Australia Meminta Maaf atas Kekerasan Seksual yang Menjangkiti Pemerintahan
Tidak hanya di perusahaan, pelecehan seksual turut menjadi momok di dunia pemerintahan. Negara maju seperti Australia sekali pun tidak lepas dari penyakit ini.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
SYDNEY, SELASA — Penyelidikan mengenai kekerasan seksual dan perundungan di kantor-kantor pemerintahan Australia sudah selesai. Terungkap bahwa hal tersebut telah menjadi penyakit yang terjadi selama puluhan tahun. Pemerintah mengeluarkan permintaan maaf.
”Saya sebagai kepala pemerintahan meminta maaf atas perilaku yang buruk ini. Atas nama pemerintah, saya meminta maaf kepada Brittany Higgins yang telah berani melaporkan keburukan ini. Kantor-kantor pemerintah semestinya menjadi teladan kinerja masyarakat,” kata Perdana Menteri Australia Scott Morrison di Sydney, Selasa (8/2/2022).
Morrison berbicara dalam rapat parlemen yang dilakukan secara tatap muka di tengah pengetatan kegiatan masyarakat selama pandemi Covid-19. Kali ini, parlemen mendengar langsung kesaksian para penyintas. Ada tujuh perempuan penyintas kekerasan seksual yang memberi kesaksian di hadapan parlemen.
Brittany Higgins adalah mantan pegawai di Parlemen Australia. Ia mengalami kekerasan seksual pada 2019 ketika seorang pegawai yang lebih senior memerkosanya. Higgins kemudian diancam kehilangan pekerjaannya apabila melaporkan kejahatan itu.
Ia lalu memutuskan mengundurkan diri pada Januari 2020. Setelah itu, Higgins melaporkan pemerkosaan tersebut kepada aparat penegak hukum dan media arus utama. Ia secara terbuka memperbolehkan namanya diungkap di dalam pemberitaan sebagai penyintas kekerasan seksual. Berkat keberaniannya, Komisi Antidiskriminasi Seksual Australia di bawah kepemimpinan komisioner Kate Jenkins meluncurkan penyelidikan.
Komisi menyelidiki parlemen, kementerian, dan kantor-kantor pemerintahan. Mereka berhasil mengumpulkan kesaksian dari 1.700 pegawai, baik pegawai negeri, honorer, maupun magang. Terungkap dari kesaksian itu, 33 persen mengaku pernah mengalami pelecehan seksual dan 37 persen mengalami perundungan.
Pada 2018, Perdana Menteri Australia saat itu, Malcolm Turnbull, mengeluarkan aturan bahwa para menteri di kabinetnya tidak boleh berhubungan seksual dengan para pegawai. Aturan ini keluar setelah Wakil Perdana Menteri Barnaby Joyce menghamili pegawai humasnya, Viki Campion. Joyce ketika itu sudah berkeluarga walaupun ia akhirnya bercerai dan menikahi Campion.
Selain itu, juga ada pengaduan dari Rachelle Miller, seorang mantan pegawai di Kementerian Pendidikan Australia. Ia terlibat perselingkuhan dengan Menteri Pendidikan Alan Trudge meskipun kedua belah pihak mengakui hubungan itu konsensual atau berdasarkan suka sama suka.
Miller mengungkapkan bahwa Trudge, selama hubungan mereka berlangsung, kerap melakukan kekerasan domestik terhadapnya. Kasus ini tengah diselidiki secara hukum pidana. Trudge mengundurkan diri dari jabatannya pada Desember 2021.
Menanggapi permintaan maaf perdana menteri tersebut, pegiat antikekerasan seksual sekaligus orang yang dinobatkan sebagai Warga Australia Tahun 2021, Grace Tame, menilai tidak cukup. ”Harus ada peraturan yang tegas untuk mencegah kasus-kasus kekerasan seksual terjadi di ruang publik maupun ranah pribadi. Hal ini dibarengi dengan sistem pengaduan yang berpihak kepada korban dan hukum yang mampu memberi keadilan,” ujarnya.
Surat kabar Sydney Morning Herald edisi 29 Maret 2021 menerbitkan artikel mengenai pelecehan seksual di tempat kerja. Beberapa contoh pengakuan narasumber ialah ada atasan yang tiba-tiba mendatangi kediaman bawahan; atasan meminta bawahan datang ke kamarnya selama perjalanan dinas; rekan kerja yang secara terang-terangan memuji bagian tubuh tertentu; dan rekan kerja yang mengatakan hendak meniduri calon korban.
Itu baru contoh dari pelecehan verbal dan psikologis. Terdapat pula pelecehan fisik, seperti menyentuh tubuh korban tanpa seizinnya. Ada yang pura-pura tidak sengaja, bahkan ada pula pelaku yang melakukannya secara gamblang meskipun korban sudah mengutarakan penolakan. Kasus-kasus ini terjadi mulai dari korporasi swasta, firma hukum, hingga lokasi konstruksi bangunan. Ini memperlihatkan pelecehan seksual tidak mengenal tingkatan dan jenis profesi.
Sejak tahun 2015, hanya 10 kasus pelecehan seksual di tempat kerja yang naik ke pengadilan. Vonis dan restitusi terhadap penyintas beragam. Pengacara Joydeep Hor yang kerap menangani isu kekerasan seksual di dunia kerja, baik mewakili perusahaan maupun korban, menjelaskan bahwa belum ada standar restitusi.
”Mayoritas kasus lebih menguntungkan bagi korban secara finansial apabila diselesaikan langsung dengan tempat kerja. Ganti rugi oleh pengadilan sering kali lebih sedikit jumlahnya,” ujar Hor. Ia mengakui bahwa gugatan mengenai perusakan nama baik perusahaan oleh sistem hukum masih kerap dianggap lebih serius dibandingkan dengan kesaksian korban. (AP/Reuters)