Dari Konflik di Ukraina, Asia Menebak Langkah AS
Langkah-langkah AS dalam konflik di Ukraina menimbulkan ambiguitas dan keraguan: apakah AS serius membela kepentingan Ukraina? Situasi di Ukraina bisa menjadi cermin Asia untuk membaca langkah AS.
Terpisah ribuan kilometer, Ukraina dan Asia sama-sama sedang memantau manuver Amerika Serikat. Keraguan dan kebingungan pada komitmen Washington menjadi salah satu alasan pemantauan itu.
Wajar Kiev bingung dan ragu dengan Washington dan sekutunya. Keraguan dan kebingungan Kiev, antara lain, disebabkan oleh fakta bahwa lamaran Ukraina untuk menjadi anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) sejak 2008 tidak kunjung diterima. Sampai sekarang, NATO tidak kunjung menerbitkan Rencana Aksi Keanggotaan (MAP) untuk Ukraina. Penerbitan MAP merupakan tahapan sebelum suatu negara menjadi anggota NATO.
Sebagai pembanding, Albania dan Kroasia mendaftar pada 2003 dan diterima pada 2009. Sebelum itu, tujuh negara Eropa Timur mendaftar pada 1999 dan diterima pada 2004.
Presiden AS Joe Biden pun menunjukkan sikap tidak kalah membingungkan. Berkali-kali ia memastikan tidak akan mengirim tentara ke Ukraina. Padahal, ada 180 perwira dan bintara AS di Ukraina.
Baca juga : AS Geser 3.000 Tentara Lebih Dekat ke Ukraina
Selain mengirim pelatih dan penasihat, Washington mengucurkan 2,5 miliar dollar AS sejak 2014 untuk Kiev. Selain untuk membeli senjata, dana itu untuk membiayai pelatihan militer. Pada akhir Desember 2021, AS mempertahankan gugus tempur laut USS Harry Truman di Laut Tengah. Padahal, gugus tempur itu dijadwalkan bergerak di Timur Tengah.
Selain itu, Rabu (2/2/2022) malam, Biden mengesahkan pengiriman 1.700 tentara ke Polandia dan 300 tentara lagi ke Jerman. Biden juga memerintahkan 1.000 tentara AS di Jerman dipindahkan ke Romania. “Pengerahan ini bukti nyata bahwa kami, Rusia, patut khawatir. AS sebenarnya pihak yang terus meningkatkan ketegangan di Eropa,” kata juru bicara Kepresidenan Rusia Dmitry Peskov, menanggapi pengerahan 3.000 tentara AS itu.
Kini, secara resmi, 8.100 tentara AS berada di dua negara yang berbatasan langsung dengan Ukraina. AS juga punya hampir 34.000 tentara di Jerman. Di Estonia dan Latvia, yang berbatasan dengan Rusia, juga ada tentara AS.
Selain mengerahkan tentara, AS juga menjalankan mesin diplomasi untuk menangani Ukraina. Direktur CIA William Burn bertandang ke Rusia dan Ukraina. Adapun Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken dan Penasihat Keamanan Nasional AS Jake Sullivan bolak-balik ke Eropa. Di luar itu, Biden dan bawahannya menelepon ke sana sini gara-gara Ukraina.
Kepentingan
Meski demikian, sejumlah pihak di luar Ukraina meragukan komitmen penuh Washington pada Kiev. Ketua Dewan Keamanan Rusia Nikolai Patrushev mengingatkan, Ukraina bisa bernasib seperti Afghanistan jika mengandalkan AS. Mantan pentolan mata-mata Rusia dan teman sekampung Presiden Rusia Vladimir Putin itu mengatakan, AS meninggalkan Afghanistan begitu saja setelah tidak melihat ada kepentingan dengan negara itu.
Peneliti hubungan internasional pada Universitas Oxford, Scott Singer, menyebut bahwa kepentingan AS terhadap Ukraina sangat rendah. Tidak ada komoditas strategis yang dibutuhkan AS dari Ukraina. Kiev tidak termasuk 10 besar mitra dagang AS. Selain itu, seperti bolak-balik diungkap Biden dan jajarannya, kepentingan strategis AS masa kini ada di Indo-Pasifik.
Baca juga : Adu Propaganda Makin Membara, Rusia-Jerman Saling Cekal Media
Sebaliknya, Asia terus berkembang menjadi kekuatan ekonomi yang makin besar. AS sangat tergantung pada pasokan semikonduktor dari Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Krisis semikonduktor setahun terakhir membuktikan itu.
Inflasi di AS juga menunjukkan, Washington tidak bisa mengabaikan rantai pasok dari Asia. Selama bertahun-tahun, konsumen AS menikmati aneka produk murah karena kebutuhan mereka diproduksi di Asia.
Karena itu, mantan Asisten Menteri Pertahanan AS Elbridge A Colby mengingatkan negaranya untuk tetap fokus pada Asia. Ia tidak menampik, ketegangan dengan Rusia bisa membuat perhatian AS teralih dari China. “Asia jauh lebih penting dan China lebih besar daripada Rusia. Kita tidak punya kemampuan militer dan diplomasi untuk terus bertahan di Eropa sembari berusaha fokus di Asia,” tuturnya.
Anggota DPR AS Rohit Khanna mengatakan, AS tidak sanggup menanggung beban terlibat konflik di Ukraina kala China sedang bangkit. “Kepentingan keamanan nasional AS membuat kita tidak boleh terlibat dalam konflik yang bisa melemahkan kemampuan berhadapan dengan China,” kata politisi Demokrat itu.
Seperti Singer dan Colby, Khanna sepakat bahwa bagi AS, Asia lebih penting dibandingkan Ukraina. Hanya masalahnya, AS tidak kunjung menunjukkan keseriusan pada Indo-Pasifik. Akademisi India, Brahma Chellaney, mengkritik Biden yang begitu risau pada pengerahan ratusan ribu tentara Rusia dekat perbatasan Ukraina. Di sisi lain, Biden tidak terlihat gelisah pada pengerahan persenjataan dan tentara China dekat perbatasan India.
Sementara di Asia Tenggara, pertemuan Biden dengan para kepala pemerintahan ASEAN dimundurkan dari Januari menjadi April-Mei 2022. Alasan resminya, karena kasus Covid-19 kembali naik.
Baca juga : KTT ASEAN Dimulai Minus Myanmar, Presiden Biden Pimpin Delegasi AS
Sementara sejumlah pihak menyebut, AS tidak kunjung memberikan tawaran konkret. Koordinator Indo-Pasifik di Gedung Putih Kurt Campbell mengakui bahwa AS perlu menawarkan kerangka kerja sama ekonomi bagi Indo-Pasifik. ”Sudah jelas bahwa hubungan tidak hanya secara diplomatik, militer, strategis. Perlu hubungan komersial, investasi di Indo-Pasifik,” ujarnya.
Gedung Putih juga tidak kunjung menghadirkan tawaran ekonomi yang nyata untuk Indo-Pasifik. Padahal, Washington juga tahu, AS perlu memberikan tawaran ekonomi untuk menandingi China di Asia. Blinken pernah mengumumkan pada triwulan III 2021 bahwa AS sedang menyusun Kerangka Kerja Ekonomi untuk ditawarkan ke Indo-Pasifik pada awal 2022. Sampai sekarang, belum ada yang benar-benar tahu wujud kerangka itu.
Salah paham
Evan A Laksmana dari Lee Kuan Yew School of Public Policy dan Hoang Thi Ha dari ISEAS-Yusof Ishak Institute sepakat, AS masih salah paham dan salah langkah di Asia Tenggara. Menurut Evan, AS memakai asumsi kuno yang menggunakan perspektif masalah Eropa untuk melihat Asia. AS harus berhenti memakai perspektif itu dan mulai mencari tahu versi Asia.
Washington juga terlalu fokus pada Beijing dan mengajak negara-negara kawasan memusuhi China. “Perilaku China memang membahayakan kawasan. Walakin, AS juga harus mengakui perannya mengacaukan tatanan kawasan,” kata Evan.
Seperti Evan, Hoa juga mengingatkan bahwa kawasan senantiasa mencatat AS selalu menempatkan kepentingan sendiri di atas hukum dan lembaga internasional. Washington dan sekutunya membuat tafsiran sendiri atas aneka hukum internasional, termasuk Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982. AS dianggap tidak punya landasan membahas ketertiban di laut berdasarkan UNCLOS. Sebab, Washington tidak kunjung mengakui dan meratifikasi UNCLOS 1982.
Narasi politik AS, menurut Evan dan Hoang, tak akan diterima kawasan. Narasi demokrasi versus otoritarianisme atau ketertiban berbasis hukum, yang kerap digemakan AS, bukan menjadi perhatian kawasan. Dalam jajak pendapat ISEAS-Yusof Ishak Institute, selalu konsisten ditemukan bahwa Asia Tenggara percaya pada AS bukan karena kesamaan budaya politik. Mereka mau berkomunikasi ke AS karena alasan ekonomi. (AFP/REUTERS)