Tiga Kecenderungan Perang Dingin Terulang di Ukraina
Prioritas tertinggi AS harus mencegah perang dan memastikan Ukraina tetap menjadi negara bebas.
Tidak lama setelah Presiden Rusia Vladimir Putin menerima Kanselir Jerman Olaf Scholz di Moskwa, Selasa (15/2/2022), Rusia mengklaim telah menarik sebagian pasukannya dari wilayah Belarus, dekat perbatasan Ukraina. Pertemuan Putin-Scholz itu adalah untuk membahas situasi di Eropa dan keamanan kawasan, termasuk isu Ukraina.
Kementerian Pertahanan Rusia memperkuat klaim dengan merilis potongan video yang memperlihatkan sejumlah tank dan kendaraan lapis baja lainnya diangkut dengan kereta api untuk ditarik pulang ke Rusia. Penarikan itu terjadi di tengah latihan militer bersama Belarus di Brest, wilayah Belarus yang berbatasan langsung Ukraina dan Polandia.
Moskwa mengatakan, penarikan sebagian pasukannya itu untuk menurunkan ketegangan dengan Barat di Ukraina. Kekuatan Barat, termasuk aliansi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), meragukan klaim Rusia itu karena belum terverifikasi. Apalagi karena latihan perang dengan Belarus masih berlanjut hingga 20 Februari 2022.
Presiden Joe Biden, seperti dilaporkan situs harian The New York Times, mengatakan bahwa AS belum memverifikasi penarikan pasukan Rusia dari perbatasan Ukraina. Dalam pidato dari Gedung Putih, Selasa atau Rabu dini hari WIB, Biden mengatakan bahwa AS belum memastikan beberapa unit militer Rusia yang meninggalkan perbatasan Ukraina dan kembali ke pangkalan mereka.
Baca juga : Warisan Perang Dingin di Ukraina
Terlepas dari isu pengurangan personel militer Rusia dari perbatasan Ukraina itu, latihan perang bersama Rusia-Belarus jelas belum berakhir. Penumpukan tentara Rusia di sekitar Ukraina tetap tak terhindarkan. NATO sendiri juga telah menambah pasukannya persis di saat Rusia mengklaim telah mengurangi pasukannya dari Brest, Belarus.
Inti dari krisis antara Barat dan Rusia di Ukraina adalah perebutan pengaruh antara Moskwa dan Washington di negara pecahan Uni Soviet itu, yang diikuti pengerahan pasukan mereka. Putin mengerahkan pasukan dan menyiratkan untuk menyerang, kecuali jika Barat menjamin Ukraina takkan pernah bergabung dengan NATO. Barat telah menolak permintaan itu.
Dari sudut kebijakan politik luar negeri, analis melihat situasi itu sebagai kecenderungan Perang Dingin era Truman (1947-1953) bakal terulang. James Traub, kolumnis Foreign Policy dan peneliti tamu di Center on International Cooperation, New York University, AS, melihat tiga kecenderungan di era Perang Dingin muncul kembali dalam isu Ukraina saat ini.
Tiga kubu di AS
Menurut Traub, pada awal Perang Dingin 1947 atau 75 tahun silam, para pemikir kebijakan luar negeri AS terbagi dalam tiga kubu ketika mereka berusaha merespons ancaman ekspansi Uni Soviet. Kubu kiri saat itu dipimpin oleh politisi Henry Wallace; kubu kanan dimotori filsuf James Burnham; dan di kubu tengah terdapat presiden AS saat itu, Harry Truman.
Kubu Henry Wallace, calon dari Partai Progresif dalam Pemilihan AS 1948, berpendapat bahwa Barat, termasuk AS, agar mengakomodasi apa yang dianggap masalah keamanan sah pemimpin Uni Soviet saat itu, Joseph Stalin, atas sisi barat negaranya. Blok kanan bersikeras, Stalin berambisi mendorong revolusi dunia dan harus dihentikan.
Baca juga : Rusia Bisa Menang di Ukraina Tanpa Todongan Senjata
Sedangkan kelompok tengah, termasuk negarawan AS yang merupakan Presiden AS Harry Truman, memandang Uni Soviet sebagai kekuatan agresif yang sangat berbahaya. Namun, kelompok Truman berpendapat, ekspansi Uni Soviet dapat "dikendalikan" (ditahan) sampai rezim Stalin melunak atau sirna.
Kini, ketika Putin mengancam untuk menyerang Ukraina, tiga kecenderungan Perang Dingin itu muncul lagi. Kolumnis Peter Beinart, dalam artikelnya di The New York Times, 13 Januari 2022, memilih mengakomodasi (upaya penghentian konflik antara kelompok-kelompok yang saling bertentangan), dengan alasan Putin sedang menegaskan hak kekuasaan atas tetangga dekatnya yang menjadi sekutu Amerika.
Di sisi lain, pakar kebijakan luar negeri Kori Schake dalam tulisannya di The Times, 11 Februari 2022, telah menyarankan kepada Presiden Joe Biden untuk menempatkan pasukan AS di Ukraina. Langkah itu sebagai bukti bahwa Amerika memang tidak mau menyerah begitu saja kepada revanchism (kebijakan untuk berupaya menyerang balik, terutama untuk merebut kembali wilayah yang dianggapnya lepas) Rusia. Namun, AS tidak melakukan karena dapat memicu perang terbuka.
Sebaliknya, menurut Traub, Biden sudah menyerupai Truman dalam banyak aspek. Biden saat ini tampaknya sedang merekapitulasi peran Perang Dingin-nya Truman. Namun tidak jelas apa artinya–jika ada– “pengendalian” dalam krisis Ukraina saat ini.
Traub mengatakan, AS tidak bisa menyerah pada tuntutan Putin tanpa menerima pandangan dunia yang secara radikal bertentangan dengan pandangannya sendiri. Sebab, keyakinan Putin mengenai haknya untuk mengendalikan negara-negara tetangga mencakup gagasan bahwa negara-negara yang lebih kecil tidak menikmati hak berdaulat yang sama dengan kekuatan besar.
Jangan bertaruh
Terkait dengan pengerahan pasukan AS di Ukraina dan langkah Putin yang menantang untuk mengambil risiko perang, AS dan sekutu Barat seharusnya tidak boleh membuat taruhan yang tidak bisa mereka tanggung. AS tidak perlu meragukan ketulusan dan keyakinan kuat Putin bahwa Barat sedang berusaha memagari Rusia dari Eropa, yang membuat Putin kehilangan permainan zero-sum.
Baca juga : Alasan Ukraina Hindari Rusia dan Pilih Bersandar ke Barat
Namun, Perang Dingin tidak menawarkan analogi tunggal untuk situasi di Ukraina saat ini. Sebab saat Perang Dingin, Soviet hanya beroperasi dalam lingkup yang diterima Barat. Misalnya, Truman mengakui kudeta Soviet di Cekoslowakia pada 1948. Sebaliknya, Soviet memahami ketika Presiden AS Dwight D Eisenhower pada 1956 memainkan perannya dalam revolusi Hongaria.
Sebaliknya, saat ini Ukraina merupakan negara merdeka yang kemerdekaannya justru tidak diterima dengan tulus oleh Putin. Dia ingin menempatkan Ukraina dalam orbit Rusia. Namun, Ukraina memiliki hak untuk membentuk kebijakan luar negeri yang independen. Para analis mengatakan, harus ditemukan cara bertindak dan berbicara yang mengakui realitas agresi Rusia tanpa melegitimasinya.
Dengan demikian, wacana "Finlandisasi" Ukraina atau negara pecahan Soviet lainnya, termaskuk Georgia, hampir mungkin takkan diterima Putin. Memaksakan netralitas pada suatu negara yang tidak mau menerimanya, hanya demi menenangkan musuh besar berbahaya, Rusia, akan menjadi langkah berisiko seperti menuruni lereng yang sangat licin.
Hal yang sama mungkin tidak berlaku untuk solusi regional. Misalnya, negara-negara pecahan Soviet secara sukarela menerima status “nonblok” dengan imbalan jaminan keamanan, seperti yang ditawarkan ilmuwan politik Samuel Charap di Foreign Affairs, 7 Februari 2022.
Barat tidak tahu pasti, apakah Putin benar-benar hanya menginginkan kepastian atas apa yang ingin dia klaim, termasuk kini dalam kasus Ukraina. Rancangan perjanjian sepihak yang diedarkan Moskwa pada Desember 2021 berisi serangkaian tuntutan agar diplomasi dapat dimoderasi dan diubah menjadi konsesi timbal balik.
Baca juga : Mencermati Intensi Kremlin di Ukraina
Langkah Washington yang mengakui bahwa NATO tidak memiliki rencana untuk menerima keanggotaan Ukraina dalam waktu dekat, mungkin dapat melunakkan sikap Putin. Sebab jika memasukkan Ukraina sebagai anggota NATO, Barat akan terikat komitmen menjamin pertahanan Ukraina. Maka, komitmen itu sebaiknya tidak perlu diwujudkan untuk menghindari serangan atau invasi militer Rusia terhadap Ukraina.
Prioritas tertinggi AS harus mencegah perang dan memastikan Ukraina tetap menjadi masyarakat bebas. Langkah yang sama yang mesti dilakukan Rusia dengan menerima kenyataan bahwa Ukraina dapat menjadi negara penyangga yang mempertemukan dua kekuatan, AS dan Rusia, tanpa rasa saling curiga seperti halnya. Peran ini telah dimainkan Finlandia pada masa Perang Dingin.
Apakah itu mungkin? Sangat mungkin jika dilandasi bangunan komunikasi diplomasi yang setara dan saling menghargai.