Mencermati Intensi Kremlin di Ukraina
Ketegangan Ukraina – Rusia belum mereda. Situasinya makin genting karena diwarnai penempatan pasukan Rusia di Ukraina. Diplomasi internasional diharapkan menjadi solusi.
Ketegangan antara Ukraina – Rusia nyaris menyentuh titik kulminasi. Situasi ini sangat genting mengingat tindak tanduk Rusia yang tak segan untuk sewaktu-waktu memecah ketegangan menjadi konflik terbuka. Tak ayal, memahami intensi Rusia menjadi penting untuk mencara jalan keluar de-eskalasi.
Hingga kini Rusia masih menempatkan ratusan ribu pasukan di perbatasannya dengan Ukraina. Sejibun pasukan, artileri, kendaraan perang hingga rumah sakit darurat ini disebar di beberapa titik, seperti Crimea, Rostov-on-Don, Krasnodar, dan Soloti.
Tidak hanya di wilayah jurisdiksi Rusia, pasukan Kremlin juga sudah dimobilisasi di beberapa titik di wilayah Belarusia, termasuk Rechitsa, Baranovichi, dan Brest. Ketiga titik tersebut secara geografis dekat dan bahkan berbatasan langsung dengan Ukraina bagian utara. Dengan kondisi saat ini, Kiev pun terkepung.
Pembicaraan di tingkat internasional masih berjalan buntu. Ketegangan yang sedang berlangsung ini sempat dibahas di pertemuan khusus Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa (DK PBB) 31 Januari lalu.
Alih-alih cair, ketegangan justru meruncing antara pihak yang berseteru. Perang retorika pun terjadi antara Dubes Rusia untuk PBB Vassily Nebenzia dan Dubes AS untuk PBB Linda Thomas-Greenfield.
Di satu sisi, Rusia kukuh dengan permintaannya kepada NATO dan dunia barat. Pertama, Rusia meminta NATO untuk berhenti melakukan “ekspansi” dengan memasukkan anggota baru ke dalamnya. Kedua, Kremlin meminta agar pasukan NATO menarik pasukannya dari kawasan Eropa Timur. Terakhir, Rusia meminta AS untuk berjanji tidak membeking aliansinya, atau negara anggota NATO, di Eropa Timur dengan senjata nuklir.
Di sisi lain, Blok Barat justru membalas permintaan Rusia dengan ancaman sanksi. Namun, Presiden Rusia Vladimir Putin terkenal sebagai orang yang penuh perhitungan. Ia sepenuhnya sadar bahwa tuntutan ini hampir tidak mungkin untuk dipenuhi oleh Blok Barat.
Maka, permintaan tersebut bisa saja dilihat sebagai upaya diplomasi setengah hati dari Kremlin. Kemungkinan terburuknya, tidak ditemukannya titik tengah antara kedua belah pihak dijadikan Casus Belli oleh Rusia.
Baca juga : Rusia dan Ukraina Memanas, Keduanya Gelar Latihan Perang
Dimensi Keamanan dan Fitur Geografis Ukraina
Bagi Rusia, ada dua dimensi yang menjadi dasar untuk mengeskalasi ketegangan dengan Ukraina. Dimensi pertama ialah keamanan negara. Bisa dibilang, saat ini Ukraina merupakan “gerbang” terakhir antara Rusia dengan Blok Barat.
Sebelumnya, negara-negara Eropa Timur, mantan bagian dari Uni Soviet, yang berbatasan langsung dengan Rusia, yakni Estonia dan Latvia telah lebih dulu dipinang oleh NATO pada 2004. Kini, hanya tersisa Belarusia dan Ukraina sebagai tabir pemisah antara kepentingan Blok Timur dan Barat di tanah Eropa.
Dengan situasi politik di Belarusia, Kremlin bisa bernafas lega. Pasalnya, pengaruhnya di negara ini telah diamankan dengan terpilihnya petahana Aleksandr Lukashenko, yang secara terang-terangan menunjukkan posisinya yang pro-Rusia, pada 2020 lalu.Bahkan saat ini Lukashenko pun memberikan lampu hijau bagi Putin untuk memobilisasi pasukan Rusia di wilayah negaranya. Tidak hanya itu, ia juga turut menjustifikasi langkah Kremlin di forum dan berbagai media internasional.
Cerita yang sebaliknya terjadi di Ukraina. Berbeda dengan Belarusia dan Rusia yang diperintah oleh pemimpin otoriter, Ukraina ingin menjadikan negaranya demokratis. Pada 2019 lalu, Ukraina pun melantik Volodymyr Zelensky, seorang komedian dan pengusaha media, sebagai presiden setelah memenangkan pemilu melawan Petro Poroshenko.
Kemenangan Zelensky ini perlu dilihat sebagai sebuah pergeseran dalam alam pemikiran masyarakat Ukraina. Kalahnya Poroshenko yang cenderung lebih dekat dengan Kremlin menunjukkan bahwa Ukraina siap untuk meninggalkan masa lalunya.
Terlebih lagi, Zelensky lebih condong untuk mendekatkan diri ke dunia Barat. Bahkan, ia dengan terang-terangan berjanji untuk mendorong Ukraina masuk ke Uni Eropa dan NATO ketika sedang berkampanye.
Masuknya Ukraina ke Uni Eropa dan NATO akan menjadi malapetaka keamanan negara bagi Rusia. Pasalnya, perbatasan antara Ukraina dan Rusia tidak memiliki batasan geografis, seperti pegunungan atau sungai, sama sekali.
Mobilisasi pasukan dari Kiev ke Klimovo, Rusia, bisa dilakukan dalam waktu beberapa jam saja jika Ukraina menjadi aliansi Barat. Tak hanya itu, bukan tidak mungkin bagi anggota NATO untuk menempatkan artileri dan fasilitas roket di Ukraina, menjadikan Moskow sebagai titik yang sangat rawan dari serangan rudal.
Walau ancaman keamanan tersebut nyata, perang dengan Ukraina bukanlah pilihan yang ideal bagi Rusia. Meski di atas kertas Rusia jauh lebih superior, konflik terbuka dengan Ukraina tidak akan mudah dimenangkan.
Jika konflik pecah, AS dan puluhan negara kawanannya pun tak segan untuk mengerahkan kekuatan militernya via Kiev. Belum lagi, Rusia juga akan dihujani dengan sanksi oleh negara-negara Barat yang akan sangat memukul perekonomian negaranya.
Baca juga : Rasa Pesimistis Bayangi Dialog AS-Rusia soal Ukraina
Dimensi Sosio-Kultural
Di samping aspek keamanan, terdapat satu dimensi lain yang mendasari agresi dari Rusia yakni soal sosio-kultural. Sama dengan Rusia, sampai pada abad ke-20 Ukraina merupakan bagian dari Uni Soviet. Namun, hubungan kedua negara ini tak hanya sebatas mantan bagian federasi adidaya zaman Perang Dingin tersebut.
Jika ditarik selama sekitar satu milenium, peradaban Rusia lahir dari rahim Ukraina. Lebih tepatnya, peradaban Eropa Timur atau Slavik bermula dari kerajaan kuno Kievan Rus yang dengan pusatnya di sekitar Kota Kiev sekarang.
Di era modern, Ukraina tetap memainkan posisi yang sentral. Setelah Uni Soviet lahir pasca Revolusi Oktober, Ukraina dijadikan salah satu titik penting dalam rencana pembangunan negara tersebut, terutama dalam hal agrikultur. Terletak di wilayah yang relatif lebih hangat, Ukraina memiliki produktivitas pertanian yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan lain di Uni Soviet.
Karena posisi yang berdekatan, arus manusia antara Moskow dan Kiev deras semenjak dulu. Sudah menjadi hal yang biasa bagi penduduk yang lahir di Kiev untuk pindah dan bekerja di Moskow dan begitu pula sebaliknya. Bahkan, Mikhail Gorbachev, Presiden Uni Soviet terakhir sebelum akhirnya pecah, lahir dari Ibu berdarah Ukraina. Maka, dapat disimpulkan bahwa secara kultural, batas antara warga Ukraina dan Rusia sangatlah tipis.
Hal ini pula yang ditekankan dalam Essay Presiden Putin yang diunggah di laman resminya. Dalam essay berjudul “On the Historical Unity of Russians and Ukrainians”, Putin melihat banyaknya warga Ukraina yang menikah, bekerja dan belajar bersama dengan warga Rusia. Bahkan, ia menyatakan bahwa warga Ukraina tersebut sebagai “saudara dekat”.
Memandang hubungan antara Rusia dan Ukraina, Putin menunjukkan keinginannya untuk mengikuti model yang telah dibuat oleh negara-negara barat. Ia begitu menginginkan hubungan yang dimiliki antara Jerman dan Austria atau AS dengan Kanada.
Hubungan di mana dua negara yang berdaulat dan memiliki kepentingan nasional masing-masing namun memiliki batas negara yang transparan sehingga warganya masih saling berbagi ruang untuk hidup.
Baca juga : AS Dukung Penuh Ukraina
Tujuan Federalisasi Ukraina
Melihat kedua dimensi tersebut, utamanya pada dimensi sosio-kultural, perang nampaknya bukan hal yang diinginkan oleh Rusia. Terlebih lagi, konflik terbuka justru akan merubah narasi persaudaraan Rusia-Ukraina yang kini tengah didengungkan oleh Putin.
Alih-alih peperangan, nampaknya Kremlin justru menginginkan perubahan bentuk negara Ukraina dari negara kesatuan menjadi negara federal. Harapannya, dengan bentuk negara federal, otonomi pemerintah daerah akan lebih besar ketimbang otonomi pemerintah pusat Ukraina.
Hal ini kemudian akan mempermudah Rusia untuk menjaga pengaruhnya di beberapa wilayah Ukraina, terutama yang berbatasan langsung dengan Rusia.
Gelagat ini sebetulnya sudah terlihat semenjak Revolusi Ukraina di 2014 silam. Dalam peristiwa ini, terdapat tiga daerah yang mendeklarasikan kemerdekaan mereka, yakni Republik Rakyat Donetsk, Republik Rakyat Luhansk, dan Republik Krimea.
Di balik ketiga entitas tersebut, nampak jelas campur tangan dari Kremlin. Bahkan, hingga kini, Rusia secara de facto menguasai Republik Krimea setelah melakukan aneksasi pada 2014.
Namun, federalisasi bukanlah opsi yang mudah untuk dipilih oleh Kiev. Pasalnya, Ukraina dapat dipastikan akan cukup banyak kehilangan wilayahnya di bagian timur.
Tanpa adanya dukungan politik internal, federalisasi hampir tidak mungkin terlaksana. Maka, bisa jadi agresi yang kini tengah dilakukan oleh Rusia ini merupakan cara mereka membeli waktu hingga momentum politik kanan atau pro-Rusia di Ukraina muncul. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : NATO Tolak Tuntutan Rusia, Konflik Rentan Pecah di Ukraina