Kasus Covid-19 Tinggi, Korea Selatan Tetap Tidak Batasi Kegiatan Masyarakat
Korea Selatan mengalami kasus harian Covid-19 tertinggi sepanjang pandemi. Pemerintah berusaha mencari jalan keluar selain penguncian wilayah karena tidak ingin mengorbankan perekonomian.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
SEOUL, SELASA — Korea Selatan selama sepekan ini mengalami kasus Covid-19 terbanyak semenjak pandemi dimulai pada tahun lalu. Meskipun demikian, pemerintah menolak melakukan penguncian wilayah atau lockdown. Mereka memilih mempercepat pemberian dosis penguat vaksin Covid-19 serta mengujicobakan proyek rintisan menggunakan kecerdasan buatan untuk memantau pergerakan pasien positif Covid-19.
”Kami menganjurkan penegakan protokol kesehatan secara masif dan ketat meskipun idealnya memang harus ada pembatasan kegiatan masyarakat berskala besar,” kata Kepala Pusat Pengendalian Penyakit Nasional (NDC) Korea Selatan Jeong Eun-kyeong kepada surat kabar The Korea Herald, Selasa (14/12/2021).
Ia mengungkapkan, hendaknya pemerintah mempertimbangkan kembali untuk memberlakukan aturan bekerja ataupun belajar dari rumah. Saat ini, sekolah-sekolah telah menerapkan pembelajaran tatap muka secara penuh. Restoran, kafe, dan kelab malam juga tidak memiliki kuota untuk pengunjung.
Korsel memiliki penduduk 51 juta jiwa. Dari jumlah itu, 81 persen di antaranya telah menerima vaksinasi Covid-19 dosis lengkap. Bahkan, sebanyak 14 persen sudah menerima suntikan dosis penguat (booster). Pemerintah mempercepat jeda antara dosis kedua dan dosis penguat menjadi tiga bulan, bukan lima bulan seperti aturan sebelumnya.
Namun, hal ini tidak menyurutkan angka penularan akibat maraknya Covid-19 galur Delta. Data NDC menunjukkan, sebagian besar pasien positif adalah orang yang belum divaksin atau dari kelompok rentan, seperti berpenyakit bawaan, yang mengakibatkan mereka tidak boleh divaksin.
Pejabat Kementerian Kesehatan Korsel, Park Hyang, mengungkapkan, sebanyak 82 persen unit perawatan intensif (ICU) di negara itu telah terisi. Di ibu kota Seoul saja keterisian ICU mencapai 86 persen. Pemerintah terus mengupayakan penambahan tempat tidur dan tenaga kesehatan untuk menangani pasien yang masuk rumah sakit. Para pengamat kesehatan mengkhawatirkan sistem layanan kesehatan di Korsel akan ambruk apabila galur Delta tidak tertangani.
NDC mencatat, pada Selasa saja ada 5.567 kasus baru. Sebanyak 906 pasien dalam keadaan kritis dan 94 orang meninggal. Terdapat 1.480 pasien yang tengah menunggu ketersediaan ruang rawat di rumah sakit. Dari korban jiwa, ada 17 orang yang meninggal di kediaman masing-masing karena tidak kunjung bisa dirawat inap. Pekan lalu, selama tiga hari berturut-turut, jumlah kasus harian mencapai lebih dari 7.000.
Di tengah keadaan ini, Presiden Korsel Moon Jae-in tetap tidak mau melakukan pembatasan kegiatan masyarakat. ”Saya tidak ingin negara kita berjalan mundur ke situasi tahun lalu,” tuturnya kepada media nasional.
Moon dan jajaran pemerintahan memilih memperketat protokol kesehatan, seperti mewajibkan masyarakat memakai masker dan menunjukkan tanda bukti vaksinasi lengkap ketika hendak memasuki tempat-tempat umum. Tempat usaha yang lalai meminta tanda vaksiansi dari pengunjungnya akan didenda sebesar 1,5 juta won (sekitar Rp 18 juta). Adapun individu yang mangkir dikenai denda 100.000 won atau setara Rp 1,2 juta.
Pemerintah beralasan tidak mau mengorbankan perekonomian, terutama usaha-usaha kecil dan menengah, yang sudah menderita selama pandemi. Bagi Moon, lebih masuk akal mempercepat proses vaksinasi. Para tenaga kesehatan diturunkan ke sekolah-sekolah untuk memvaksinasi anak-anak berusia 7 tahun ke atas.
Selain itu, Korsel juga akan memproduksi vaksin Covid-19 setelah pemerintahnya mengizinkan perusahaan farmasi Samsung Biologics untuk membuat vaksin dari Moderna. Vaksin ini akan dijual dengan merek dagang Spikevax dan merupakan vaksin berbasis m-RNA pertama yang diproduksi di Korsel.
Samsung Biologics juga memperoleh izin memproduksi obat antibodi dari AstraZeneca. Obat yang menggabungkan antibodi tixagevimab dan cilgavimab ini akan dijual dengan merek dagang Evusheld dan berkhasiat mencegah infeksi akibat penularan Covid-19. Menurut keterangan resmi dari Samsung Biologics, Evusheld akan menjadi pengobatan penyerta bagi orang-orang berpenyakit bawaan, penerima cangkok organ, ataupun mereka yang memerlukan perlindungan lebih lanjut selain vaksin Covid-19.
Pemerintah Korsel juga tengah menguji coba pemakaian kecerdasan buatan untuk mendeteksi peredaran pasien positif Covid-19 beserta kontak erat mereka. Kota Bucheon yang berpenduduk 800.000 jiwa menjadi lahan percobaan. Proyek ini memanfaatkan 10.820 kamera pengawas yang tersebar di seantero Bucheon dan tersambung ke satu pusat analisis.
Program kecerdasan buatan ini merekam data pasien positif, kemudian melalui kamera pemantau mendeteksi rekam jejak pasien itu beberapa hari sebelumnya. Dari metode ini, terlihat orang-orang yang melakukan kontak dengan pasien ataupun tempat-tempat yang ia datangi. Harapannya, teknologi ini bisa mengurangi waktu pelacakan setiap kasus positif.
Wali Kota Bucheon Jang Deog-cheon mengungkapkan, tantangan terbesar ialah ketersediaan sumber daya manusia untuk mengoperasikan teknologi serta menganalisis hasil pantauan lebih lanjut. Di samping itu, sejumlah kelompok pembela hak asasi manusia mengkritisi teknologi ini tidak etis karena menginvasi kehidupan pribadi masyarakat. Undang-Undang Kesehatan mengamanatkan bahwa data pasien hanya boleh diakses oleh pihak di luar dokter yang menangani dengan izin tertulis dari yang bersangkutan. (REUTERS)