Ukraina. Namun, pemerhati kebijakan luar negeri dan mantan diplomat, Kourosh Ahmadi, meragukan keterlibatan Iran.
Ahmadi kepada situs berita Entekhab, juga dikutip oleh Iran International, mengatakan bahwa dia menyangsikan Iran akan secara terbuka mendukung serangan ke Ukraina. Menurut dia, Iran juga tidak mendukung pendudukan ilegal Rusia di Crimea pada 2014.
Sementara itu, surat kabar militer AS, Stars and Stripes, melaporkan, Korut menuntut AS menghentikan ”kebijakan bermusuhan yang bertujuan mengisolasi dan melemahkan” Rusia. Pyongyang telah mengkritik peran AS dalam meningkatkan ketegangan di Ukraina dengan memaksakan keanggotaan Ukraina di NATO.
Baca Juga: Rusia Bisa Menang di Ukraina Tanpa Todongan Senjata
Menurut situs berita Aljazeera, Kroasia adalah ada satu negara yang berdiri di persimpangan jalan karena mengirim pesan yang beragam terkait Ukraina. Presiden Zoran Milanovic mengatakan, Kroasia akan menarik diri dari Ukraina jika ”salah satu negara paling korup di dunia” itu berkonflik dengan Rusia.
”Ini semua terjadi di halaman depan Rusia,” kata Milanovic. Dia juga menambahkan, kesepakatan harus dicapai ”dengan mempertimbangkan kebutuhan keamanan Rusia”.
Namun, Perdana Menteri Kroasia Andrej Plenkovic kemudian membantahnya. ”Saya ingin meminta maaf kepada Ukraina atas nama Pemerintah Kroasia,” katanya. Plenkovic menegaskan, Ukraina pada 1991 adalah salah satu negara pertama yang mengakui negara Kroasia setelah pecah dari Yugoslavia.
Sejauh ini Belarus dan China secara terbuka menyatakan dukungan mereka. Belarus membentang karpet merah bagi militer Rusia untuk menggelar latihan militer bersama di Brest, wilayah barat Belarus yang berbatasan langsung dengan Polandia dan Ukraina.
Awalnya, lebih dari 30.000 tentara Rusia dikerahkan untuk latihan yang dimulai pada 10 Februari itu. Tidak terungkap berapa banyak tentara Belarus yang terlibat. Latihan itu menyertakan rudal-rudal S-400, sistem senjata antipesawat generasi baru Rusia, dan jet-jet tempur multiperan Shukoi Su-25.
Baca Juga: Barat Sebut Tak Ada Penarikan Pasukan, Rusia Justru Siap Serang Ukraina
Belakangan Rusia menambah 7.000 tentaranya ke dekat perbatasan Ukraina. Pejabat AS, seperti dilaporkan BBC News, mengatakan, Rusia telah menempatkan 169.000 hingga 190.000 tentara di dekat perbatasan Ukraina sehingga dapat menyerang kapan saja. ”Bukti ini menunjukkan Rusia sedang merencanakan perang terbesar di Eropa sejak 1945,” kata Perdana Menteri Inggris Boris Johnson.
Ukraina sendiri mengerahkan 10.000 tentara untuk latihan militer mengimbangi latihan perang Rusia. Kekuatan Barat, terutama NATO, juga menambah pasukannya di beberapa negara tetangga Ukraina. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, Presiden AS Joe Biden meyakini bahwa Putin sudah memutuskan untuk menginvasi Ukraina, seperti dilaporkan Foreign Policy.
Bagimana dengan China? Saat Putin menghadiri pembukaan Olimpiade, Barat menduga pesta olahraga musim dingin itu hanya menunda rencana invasi Rusia, yang secara potensial bisa terjadi, ke Ukraina. Barat mengkhawatirkan invasi bisa terjadi setelah China menutup Olimpiade.
Putin mencari dukungan Xi setelah NATO yang dipimpin AS menantang Rusia, yang diduga kuat sedang bersiap menginvasi Ukraina. AS semula dilaporkan telah menggeser 3.000 tentaranya memperkuat NATO di wilayah Eropa Timur setelah Rusia mengumpulkan puluhan ribu tentaranya di dekat Ukraina.
Dalam pertemuan di Beijing, Presiden Xi menyampaikan dukungan terhadap Presiden Putin. Dukungan itu penting bagi Putin dalam menghadapi pertikaiannya dengan Barat atas Ukraina. Namun, tidak diungkapkan dukungan macam apa yang akan diberikan Beijing kepada Moskwa.
Namun, yang diketahui adalah Beijing setuju dengan Moskwa bahwa Barat, terutama NATO, tidak boleh memperluas aliansi ke Eropa timur. Xi dan Putin menuntut agar ”kedaulatan, keamanan, dan kepentingan negara lain” dihormati. Keduanya menentang ekspansi lebih lanjut NATO dan menyerukan aliansi Atlantik Utara untuk meninggalkan pendekatan ideologis Perang Dingin.
Baca Juga: Tiga Kecenderungan Perang Dingin Terulang di Ukraina
Perlu dipahami soal hubungan militer China-Rusia. Keduanya tidak memiliki hubungan kerja sama militer. Dengan kata lain, ketika satu pihak berperang, pihak lain tidak memiliki perjanjian atau kewajiban hukum untuk membantunya. Ini berbeda dengan aliansi militer AS dan sekutu NATO.
Oleh karena itu, jika Rusia dan Ukraina berperang, China tidak memiliki kewajiban mendukung Rusia. Selama krisis Crimea delapan tahun lalu, China tidak secara terbuka mendukung posisi Rusia. Lantas apa artinya ketika 4 Februari lalu Presiden Xi menyatakan dukungannya terhadap Presiden Putin?
Mu Chunshan, jurnalis di Beijing dalam artikelnya di The Diplomat, mengatakan, nuansa dukungan China berfokus pada keamanan Moskwa yang harus dijamin Barat dan NATO. Mu terlibat proyek Kementerian Pendidikan China untuk meneliti pengaruh media asing dalam membentuk citra China.
”Semua orang tahu, China juga menghadapi tekanan dan ancaman keamanan dari AS di Asia Pasifik. Tidak mengherankan jika Beijing akan mendukung Rusia dalam menghadapi tekanan serupa. Namun, ini tidak sama dengan China menyetujui invasi Rusia terhadap Ukraina,” kata Mu.
Kekuatan tak sebanding
Bagaimana dengan Rusia sendiri? Apakah Rusia sedang mempersiapkan invasi penuh ke Ukraina? Moskwa menampik rencana invasi sebagai provokasi Barat. Namun, penumpukan tentara dan logistik serta penggunaan separatis seperti hendak mengulangi kisah sukses menduduki Donbas dan menganeksasi Crimea pada 2014.
Baca Juga: Semakin Kuat Barat Menekan, Rusia Semakin Nekat
Dari sisi jumlah personel militernya, Rusia lebih unggul dan Ukraina ketinggalan jauh. Berdasarkan data 2021, Rusia memiliki 1 juta tentara aktif dan 250.000 tentara cadangan. Tentara angkatan daratnya 280.000 orang. Sementara Ukraina memiliki 250.000 tentara aktif dan 250.000 tentara cadangan, serta 180.000 tentara angkaran darat.
Begitu pula dari persenjataan, Rusia jauh lebih unggul dibandingkan Ukraina (baca e-paperKompas, halaman 4, edisi 18 Februari 2022). Rusia memiliki 12.420 tank, 30.122 kendaraan lapis baja, 772 jet tempur, 544 helikopter penyerang, 11 kapal fregat, dan 15 kapal perusak. Ukraina memiliki hanya 2.596 tank, 12.303 kendaran lapis baja, 69 jet tempur, 34 helikopter penyerang, 1 fregat, dan tak memiliki kapal perusak.
Namun, Ukraina mengandalkan pasukan NATO yang ada di Estonia, Polandia, Latvia, dan Lituania berjumlah sekitar 4.800 personel. Juga pasukan AS yang berada di Polandia, Lituania, dan Romania sekitar 7.050 orang. Dengan demikian, total pasukan NATO dan AS sekitar 11.850 orang. AS telah menempatkan 16 jet F-15 dan Denmark 4 jet F-16 di Polandia.
Dari sekilas peta kekuatan itu, Putin bisa saja memilih menginvasi Ukraina walau telah dibantah Kremlin. Jika Putin menyerang Ukraina, ada kerugian militer, ekonomi, dan perdagangan yang besar bagi Rusia. Juga risiko politik bagi pribadi Putin; bisa semakin tidak populer di dalam negeri jika invasi membawa banyak kematian pada ”bangsa bersaudara” yang disebut ”Rusia kecil” itu.
Moskwa juga bakal menghadapi banyak sanksi baru dari Barat walau hal itu sangat diremehkan oleh diplomat Rusia. Moskwa tidak takut dengan berbagai sanksi Barat karena sebaliknya telah terbukti bahwa sanski-sanksi yang diterima Rusia justru semakin membuat negara itu mandiri di berbagai bidang, termasuk industri, pertanian, persenjataan, dan kedirgantaraan.
Baca Juga: Alasan Ukraina Hindari Rusia dan Pilih Bersandar ke Barat
Putin bisa saja memilih tidak, tetapi dengan sejumlah syarat yang harus dipenuhi Ukraina, Barat, atau NATO. Ukraina diminta menghormati Protokol Minks, sebuah perjanjian antara Rusia dan Ukraina yang dimediasi Jerman dan Perancis pada 2015. Perjanjian itu dibuat untuk meredakan pertempuran di Ukraina timur melalui gencatan senjata. Namun, pertempuran terbaru menodai kesepakatan itu.
Selain itu, NATO didesak Moskwa untuk menghentikan upaya mengakomodasi Ukraina menjadi anggota aliansi militer Barat itu. Moskwa juga menuntut NATO tidak memperlebarkan sayapnya ke Eropa Timur atau negara-negara bekas Uni Soviet dan menarik semua kekuatannya dari kawasan itu.
Tuntutan Moskwa itu telah ditolak oleh Barat. Namun, komunikasi diplomasi intensi yang dilakukan pemimpin Perancis, Inggris, dan Jerman ke Moskwa diharapkan bisa menjadi sebuah resolusi konflik. (AFP/AP/REUTERS)