Rusia Raih Dukungan China untuk Ukraina, Tantangan Hegemoni AS di Eurasia
Pendekatan Moskwa terhadap Beijing memberikan keuntungan diplomatik yang memperkuat posisi Rusia di Ukraina.
Pertemuan Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden China Xi Jinping, Jumat (4/2/2022) di Beijing, dilihat sebagai momen untuk memperkuat dukungan satu sama lain dalam menghadapi tekanan Barat. Beijing mendapat tekanan dalam isu pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang dan intimidasi agresif militernya ke Taiwan, sedangkan Moskwa terkait agresinya terhadap Ukraina.
Namun, kali ini kita hanya ingin fokus pada satu isu, yakni pendekatan Moskwa terhadap Beijing di tengah tekanan Barat di Ukraina. Hubungan Rusia-China menjadi sorotan ketika Putin terbang ke Beijing, Jumat, dan langsung menggelar pertemuan bilateral dengan Xi pada petang harinya. Itu dilakukan beberapa jam sebelum mereka menghadiri upacara pembukaan Olimpiade Musim Dingin Beijing yang diboikot Barat.
Putin mencari dukungan Xi setelah aliansi militer Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) yang dipimpin Amerika Serikat (AS) menantang Rusia, yang diduga kuat sedang bersiap melakukan invasi militer ke Ukraina. Dalam gerakan terbaru, AS menggeser sekitar 3.000 tentara untuk memperkuat NATO di wilayah Eropa Timur setelah Rusia mengumpulkan 10.000 tentaranya di dekat Ukraina.
Lihat video: AS Geser 3000 Tentara Lebih Dekat ke Ukraina
Banyak pihak, termasuk pejabat Barat, berspekulasi bahwa pesta olahraga musim dingin di Beijing kali ini telah menunda rencana invasi Rusia, yang secara potensial bisa terjadi, ke Ukraina. AS dan sekutunya menyakini, Rusia ingin mengulangi sejarah yang dibuatnya Ukraina timur dengan menganeksasi Semenanjung Crimea, awal 2014. Moskwa telah membantahnya.
Menurut kantor berita AFP, Sabtu (5/2), Beijing kini semakin terbuka menunjukkan dukungan kepada Moskwa dalam menghadapi AS dan NATO di Ukraina. Dari pertemuan Putin-Xi di Beijing, Rusia telah memenangkan dukungan kuat China dalam menghadapi pertikaiannya dengan Barat atas Ukraina.
Sebelum pertemuan, Rusia mendesak Barat tidak merangkul Ukraina dan negara bekas Soviet lainnya menjadi anggota NATO dan menyebarkan senjatanya ke Eropa Timur. AS dan sekutunya didesak menarik pasukan dan senjatanya dari beberapa negara di Eropa Timur, tetapi ditolak Barat.
Beijing setuju dengan Moskwa bahwa Barat, terutama NATO, tidak boleh memperluas aliansi ke Eropa timur. Xi, bersama Putin, menuntut agar “kedaulatan, keamanan, dan kepentingan negara lain” dihormati. “Keduanya menentang ekspansi lebih lanjut NATO dan menyerukan aliansi Atlantik Utara untuk meninggalkan pendekatan ideologis Perang Dingin,“ kata pernyataan bersama mereka.
Moskwa memang telah menghubungkan kebuntuannya dengan Barat di Ukraina dengan mendekatkan diri ke China. Duta Resar Rusia untuk Inggris, Andrey Kevin, 30 Januari 2022, mengklaim bahwa tekanan AS dan NATO “mendorong kita untuk lebih dekat” dengan Beijing. Kini, setelah pertemuannya dengan Xi, boleh jadi Putin lebih mantap untuk menentukan sikapnya.
Pendekatan Moskwa terhadap Beijing telah memberikan keuntungan diplomatik yang memperkuat posisi Rusia dalam masalah Ukraina. Putin memuji “hubungan bermartabat” antara Rusia dan China. Dia juga menyebutkan, hubungan Rusia dan China “tanpa batas”, seperti dilaporkan The New York Times, 3 Februari 2022. Putin dan Xi tampak memproyeksikan diri sebagai penyeimbang bagi kekuatan Barat.
Baca juga: Rusia-China Melawan Tekanan Barat
Sepekan sebelum pertemuan Putin dan Xi, Kementerian Luar Negeri China mengatakan, “Kekhawatiran keamanan Rusia masuk akal; harus ditanggapi dengan serius dan diselesaikan.” Itu merupakan pernyataan yang menandai perubahan kebijakan penting bagi Beijing. Artinya, apa pun yang dilakukan Rusia di kemudian hari setelah olimpiade, Beijing berada di sisi Moskwa.
Apa yang akan dilakukan Putin di Ukraina setelah Olimpiade Musim Dingin berakhir pada 20 Februari? Peran apa yang dapat dimainkan China dalam rencana tersebut? Untuk menjawabnya, kita perlu untuk melihat beberapa realitas konkret di tengah eskalasi retorika yang telah terjadi baik oleh Moskwa maupun Barat dalam beberapa pekan terakhir.
Meskipun Washington terus memperingatkan bahwa invasi Rusia ke Ukraina akan segera terjadi, ini tergantung pada kesediaan Moskwa untuk mengambil risiko atas konsekuensinya.
Presiden AS Joe Biden telah mengklarifikasi bahwa setiap tindakan ofensif di wilayah Ukraina akan dianggap sebagai invasi, seperti dilaporkan ABC News, 21 Januari lalu. Di sinilah faktor China menjadi sangat penting. Namun, muncul pertanyaan penting dan mendasar, apakah China benar-benar dapat berfungsi sebagai pengganti ekonomi bagi Barat, mengurangi sebagian biaya invasi?
AS dan Uni Eropa telah menjelaskan bahwa Rusia akan menghadapi sanksi besar Barat jika menyerang Ukraina, bersama dengan pengurangan arus perdagangan yang tidak terhindarkan. Bahkan mungkin proyek-proyek besar seperti pipa gas alam Nord Stream 2 bisa dibatalkan.
Eugene Chausovsky, peneliti di lembaga kajian keamanan dan stabilitas global di Institute Newlines, AS mengatakan, konsekuensi militer dan politiknya cukup signifikan namun sulit diukur. Namun, mantan analis senior Eurasia di lembaga analisis geopolitik Stratfor ini mengatakan, konsekuensi ekonomi akan terasa langsung dan dramatis, bagi Rusia, Ukraina, dan kawasan.
“Karena itu, sangat penting untuk melihat sifat struktural hubungan ekonomi Rusia dengan Barat dan dengan China, baik dalam hal arus perdagangan maupun infrastruktur yang menopangnya,” kata dalam tulisannya di Foreign Policy, 4 Januari 2022. Ketika bergabung di Stratfor, kajian Chausovsky antara lain berfokus pada keamanan Rusia, selain isu keamanan dan ekonomi global.
Baca juga: Saat Barat Memboikot China, Putin Jadi Tamu Pertama Xi Jinping
Hubungan ekonomi Rusia dengan China telah berkembang dalam beberapa tahun terakhir. Perdagangan bilateral mencapai rekor tertinggi tahunan, lebih dari 146 miliar dollar AS pada tahun 2021, seperti dilaporkan Global Times, 28 Januari 2022. Itu naik dari sekitar 16 miliar dollar AS pada tahun 2003 dan hampir 110 miliar dollar AS pada 2020. Rusia menjadi pemasok utama minyak, batubara, dan gas alam bagi China. Rusia impor barang elektronik dan mesin, dari China.
Rusia juga telah menjadi bagian penting dari strategi pembangunan global Beijing, Prakarsa Sabuk dan Jalan (BRI) China. Proyek BRI ini mencakup kerja sama minyak, dengan bagian terpentingnya adalah dari pipa minyak Power of Siberia, yang memberi China akses langsung ke gas alam Rusia. Sanksi Barat membatasi akses jalur kereta api dari Eurasia, wilayah di mana proyek BRI berawal.
Perdagangan Rusia-China jauh lebih tinggi dari keseluruhan perdagangan Rusia dengan AS, yang hanya sekitar 34 miliar dollar AS untuk periode waktu yang sama (2021), seperti dilaporkan situs berita Russia Briefing, 31 Januari 2022. Namun, perdagangan Rusia-UE mencapai hampir 220 miliar pada tahun 2021, kira-kira 1,5 kali dari volume perdagangan Rusia-China.
Ketergantungan energi UE pada Rusia sering dilihat sebagai sumber utama pengaruh dan alat geopolitik bagi Kremlin. Namun, faktanya ketergantungan ini berjalan dua arah. Pendapatan energi menyumbang hampir 40 persen dari pendapatan anggaran Rusia. Meski ekspor energi Rusia ke China telah meningkat, namun volume keseluruhan jauh lebih rendah secara absolut daripada ke UE.
Tentu saja, Rusia dapat memutuskan untuk meningkatkan ekspor energinya ke China dengan mengorbankan pasokannya ke UE. Namun, itu akan menjadi proyek yang mahal bagi Moskwa karena harus membangun infrastruktur yang diperluas dari deposit Siberia yang jauh ke China dibandingkan jaringan pipa minyak dan gas yang luas, yang telah dimiliki Rusia dengan Eropa selama ini.
Baca juga: Relasi Putin dan Xi Semakin Erat
Ada banyak soal yang rumit di sini. Putin harus serius menanggapi ancaman sanksi Barat dan potensi gangguan ekonomi yang serius dari Barat jika harus melawan arus untuk menginvasi Ukraina. Dampaknya sangat besar bagi Rusia. Sebab hingga sejauh ini, menurut Chausovsky, China belum dalam posisi untuk menggantikan UE sepenuhnya sebagai mitra.
“Jadi, jika Putin memutuskan untuk mengambil tindakan militer terhadap Ukraina, dia akan melakukannya dengan risiko yang sangat besar bagi ekonomi Rusia. Lebih jauh, ia akan mengancam popularitas dan posisi politiknya sendiri di dalam negeri, yang telah ditopang oleh pertumbuhan ekonomi berbahan bakar minyak dan gas alam sejak ia menjabat,” kata Chausovsky.
Mengingat, konsolidasi politik dalam negeri adalah imperatif geopolitik pertama dan terpenting bagi Rusia, maka hal itu menjadi faktor penghambat penting dalam pengambilan keputusan Putin di Ukraina. Putin harus mempertimbangkan tidak hanya konsekuensi militer dari sebuah invasi tetapi juga kemungkinan dampak ekonomi dan politik yang akan terjadi jika melakukan invasi.
Pada saat yang sama, Barat harus mempertimbangkan sejauh mana isolasi ekonomi dan politiknya dari Rusia, yang dapat mendorong Moskwa ke dalam hubungan yang lebih dekat dengan China. Hal ini dapat melanggar keharusan geopolitik utama bagi Washington, yaitu untuk mencegah munculnya hegemoni (atau aliansi hegemoni) di Eurasia yang dapat menantang posisi global AS.
Dalam skenario sebaliknya, di mana perang di Ukraina dapat dihindari dan pemahaman diplomatik tercapai, konflik berkepanjangan antara Moskwa dan Barat serta risiko terkaitnya, dapat mengubah skala dan kedalaman hubungan Rusia dengan China di jangka panjang. Kunjungan Putin ke Beijing dan Olimpiade bisa menjadi titik balik simbolis, bukan dari perang yang mungkin terjadi tetapi dari pergeseran geopolitik yang lebih dalam.
Di tengah situasi seperti itu, Kanselir Jerman Olaf Scholz berencana akan mengunjungi Ukraina pada 14 Februari 2022, dan Rusia pada hari berikutnya. Dalam waktu dekat, pada Senin (7/2) Presiden Perancis Emmanuel Macron akan mengujungi Rusia untuk bertemu dengan Putin, dan keesokan harinya bertolak ke Kiev untuk bertemua Presiden Volodymyr Zelenskyy. Upaya yang akan dilakukan oleh pemimpin Jerman dan Perancis kemungkinan akan dapat meredam ketengangan. (AFP/REUTERS/AP)