Korea Selatan memulai penggunaan pil antivirus untuk mengobati Covid-19. Afrika juga tengah mempertimbangkan strategi itu untuk mengimbangi rendahnya angka vaksinasi.
Oleh
B Josie Susilo Hardianto
·5 menit baca
SEOUL, KAMIS Selain vaksin, Korea Selatan dan Afrika akan mencoba menggunakan Paxlovid, pil antivirus buatan Pfizer, untuk menghadang Omicron. Dalam sebuah pernyataan, Kamis (13/1/2022), seorang petinggi Badan Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Korea Selatan (KDCA), Kim Ki-nam, mengatakan, mulai hari ini, pemerintah akan mengobati pasien Covid-19 dengan Paxlovid.
Langkah itu diambil di tengah penyebaran galur Omicron yang sangat menular. KDCA melaporkan, pada Rabu lalu tercatat ada 4.167 kasus. Meskipun—dari total kasus baru—jumlah kasus yang dipicu galur Omicron sedikit, ada kecenderungan peningkatan lebih dari tiga kali lipat dalam dua minggu terakhir. Beberapa kasus baru dari galur Omicron berasal dari warga Korea Selatan yang hadir dalam pameran dagang di Las Vegas, Amerika Serikat.
”Mengingat daya infeksi Omicron yang jauh lebih tinggi, obat harus memainkan peran berarti untuk menahan jumlah pasien yang akan menunjukkan gejala perburukan, bahkan jika jenis virus pemicunya relatif tidak ganas,” kata Kim Ki-nam.
Lebih lanjut Kim mengatakan, penggunaan Paxlovid merupakan upaya pemerintah Korea Selatan meminimalkan infeksi baru yang dipicu galur Omicron serta dampaknya pada kapasitas medis negara itu. Langkah itu dapat dipahami mengingat otoritas kesehatan di sejumlah negara mengingatkan ancaman merebaknya kasus baru yang dipicu Omicron, seperti terjadi di Amerika Serikat dan Eropa.
Pertama
Korea Selatan merupakan negara Asia pertama pengguna Paxlovid. Setidaknya Korea Selatan telah memiliki 630.000 butir Paxlovid yang cukup untuk 21.000 pasien. Pada hari Kamis, obat itu telah didistribusikan ke 280 apotek dan 90 pusat kesehatan warga. Pada akhir Januari, Korea Selatan akan mendapat tambahan pasokan Paxlovid sebanyak 300.000 butir. Izin penggunaan darurat untuk Paxlovid diberikan pada akhir Desember 2021.
Pasien penerima obat itu, diantaranya, adalah pasien dengan risiko penyakit bawaan yang berpotensi memicu perburukan. Selain itu, Paxlovid juga diberikan kepada pasien Covid-19 berusia 65 tahun atau lebih dan mereka yang kekebalannya berkurang.
Kepada setiap pasien akan diberikan dosis tiga pil sekali minum, sebanyak dua kali sehari, untuk pengobatan selama lima hari. Paxlovid memiliki efektivitas hingga 90 persen, terutama untuk mencegah kematian. Menurut Pfizer, dari data yang mereka miliki, Paxlovid juga efektif melawan Omicron.
Sebagai catatan, Korea Selatan merupakan salah satu negara di dunia yang mampu menahan bahaya pandemi Covid-19. Sejak awal terdeteksi pada awal tahun 2020, hingga saat ini tercatat total ada 679.030 kasus Covid-19 di Korea Selatan, sebanyak 6.210 di antaranya diikuti dengan kematian. Keberhasilan Korea Selatan mengendalikan penularan Covid-19 adalah dengan menerapkan pembatasan sosial dan disiplin menggunakan masker.
Saat ini, sebanyak 90 persen penduduk dewasa di negara berpopulasi 52 juta jiwa itu telah mendapatkan vaksin Covid-19 lengkap. Sebanyak 55 persen di antara mereka yang mendapat vaksin lengkap telah disuntik dosis penguat (booster).
Afrika
Selain Korea Selatan, Afrika juga tengah mempertimbangkan penggunaan Paxlovid. Direktur Badan Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular (CDC) Afrika John Nkengasong mengatakan, pihaknya berdiskusi dengan Pfizer untuk melihat kemungkinan mendatangkan obat itu ke Afrika.
Nkengasong mengatakan, mengamankan pasokan obat-obatan Covid-19 adalah salah satu dari tiga strategi Afrika memerangi pandemi Covid-19. Dua strategi lain adalah meningkatkan vaksinasi dan memperluas tes usap. Menurut dia, obat-obatan penting untuk mencegah munculnya varian baru yang sangat menular dan juga mengurangi tekanan pada sistem kesehatan masyarakat.
”Satu-satunya cara untuk meringankan tekanan adalah jika kita memiliki obat-obatan seperti Paxlovid, di mana orang dapat meminum obat itu dan tinggal di rumah dan mendapatkan kesembuhan. Dengan begitu, beban dan kendala pada sistem kesehatan akan berkurang,” kata Nkengasong.
Dalam catatan resmi CDC Afrika, ada lebih dari 10 juta kasus Covid-19 di Afrika. Beberapa negara di Afrika saat ini tengah mengalami gelombang keempat atau kelima infeksi Covid-19. Namun, menurut Nkengasong, di wilayah berpenduduk lebih dari 1,2 miliar jiwa itu, hanya 10 persen di antaranya yang telah mendapat vaksin lengkap.
Kedaluwarsa
Menurut catatan Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef), ada sejumlah negara—terutama negara-negara miskin—yang menolak lebih dari 100 juta dosis vaksin Covid-19 yang didistribusikan oleh Covax. Penolakan itu, di antaranya, disebabkan oleh vaksin yang diberikan telah mendekati tanggal kedaluwarsa. ”Lebih dari 100 juta (dosis) telah ditolak hanya pada bulan Desember saja,” kata Etleva Kadilli, Direktur Divisi Pasokan Unicef, di depan anggota Parlemen Eropa di Brussels, Belgia.
Dari ratusan juta dosis vaksin yang ditolak, sebanyak 15 juta dosis di antaranya merupakan bantuan dari Uni Eropa. Sebanyak tiga perempat dari jumlah itu adalah vaksin produksi AstraZeneca yang memiliki masa penyimpanan kurang dari 10 minggu sejak tanggal kedatangan.
Menurut seorang pejabat senior WHO, sumbangan vaksin seperti itu menjadi ”masalah besar” bagi Covax. Banyak vaksin yang akhirnya terbuang percuma. Desember lalu, kantor berita Reuters melaporkan, pada bulan November setidaknya ada 1 juta vaksin Covid-19 kedaluwarsa di Nigeria. Selain persoalan tanggal kedaluwarsa yang telah mendekati tenggat, sejumlah negara juga terpaksa menunda penerimaan karena tidak memiliki fasilitas penyimpanan yang memadai.
Sebuah badan amal dunia, Care, yang mengekstraksi sejumlah data Unicef, mengatakan, sebanyak 681 juta dosis vaksin yang telah dikirim di sekitar 90 negara juga belum digunakan. Mengutip data Unicef, Care menyebutkan, lebih dari 30 negara, termasuk Republik Demokratik Kongo dan Nigeria, sejauh ini hanya menyuntikkan kurang dari setengah dosis yang telah mereka terima. Data itu memperlihatkan besarnya tantangan dan kesulitan vaksinasi dunia meskipun saat ini pasokan vaksin meningkat.
Covax, program global yang dimotori Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sejauh ini telah mengirimkan lebih dari 989 juta dosis vaksin Covid-19 ke 144 negara. Sejumlah negara miskin menjadi prioritas Covax. Meskipun demikian, vaksin yang mereka miliki tidak hanya berasal dari Covax. Beberapa negara membeli vaksin dari sejumlah produsen atau menggunakan mekanisme lain, seperti mekanisme regional pengadaan vaksin.
Sejak awal vaksin Covid-19 diproduksi massal, pasokan untuk negara-negara miskin memang sangat terbatas. Pasokan yang tersedia—pada Desember 2020—umumnya telah diborong oleh negara-negara kaya.
Pada kuartal terakhir 2021, pasokan untuk dunia meningkat secara eksponensial. Sebagian diperoleh dari sumbangan negara-negara kaya. Bantuan itu diberikan setelah sebagian besar populasi mereka mendapat vaksinasi lengkap.
Pada Januari 2022—merujuk WHO—sebanyak 67 persen populasi di negara-negara kaya telah mendapatkan vaksinasi lengkap. Sementara itu, hanya 8 persen populasi di negara-negara miskin yang telah menerimanya. (REUTERS/JOS)