Korban Pelecehan Seksual di Kampus Michigan Diberi Waktu Lapor
Pelecehan seksual di kampus juga terjadi di Amerika Serikat. Kasus-kasus yang terjadi beberapa tahun silam kini diungkap. Pihak kampus membayar kompensasi kepada para korban. Bagi pelaku, hukumannya adalah penjara.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
ANN ARBOR, RABU — Senat Negara Bagian Michigan, Amerika Serikat, akan segera mengesahkan rancangan aturan yang memberi para korban pelecehan seksual oleh Robert Anderson waktu 30 hari untuk melaporkan pelecehan yang mereka alami. Meskipun demikian, sejumlah kritik berpendapat, batas waktu untuk usia pelapor masih menjadi penghalang utama para penyintas memperoleh keadilan.
Robert Anderson adalah dokter yang bekerja di Universitas Michigan (UM) pada periode 1966-2003. Ia pensiun pada tahun 2003 dan meninggal pada 2008. Penyelidikan internal yang dilakukan kampus dan kemudian dilanjutkan dengan penyelidikan oleh firma hukum independen menemukan bahwa Anderson melecehkan 1.200 orang semasa hidupnya.
Dilansir dari media lokal Michigan, M Live, Divisi Keamanan Publik UM pada 2020 mengeluarkan laporan publik bahwa di tahun itu mereka menerima 1.212 laporan pelecehan seksual yang dilakukan di lingkup UM. Dari laporan itu, hanya 18 kasus yang tidak terkait dengan Anderson.
Jon Vaughn (51) adalah salah seorang penyintas perbuatan Anderson yang giat mengampanyekan keadilan bagi penyintas lainnya. ”Mayoritas korbannya adalah atlet putra kampus. Ia berdalih kami harus sering melakukan pemeriksaan fisik karena risiko cedera pascalatihan. Selama pemeriksaan itu, kami harus membuka baju dan ia kemudian menyentuh tubuh di bagian-bagian yang sebetulnya tidak ada hubungan dengan penyakit ataupun cedera,” tuturnya.
Sebagian korban Andersen masih berusia di bawah 18 tahun atau mahasiswa tingkat pertama ketika mengalami pelecehan. Undang-undang pelaporan kekerasan seksual terhadap anak baru diubah pada 2018. Batas usia pelapor dinaikkan dari 19 tahun menjadi 28 tahun.
Alasannya karena bagi sejumlah pelapor, trauma membuat mereka memendam rahasia selama bertahun-tahun. Butuh belasan tahun hingga penyintas menemukan kepercayaan diri untuk menceritakan kekerasan yang telah dialaminya. Batas usia hingga 28 tahun ini, menurut para pengamat kekerasan seksual, belum ideal karena semestinya tidak boleh ada batas waktu pelaporan mengingat psikologis trauma korban berbeda-beda.
Aturan dari Departemen Pendidikan AS, lembaga pendidikan wajib membayar penyintas pelanggaran yang terjadi di lingkungan kampus setidaknya 59.017 dollar AS atau sekitar Rp 847,61 juta per pelanggaran. Aturan ini masih dikaji oleh Senat Michigan untuk melihat skema kompensasi yang bisa diberikan kepada para penyintas.
”Pihak universitas sudah mengakui bahwa mereka lalai mengawasi Anderson selama bekerja untuk perguruan tinggi tersebut. Kampus juga mengabaikan laporan beberapa korban. Akibatnya, korban menjadi enggan mengadu karena takut cerita mereka tidak dipercaya,” kata Senator Tom Barrett.
Menurut Barrett, senat menginginkan agar kasus ini bisa diproses serupa dengan kasus pelecehan seksual yang dilakukan Larry Nassar. Nassar adalah dokter di Tim Nasional Senam AS dan juga di Universitas Negeri Michigan (MSU). Selama 18 tahun menjadi dokter di timnas, ia melecehkan 265 atlet putri yang beberapa di antaranya berusia di bawah 18 tahun.
Kasus Nassar diadili dan memperoleh empat vonis. Di Negara Bagian Michigan, ia dijatuhkan vonis kurungan 40-175 tahun oleh pengadilan Ingham County. Sementara itu, pengadilan Eaton County menjatuhkan vonis 40-125 tahun penjara. Pengadilan Federal AS menjatuhkan vonis 60 tahun kurungan. Akhirnya, keputusan de facto ialah hukuman penjara seumur hidup tanpa ada banding ataupun amnesti.
Parker Stinar, kuasa hukum untuk 200 korban Anderson, mengatakan, pihak UM harus memberikan kompensasi kepada korban. Hal ini terlepas dari batas usia mereka ketika mengadukan kekerasan yang dialami. Pada kasus Nassar, MSU memberi total ganti rugi 500 juta dollar AS atau sekitar Rp 7,18 triliun kepada seluruh korban.
Hingga tahun lalu, UM belum menunjukkan sikap mau bekerja sama penuh dengan aparat penegak hukum. Mereka memilih melakukan pendekatan langsung kepada para korban. Akibatnya, Kantor Jaksa Wilayah tidak bisa menyelidiki lebih mendalam. Kini, dengan bantuan dari Senat Negara Bagian, UM ditekan untuk kooperatif. (AP)