Jepang mengembangkan sendiri obat antivirus untuk menangani Covid-19. Kini, tinggal menunggu pemerintahnya untuk memberi izin edar dan penggunaannya.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
TOKYO, SENIN — Pemerintah Jepang mempertimbangkan untuk mempercepat pengeluaran izin edar dan izin penggunaan tablet obat Covid-19 yang dikeluarkan perusahaan farmasi Shionogi. Pengobatan memakai obat-obatan oral dinilai sebagai perkembangan positif penanganan pandemi, di samping percepatan vaksinasi massal. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menargetkan 70 persen penduduk global telah divaksinasi penuh pada pertengahan tahun 2022.
”Kalau izin ini diberikan pemerintah, kemungkinan pekan depan (obat) sudah keluar. Kami bisa menetapkan jadwal pada Maret nanti untuk memproduksi 1 juta dosis. Pada tahun fiskal berikutnya, yang dimulai April, kami bisa memproduksi 100 juta dosis,” kata Direktur Utama Shionogi Isao Teshirogi di Tokyo, Jepang, Senin (7/2/2022).
Tablet yang diproduksi oleh Shionogi saat ini masih menggunakan kode nama S-217622. Sejauh ini, obat baru diujicobakan kepada pasien Covid-19 bergejala ringan dan yang tidak bergejala. Setelah empat hari mengonsumsi obat, tampak di tubuh mereka terjadi penurunan jumlah virus korona baru sebanyak 63-80 persen.
Teshirogi mengungkapkan, mereka akan melakukan uji klinis secara global pada akhir Februari. Selain itu, Shionogi juga hendak memulai uji klinis pada kelompok pasien Covid-19 dengan gejala sedang. Belum ada keterangan apabila mereka akan menguji obat ini kepada pasien dengan gejala berat, pasien dengan komorbid, dan pasien dengan penyakit yang menyerang kekebalan tubuh.
Dilansir dari surat kabar Manichi, peraturan pemberian izin edar dan pakai obat di Jepang cukup pelik. Khusus untuk obat-obatan produksi asing, Pemerintah Jepang mau memberi percepatan izin apabila sudah ada bukti-bukti klinis dari negara-negara besar, misalnya Amerika Serikat dan Uni Eropa, ataupun data kolektif dari banyak negara kecil.
Namun, percepatan izin tidak bisa diberikan kepada obat yang diproduksi di dalam negeri. Oleh karena itu, Pemerintah Jepang bermaksud mengubah aturan tersebut. Rancangan aturan tengah dibahas oleh Diet atau parlemen Jepang. Salah satu faktor yang membuat pembahasan kompleks, persepsi percepatan izin ini ialah untuk obat-obatan terkait Covid-19. Harus dipikirkan pula pengaruhnya kepada obat-obatan penyakit lain.
Pada saat yang sama, Pemerintah Jepang telah memberi izin untuk mengimpor obat Covid-19 Molnupiravir buatan Merck dan Paxlovid buatan Pfizer. Permasalahannya, karena ini obat-obatan impor, Jepang tidak bisa membeli dalam jumlah banyak. Pengadaannya juga membutuhkan waktu karena AS dan Eropa juga sudah menetapkan pesanan dalam partai besar.
Jepang merupakan negara maju dan anggota dari tujuh negara terkaya di dunia (G-7). Akan tetapi, dari segi vaksinasi, mereka tergolong tertinggal dibandingkan rekan-rekan sesama G-7. Secara skala, jumlah penduduk Jepang yang sudah memperoleh vaksinasi Covid-19 lengkap telah mencapai 80 persen.
Jumlah tersebut tidak mengurangi penularan Covid-19. Pada Minggu (6/2/2022) dilaporkan ada 90.000 kasus positif baru. Secara total, sejak awal pandemi tahun 2020, Jepang telah mencatat 3,3 juta kasus positif dan 19.000 kematian. Pemerintah pusat dan beberapa prefektur masih mendiskusikan kemungkinan melakukan pembatasan sosial lagi. Jepang sejauh ini tidak pernah menerapkan karantina wilayah.
”Pemerintah akan terus mengebut proses vaksinasi. Saat ini, baru 5 persen penduduk yang sudah disuntik dosis penguat (booster). Kami menargetkan, pada akhir Februari ini bisa disuntikkan total 1 juta dosis,” kata Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida.
Sama seperti pendahulunya, Yoshihide Suga, Kishida dinilai masyarakat Jepang tidak becus menangani pandemi. Prosedur vaksinasi tergolong lambat karena pemerintah seolah tidak mumpuni mencari tempat penyuntikan vaksin dan mengumpulkan warga. Masyarakat menilai pemerintah kurang berinisiatif melakukan kegiatan jemput bola.
Obat-obatan Covid-19 memberi harapan baru bagi masyarakat terkait terapi pemulihan ketika tertular. Meskipun demikian, para pakar kesehatan secara umum menekankan bahwa vaksinasi tetap pertahanan pertama. Di AS, pemberian obat-obatan Covid-19 sangat dibatasi. Ada tiga kelompok yang diprioritaskan, yaitu orang dengan penyakit yang mengurangi kekebalan tubuh (immunocompromised), orang berusia 75 tahun ke atas yang tidak divaksin, dan orang berusia 65 tahun ke atas yang tidak divaksin serta memiliki penyakit komorbid ataupun obesitas.
Dilansir dari media NBC, studi ilmiah Paxlovid hanya memakai sampel orang-orang yang tidak divaksin karena alasan kesehatan. Tidak ada keterangan apabila Paxlovid bermanfaat atau justru kontraproduktif terhadap mereka yang divaksin. Ini yang membuat pemerintah berhati-hati dalam merekomendasikan pemakaiannya. Apabila pasien Covid-19 tidak bisa mengakses Paxlovid, mereka direkomendasikan mengonsumsi Molnupiravir. Akan tetapi, kajian menunjukkan, obat ini hanya 30 persen efektif mencegah perawatan di rumah sakit. (Reuters)