Alasan Ukraina Hindari Rusia dan Pilih Bersandar ke Barat
Sebagai negara yang sudah merdeka 31 tahun lalu, Ukraina tidak ingin tunduk pada tekanan Kremlin atau negara lain dalam urusan kebijakan luar negeri atau domestiknya.
Setelah meraih dukungan China, Rusia diperkirakan merasa tak sendiri lagi dalam menghadapi pertikaian dengan Barat terkait pengerahan militer untuk menekan Ukraina. Kini, para pemimpin dan analis Barat fokus pada spekulasi tentang apa yang terjadi setelah Presiden Rusia Vladimir Putin kembali dari Beijing, atau setelah Olimpiade Musim Dingin berakhir pada 20 Februari.
Apakah Rusia akan menyerang Ukraina jika pada akhirnya Barat memasukkan Ukraina ke dalam anggota aliansi militer Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan blok Uni Eropa (UE)? Lalu, apakah NATO yang dipimpin Amerika Serikat (AS) akan membalas Rusia? Kiev terus berharap kepada Barat agar Ukraina segera diterima masuk NATO dan UE.
Mengapa Rusia tidak senang jika Ukraina bergabung dengan Barat? Bukankah itu pilihan bebas sebuah negara merdeka untuk menentukan pilihannya? Mungkin kita perlu melihat bagaimana sejenak cara pandang Putin tentang Ukraina, yang menjadi panduan bagi orang-orang Rusia, termasuk militernya.
Presiden Putin dalam tulisannya berjudul ”On the Historical Unity of Russians and Ukrainians” di laman resmi Kremlin, 12 Juli 2020, menyebutkan, Rusia dan Ukraina adalah bangsa bersaudara. Rusia disebut Velikorossy (Rusia Besar) dan Ukraina disebut Malorossy (Rusia Kecil). Mereka berpikiran sama tentang Belarus, yang disebut Belorusy (Rusia Putih).
Baca juga : Rusia Raih Dukungan China untuk Ukraina, Tantangan Hegemoni AS di Eurasia
Ketika Rusia pada masa lalu menjadi monarki atau kekaisaran tahun 1547, penguasanya diberi gelar resmi sebagai tsar vseya Rusi atau ”penguasa dari semua orang Rusia”. Menurut pemerintah Tsar, orang Ukraina selalu berarti orang Rusia dan tidak punya sejarah sendiri. Bahasa Ukraina dan Belarus dilarang. Nasionalisme Ukraina adalah ancaman bagi ”semua orang Rusia”.
Lima tahun sebelum menerbitkan artikel itu, Putin dalam pidato pada April 2005 mengatakan bahwa runtuhnya Uni Soviet pada Desember 1991 adalah bencana geopolitik terbesar abad ini. Kata Putin, bencana itu mendorong gerakan separatis di Rusia, seperti dikutip NBC News. Putin tampaknya berusaha tampil lagi sebagai tsar (penguasa) yang dapat mempersatukan lagi semua orang Rusia.
”Dia ingin dicatat dalam buku-buku sejarah sebagai pemersatu negeri Rusia—jika tidak di bawah pemerintahan yang sama, pasti sebagai hegemoni Rusia,” kata Kristaps Andrejsons, jurnalis Latvia dan pembuat siniar The Eastern Border tentang Uni Soviet dan Rusia, dalam artikelnya di Foreign Policy, 6 Februari 2022.
Setelah menganeksasi Crimea di Ukraina timur pada awal 2014, Putin menekankan lagi tentang pentingnya reunifikasi, yang disebutnya ”pulang ke rumah”. Kemungkinan besar, dalam pesan reunifikasi yang sama, Putin saat ini mengumpulkan 10.000 personel tentaranya di dekat Ukraina untuk menekan negara itu agar tidak bergabung dengan NATO. Barat menduga sebagai rencana invasi.
Sekalipun demikian, Pemerintah Ukraina melihat keruntuhan Uni Soviet bukanlah bencana geopolitik terbesar abad ke-20. Bahkan, bubarnya Uni Soviet oleh rakyat Ukraina dilihat sebagai jalan pembebasan, seperti ditulis Menteri Luar Negeri Ukraina Dmytro Kuleba di Foreign Affairs, 2 Agustus 2021.
Mengingat posisinya yang strategis di pemerintahan Ukraina, pandangan dan pernyataan Kuleba tentu saja mewakili negaranya. Kuleba menilai, lewat opini ”On the Historical Unity of Russians and Ukrainians”, Putin menyebarkan narasi sejarah palsu bahwa Ukraina dan Rusia adalah satu bangsa atau menurut istilah Putin ”bangsa bersaudara” (brother nations).
Lihat video : Warga Sipil Ukraina Latihan Militer Bersama Hadapi Rusia
Kuleba menegaskan, kini tidak ada lagi ”ruang pasca-Soviet”, sebutan yang merujuk pada wilayah yang terbentang dari Eropa Tengah hingga Asia Tengah pasca-keruntuhan Uni Soviet. Negara-negara Barat harus berhenti melihat wilayah pecahan Soviet sebagai lingkup ”ruang pasca-Soviet”.
Jika konstruksi geopolitik ini sudah usang, lalu kerangka apa yang harus menggantikannya? Juga, perubahan apa yang dibutuhkan dari kebijakan luar negeri AS dan sekutunya atas pergeseran tersebut?
Dalam kasus Ukraina, menurut Kuleba, UE menerima dan mengakui negara ini sebagai bagian dari Barat. Sudah waktunya AS dan UE menetapkan peta jalan yang jelas bagi Ukraina untuk akhirnya bergabung dengan NATO dan UE.
Sejak Uni Soviet pecah menjadi 15 negara merdeka, terjadi laju perubahan berbeda-beda dari setiap negara. Beberapa negara, seperti Belarus, justru mengalami perlambatan dalam perkembangannya dan bahkan mempertahankan warisan Soviet. Beberapa negara lain mengalami perubahan yang cepat dalam sistem politik atau pemerintahannya.
Negara-negara Baltik dan bekas Pakta Warsawa meninggalkan masa lalu Soviet dan memilih berintegrasi dengan NATO dan UE sejak tahun 1990-an. Mereka merampungkan seluruh prosesnya pada 2004, tepat sebelum Rusia—negara yang dicap Kuleba sebagai imperialis—mulai bangkit kembali sebagai sebuah kekuatan dunia.
Hanya, Ukraina dan Georgia melewatkan momen bersejarah itu. Mereka akhirnya menderita akibat serangan militer Rusia dengan korban nyawa dan hilangnya sebagian wilayah. Dalam dua dekade terakhir, Putin berusaha mengembalikan kendali Moskwa di seluruh wilayah dengan melanggar perbatasan yang diakui secara internasional.
Baca juga : Dari Konflik di Ukraina, Asia Menebak Langkah AS
Namun, kata Kuleba, Kremlin belum mampu memutar kembali perjalanan waktu. Dengan mencoba membelokkan sejarah sesuai keinginannya, Putin memperkuat pasukan untuk menaklukkan wilayah yang diiginkan. Hal itu terlihat setelah aksi Rusia di Georgia pada 2008 dan di Ukraina pada 2014.
Di Ukraina dan di negara lain di kawasan, pemutusan hubungan dengan Moskwa akan terus berlanjut tidak peduli apa yang dikatakan Putin. Oleh karena itu, AS dan mitra Barat memiliki kesempatan untuk menyusun strategi ambisius di kawasan ini dengan kebijakan khusus yang disesuaikan dengan keadaan negara dan blok masing-masing.
Kuleba mengatakan, membawa Ukraina dan Georgia menjadi anggota NATO harus menjadi prioritas utama. Hal itu seperti yang dinyatakan NATO dalam komunike KTT Bucharest 2008 dan ditegaskan kembali di Brussels pada 2021. Namun, kini rencana itu telah mendapat penolakan keras dari Rusia, yang kini didukung China.
Menurut Kuleba, kedua negara itu telah berpartisipasi dalam kegiatan NATO sebagai Enhanced Opportunities Partners. Bersama Bulgaria, Romania, dan Turki, kontribusi Ukraina dan Georgia sangat penting untuk memastikan keamanan di Laut Hitam.
Di mata Barat, Rusia tumbuh semakin agresif di kawasan itu, yakni mengganggu rute perdagangan dan kebebasan navigasi, membangun kemampuan konvensional dan nuklir di Crimea, serta menggunakan wilayah itu sebagai pusat logistik untuk kegiatan militer di Timur Tengah.
Di luar kerja sama keamanan, Ukraina dan Georgia berkomitmen untuk memperdalam integrasi ekonomi dan politik dengan Eropa. Bersama dengan mitranya dari Moldova, menteri luar negeri Ukraina dan Georgia membentuk ”Associated Trio” di Kiev pada awal 2021 dengan tujuan mempercepat proses keanggotaan mereka di UE.
Lihat video : Ukraina Bersiap Hadapi Serangan Rusia
Bagi Eropa, terlibat dengan Associated Trio (Association Trio) merupakan peluang untuk meningkatkan posisi global UE dengan memperluas jangkauan nilai-nilai demokrasi dan memperkuat otot ekonominya. Bagi AS, kerja sama yang mendalam ini akan memenuhi tujuan Washington untuk menopang persatuan Trans-Atlantik dan memperkuat perbatasan timur Eropa yang demokratis.
Kedekatan geografis Ukraina dengan Rusia diharapkan tidak membatasi strategi Washington dan Brussels. Kekhawatiran tentang perbatasan bersama tidak membatasi China, yang telah memupuk hubungan dengan sejumlah negara yang secara historis telah jatuh ke dalam pengaruh Moskwa.
Keanggotaan Ukraina di NATO dan UE tidak hanya akan memperkuat kemajuan di Ukraina, tetapi juga akan membantu menyatukan Barat. Sebagai pemain di Eropa Tengah dan Timur serta di Laut Hitam, Ukraina memiliki banyak sumber daya yang kuat bagi NATO dalam urusan keamanan regional.
Mengapa Ukraina, juga beberapa negara pecahan Soviet lainnya, termasuk Georgia, lebih memilih Barat daripada Rusia yang memiliki ikatan budaya dan historis? Kuleba, seperti juga pejabat Pemerintah Ukraina lainnya, tidak menjelaskannya secara detail.
Namun, penjelasan Adam E Casey dari Weiser Center for Emerging Democracies di University of Michigan, AS, dan Seva Gunitsky, profesor Ilmu Politik di University of Toronto, Kanada, dalam opini mereka di Foreign Affairs, 4 Februari 2022, mungkin dapat dijadikan rujukan. Di bawah Putin, Rusia telah tumbuh menjadi negara yang dipimpin rezim personalis.
Casey dan Gunitsky mengatakan, rezim personalis artinya sistem otoriter di mana kekuasaan terkonsentrasi pada satu individu daripada di partai yang berkuasa atau elite militer. Rezim personalis sangat buruk, tidak memiliki saluran musyawarah terbuka dan prosedur institusional formal. Mereka berjalan lewat hubungan interpersonal dan pengaturan tidak resmi.
Putin, misalnya, lebih suka berunding selama pertemuan kecil dan santai. Dia sangat terobsesi dengan kerahasiaan sehingga tidak menggunakan telepon genggam. Hal ini membuat para analis sulit untuk memahami pola pembuatan kebijakannya. Namun, rezim personalis menghadapi lebih sedikit kontrol atas kekuasaan mereka daripada kepala negara lainnya.
Baca juga : Mencermati Intensi Kremlin di Ukraina
Para diktator personalis lebih sulit dihukum ketika kebijakan luar negeri mereka gagal. Secara kritis, mereka memilih lingkaran penasihat berdasarkan loyalitas daripada kompetensi, dikelilingi oleh para abdi yang loyal karena takut, yang memberi informasi terbatas, bias, dan terlalu optimistis.
Kiev tidak menyukai kepemimpinan jenis itu. Personalisme mungkin memberikan Putin keleluasaan di Rusia, sesuatu yang tidak dapat diterima sejumlah besar negara Barat. Sebagai negara yang sudah merdeka 31 tahun lalu, Ukraina juga tidak ingin tunduk pada tekanan Kremlin atau negara lain dalam urusan kebijakan luar negeri atau domestiknya. Ukraina berpaling ke Barat, yang dilihatnya lebih menghargai nilai-nilai demokrasi, seperti keterbukaan dan menghormati perbedaan pendapat.