Jika polarisasi konflik dalam krisis Ukraina ini adalah antara NATO di satu pihak dan Rusia di pihak lain, maka formasi ini amat mirip dengan polarisasi Perang Dingin.
Oleh
TULUS WARSITO
·4 menit baca
Masih di tengah pandemi era Omicron, beberapa minggu belakangan ini dunia dihebohkan oleh krisis Ukraina. Ada yang mengatakan bahwa hal ini terjadi karena ambisi Rusia yang ingin mencaplok Ukraina setelah mereka berhasil menguasai Krimea pada tahun 2014. Ada juga yang mengatakan ini adalah ambisi NATO untuk merangkul sebanyak mungkin negara-negara Eropa Timur sebagai sekutu militernya. Ada pula yang berpendapat, mengingat mobilisasi kekuatan militer kedua belah pihak, NATO dan Rusia, ada kemungkinan akan terjadi Perang Dunia ketiga.
Tidak sedikit yang berspekulasi bahwa krisis Ukraina salah satu sebabnya adalah karena presidennya adalah seorang pelawak, yang sejak pelantikannya sebagai presiden tahun lalu selalu menimbulkan kontroversi politik. Walaupun terkenal rendah hati dan sangat popular di masyarakat, langkah-langkah politik Volodymir Zelensky sering membuat kontraksi dalam birokrasi.
Tulisan singkat ini ingin menjelajah lebih jauh tentang: apakah dugaan-dugaan di atas memiliki kebenaran dalam kaitannya dengan krisis Ukraina kali ini? Jika kedua belah pihak bersikeras tidak mau mundur, mungkinkah Perang Dunia Ketiga akan terjadi karena? Solusi apa yang paling sesuai untuk dapat mengakhiri krisis ini?
Jika polarisasi konflik dalam krisis Ukraina ini adalah antara NATO di satu pihak dan Rusia di pihak lain, maka formasi ini amat mirip dengan polarisasi Perang Dingin. Rusia seolah berperan sebagai Uni Soviet setelah berhasil mewarisi hak veto di Dewan Keamanan (DK) PBB, dan dengan mudah manarik kembali wilayah Krimea, sementara Barat melalui NATO menganggap Ukraina sebagai mangsa yang ranum untuk dipeluk menjadi bagian sekutu militer menghadapi Rusia.
Jurus keroyokan NATO itu merefleksikan bahwa Rusia dipersepsi sebagai kekuatan yang begitu besar bak Uni Soviet sebelum runtuh. Oleh karena itu kedua belah pihak sama benarnya.
Bagi Barat, ekspansi NATO adalah penting (karena dibayangi kompetisi ala Perang Dingin). Sedangkan bagi Rusia, Ukraina merupakan satu-satunya negara pecahan Uni Soviet yang paling konfrontatif, yang secara terbuka ingin bergabung dengan NATO dan dipimpin oleh komedian yang sulit diterka perilakunya. Ancaman itu semakin kuat karena posisi geografis Ukraina berbatasan langsung dengan Rusia dan merupakan wilayah paling strategis bagi Rusia untuk mengakses wilayah Eropa Selatan dan Laut Tengah.
Mirip dengan Perang Dingin dalam hal bipolarisasi kekuatan militer (Barat/NATO vs Rusia), tetapi tidak dalam hal perbandingan jumlah negara maupun kekuatan militer. Di luar kepala semua pihak mudah membenarkan bahwa walaupun Rusia merupakan negara dengan kekuatan militer yang prima, tetapi dipastikan jumlah fasilitasnya kalah banyak dengan kekuatan militer seluruh negara anggota NATO. Hal ini mengartikan bahwa krisis yang berlangsung bukanlah antara Ukraina melawan Rusia, melainkan Rusia menghadapi NATO.
Krisis yang berlangsung bukanlah antara Ukraina melawan Rusia, melainkan Rusia menghadapi NATO.
Perbandingan kuantitatif militer itu seolah-olah mengindikasikan bahwa peluang kemenangan ada di pihak NATO. Tetapi perlu digarisbawahi bahwa kemungkinan perang kali ini bukanlah perang tradisional, melainkan perang nuklir. Dalam perang nuklir perbandingan kekuatan militer tidak lagi bersifat kuantitatif, melainkan bersifat kualitatif eksistensial.
Dalam formula lama, siapa yang memiliki kuantita kekuatan yang lebih besar boleh jadi berpeluang memenangkan peperangan. Formulasi yang agak baru mempercayai bahwa pihak yang secara kualita lebih ampuh, dialah yang menang. Sedangkan dalam perang nuklir, siapa pun yang punya senjata nuklir, walaupun cuma satu, sama peluangnya dengan yang memiliki lebih banyak.
Kalau perang tradisional sering dianggap sebagai Zero Sum Game, yaitu permainan yang jumlahnya nol, karena selalu ada yang menang (+1) dan yang kalah (-1). Sedangkan dalam perang nuklir, walaupun juga bisa disebut sebagai Zero Sum Game, tetapi formasinya bukan lagi +1-1=0 melainkan 0 + 0= 0, karena semua pihak akan hancur, semua menjadi nol.
Perang nuklir adalah Neo Zero Sum Game yang semua pihak (terutama para pemilik senjata nuklir) sangat mempercayai kemungkinan itu. Oleh karena itu, kalau semua pemimpin yang terlibat dalam krisis Ukraina itu masih memiliki rasionalitas lazimnya pemimpin dunia, perkara Ukraina ini harus dipotret sedetail itu, bukan sekadar persekutuan militer Eropa, maupun kegenitan republic comedian, melainkan sebagai sesuatu yang berdampak global.
Netralisasi Ukraina
Kalau begitu apa yang seharusnya dilakukan oleh para pihak dalam krisis Ukraina ini? Dari perspektif politik internasional, pertimbangan aspek sosial, ekonomi, maupun stabilitas politik global, resolusi moderat yang paling mungkin adalah membiarkan (atau memaksa) Ukraina sebagai negara netral, sebagai negara penyangga stabilitas politik Eropa (khususnya) dan dunia secara keseluruhan.
Dalam konsep semacam itu, Ukraina sebaiknya tidak memunculkan sikap yang mengindikasikan potensi konflik di level apapun. Kalau Ukraina tidak bisa menjaga diri seperti itu, tentara NATO maupun Rusia akan bernasib seperti waktu Perang Dingin.
Tulus Warsito, Guru Besar Politik Internasional, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta