Pasal Terkait Kekerasan Siber dan Eksploitasi Seksual Perlu Dipertahankan
Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual membutuhkan masukan banyak pihak. Itu bertujuan menyempurnakan regulasi tersebut.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah diminta tidak menghapus pasal yang terkait dengan pelecehan seksual berbasis elektronik dan eksploitasi seksual dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Hal itu disebabkan undang-undang yang ada belum menjangkau semua kasus pelecehan seksual berbasis elektronik ataupun eksploitasi seksual.
Harapan tersebut disampaikan Ratna Batara Munti, Koordinator Nasional Asosiasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Indonesia, saat hadir dalam konsultasi publik yang digelar Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Senin (7/2/2022). Ratna hadir mewakili masyarakat sipil untuk memberikan masukan terkait Ketentuan Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati menyatakan diskusi mendalam sangat penting. ”Pemerintah terus berupaya mempercepat penyusunan daftar isian masalah pemerintah karena kita sangat pahami kemendesakan UU TPKS. Sudah ditunggu banyak pihak,” ujarnya.
Ratna menyatakan, pada konsultasi publik yang digelar Kementerian PPPA pekan lalu, pihak pemerintah secara lisan menyampaikan akan menghapus Pasal 5 dan Pasal 8 dalam RUU TPKS. Alasannya, Pasal 5 tentang Pelecehan Seksual Berbasis Elektronik sudah diatur dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Pasal 27 (1). Sementara Pasal 8 tentang Eksplotasi Seksual sudah diatur dalam Pasal 2 UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Namun, masyarakat sipil meminta Pasal 5 dipertahankan karena selama ini Pasal 27 (1) UU ITE sudah lama dikritik lantaran kerap digunakan untuk menjerat perempuan korban kekerasan seksual sebagai pelaku pelanggaran UU ITE.
Hingga kini perempuan yang tubuhnya terlihat di dunia maya dianggap melanggar kesusilaan sehingga dijerat dengan UU ITE. Padahal, perempuan tersebut merupakan korban kekerasan siber/online (KBGO).
Ratna mencontohkan, LBH APIK Jakarta pada 2021 menerima 489 kasus KBGO, di antaranya berbentuk ancaman distribusi (malicious distribution), memperdaya korban (cyber grooming), pelecehan online (cyber sexual harassment), dan penguntitan online (cyber stalking). ”Kasus tersebut harus disimulasikan untuk menjawab apakah UU ITE bisa merespons kasus-kasus seperti itu,” ucap Ratna.
Demikian juga dengan Pasal 8 tentang Eksplotasi Seksual. Pasal tersebut harus dipertahankan karena tidak semua kasus eksploitasi seksual dapat memenuhi unsur-unsur dari TPPO atau tidak semua eksploitasi seksual merupakan modus perdagangan orang.
Kasus tersebut harus disimulasikan untuk menjawab apakah UU ITE bisa merespons kasus-kasus seperti itu.
”Artinya, Pasal 2 UU PTPPO tidak dapat menjangkau kasus-kasus eksploitasi seksual di luar perdagangan orang. Oleh sebab itu, penghapusan Pasal 8 RUU TPKS dalam DIM pemerintah menjadi tidak tepat dan perlu dipertimbangkan kembali,” tegas Ratna.
Masukan masyarakat sipil jadi terbatas karena dalam konsultasi publik DIM dari pemerintah hanya dipaparkan secara verbal, tak ada rumusan tertulis dan tayangan. ”Kami berharap RUU ini tidak hanya cepat seperti yang disampaikan Presiden, tapi kami berharap agar RUU ini ketika disahkan benar-benar implementatif sehingga kami yang bekerja di lapangan bisa mengeksekusi sesuai tujuan RUU,” kata Ratna.
Syarat penegak hukum
Koalisi Masyakarat Sipil yang diwakili Asfinawati juga menyampaikan sejumlah masukan kepada pemerintah. Misalnya, usulan menghapus ketentuan dalam Pasal 16 (1) yang berbunyi ”Penyidik, penuntut umum, dan hakim yang menangani perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual harus memenuhi persyaratan: a. beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa”.
”Persyaratan beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa harus dihapus karena tidak tepat. Sebab ini persyaratan menjadi aparat penegak hukum termasuk hakim sehingga di tahap ini yang diperlukan adalah syarat kualifikasi terkait kekhususan isu kekerasan seksual,” kata Asfinawati.
Jika ketentuan tersebut masuk dalam UU TPKS, maka berpotensi mengundang eksepsi (dari terdakwa/penasihat hukum) karena penyidik, penuntut, atau hakim tidak memenuhi persyaratan beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. ”Ini akan sangat bermasalah, ketika tersangka/terdakwa berlatar pemuka agama, ketentuan ini berpotensi dijadikan alat untuk menghalangi penyidikan, penuntutan, dan persidangan,” papar Asfinawati.
Selain Ratna dan Asfinawati, hadir juga sebagai pembicara mewakili pemerintah, Ratih Andrawina (Jaksa Madya, Kejaksaan Agung) dan Komisaris Besar Jean Calvijn Simanjuntak (Penyidik Madya Tingkat III Direktorat Tindak Pidana Umum Badan Reserse Kriminal Polri).
Ratih ataupun Calvijn hanya menyampaikan informasi terkait RUU TPKS secara lisan, tanpa ada paparan tertulis. Ratih menyampaikan sejumlah hal yang diatur dalam RUU TPKS, termasuk menyatakan kekerasan seksual tidak hanya diatur dalam RUU TPKS, tapi di UU lain yang ada. ”Ini akan jadi pengaturan hukum pidana yang komprehensif terkait kekerasan seksual,” katanya.
Calvijn menambahkan, masukan dari masyarakat sipil dan akademisi akan ditampung dan diperkaya agar RUU TPKS lebih sempurna. Aspirasi dan masukan masyarakat sipil akan diakomodasi, bahkan berkisar 90-95 persen diterima.
Adapun periha hukum acara pidana dalam RUU TPKS, ruang lingkup yang akan dibahas ialah syarat aparat penegak hukum, termasuk tidak memakai pendekatan restorative justice dalam UU TPKS.
Selain itu, ruang lingkup yang akan dibahas meliputi perluasan alat bukti; pendampingan korban dan saksi; restitusi; sistematis pelaporan, perlindungan korban, pemeriksaan saksi, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan, dan pelaksanaan putusan.