Kemunculan Omicron Tanda Kesenjangan Vaksinasi di Dunia
Reaksi global menghadapi kemunculan galur Covid-19 Omicron dengan memblokir kedatangan orang-orang dari Afrika dianggap diskriminatif. Apalagi, penyebab munculnya varian itu tak lepas dari kesenjangan vaksinasi di dunia.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar dan Ahmad Arif
·6 menit baca
PRETORIA, SENIN — Kesigapan sejumlah negara dengan kembali menutup perbatasan bagi kedatangan orang-orang dari Benua Afrika guna mencegah masuknya varian baru virus Covid-19, Omicron, menunjukkan wajah ironi dalam upaya pemulihan pandemi. Di satu sisi, hal itu memperlihatkan kewaspadaan global, tetapi di sisi lain menunjukkan perilaku diskriminatif mengingat komunitas internasional seolah tidak berupaya menggenjot percepatan vaksinasi di Benua Afrika.
”Main blokade kedatangan penduduk dari Afrika Selatan (Afsel) ini diskriminatif karena tidak berbasis pada penemuan ilmiah. Hal ini juga menyakiti perekonomian negara-negara yang diblokade karena kami tak akan bisa menangani pandemi apabila ekonomi tidak berjalan,” kata Presiden Afsel Cyril Ramaphosa dalam temu pers, Minggu (28/11/2021).
Kritik Ramaphosa senada dengan pernyataan Direktur Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk Afrika, Matsidisho Moeti. Ia mengingatkan, WHO tak pernah mengeluarkan keputusan bahwa pemblokadean pergerakan manusia adalah jalan yang efektif untuk menangani pandemi. Faktor penting yang tak boleh dilupakan, galur baru ini muncul akibat kesenjangan akses vaksinasi Covid-19 di beberapa negara.
Data WHO menunjukkan, di negara-negara miskin, hanya 4 dari 100 penduduk yang sudah divaksinasi. Bandingkan dengan negara-negara maju yang jumlah penerima vaksin Covid-19 dosis lengkap rata-rata mencapai 133 per 100 orang.
Benua Afrika memiliki 1,2 miliar penduduk. Namun, Pusat Pengendalian Penyakit Afrika mengungkapkan, baru 6,6 persen penduduk di satu benua ini yang telah mendapatkan vaksin dosis lengkap.
Dalam Pertemuan Ke-13 Asia-Eropa (ASEM) yang dipimpin Kamboja, 50 negara menyerukan kesetaraan akses vaksin. Meskipun demikian, tidak disinggung mengenai penangguhan hak paten ataupun hak kekayaan intelektual vaksin Covid-19 agar bisa diproduksi di berbagai belahan dunia.
Permasalahan selama ini ialah negara-negara kaya fokus menangani pandemi di dalam negeri masing-masing. Bahkan, ketika lebih dari 60 persen penduduknya telah divaksin, mereka belum banyak berbagi dosis dengan negara lain yang membutuhkan. Stok vaksin itu justru dipakai untuk menyuntikkan dosis penguat (booster).
Itu langkah yang diambil, antara lain, oleh Inggris. Perdana Menteri Boris Johnson mengumumkan bahwa penduduk Inggris yang berumur di bawah 40 tahun sudah bisa mengakses dosis penguat.
Ketua Komisi Eropa (UE) Ursula von der Leyen mengatakan, Uni Eropa berjanji akan berbagi dosis vaksin. Sejauh ini, UE sudah mengekspor 550 juta dosis vaksin Covid-19 ke Asia Pasifik. Menurut dia, selain memperluas akses, setiap perusahaan farmasi yang membuat vaksin juga harus meningkatkan kapasitas produksi mereka agar 70 persen penduduk dunia bisa divaksin pada pertengahan tahun 2022.
Produsen vaksin terbesar di dunia, Serum Institute of India (SII), sejak 26 November lalu sudah diizinkan mengekspor vaksin Covishield, yaitu vaksin AstraZeneca buatan mereka. Pemerintah India per April melarang ekspor dengan alasan meminta SII fokus menangani kebutuhan vaksin di dalam negeri dulu. Padahal, SII merupakan harapan bagi program Covax untuk menyediakan vaksin bagi 92 negara miskin dan berkembang.
Adapun perusahaan farmasi China, Sinovac, seperti dilansir dari keterangan resmi mereka, siap membuat vaksin khusus yang menyasar galur Omicron. Mereka juga sudah mengembangkan vaksin khusus untuk mengatasi galur Gamma dan Delta.
Mutasi virus
Seperti dikutip media The Conversation, peneliti senior Departemen Mikrobiologi dan Imunologi Universitas Melbourne, Australia, Jennifer Juno, menjelaskan, tiap jenis virus secara alami bermutasi. Ketika virus menular di antara manusia, ada yang lebih mudah masuk ke dalam sel dan berkembang menjadi galur baru yang lebih kuat ataupun mudah menyebar.
”Secara ilmiah, hubungan antara mutasi dan kesenjangan akses vaksinasi masih harus diteliti lebih mendalam. Namun, minimnya vaksinasi membuat risiko penularan bertambah dan mengakibatkan kemunculan kluster. Ini memberi kesempatan bagi virus bermutasi,” ujar Juno.
Ia mengatakan, hingga saat ini, vaksinasi tetap menjadi senjata paling efektif untuk menangani pandemi.
Galur Omicron menjadi salah satu dari empat galur virus SARS-CoV-2 yang masuk daftar diwaspadai WHO. Omicron adalah galur kedua yang berkembang di Afsel setelah Beta.
Galur Omicron pertama kali ditemukan di Gauteng, Afsel, pada 9 November 2021 dan diketahui memiliki 30 jenis mutasi. Omicron bisa menginfeksi ulang orang yang pernah sembuh dari galur ini.
Selain Omicron, galur yang masuk daftar diwaspadai atau memiliki kemampuan penularan cepat ialah Beta dari Afsel, Gamma dari Brasil, dan Delta dari India. Galur terakhir ini masih menjadi penyumbang kasus terbanyak secara global.
Amerika Serikat, Inggris, Indonesia, Qatar, Kuwait, Arab Saudi, dan Belanda langsung menutup perbatasan dari delapan negara di selatan Afrika yang diduga menjadi sumber penyebaran galur Omicron. Negara-negara itu meliputi Afsel, Eswatini, Botswana, Mozambik, Lesotho, Zimbabwe, Namibia, dan Malawi. Bahkan, negara tetangga mereka, yaitu Angola, juga menutup perbatasan.
Belanda melakukannya dengan alasan menemukan 13 kasus Omicron dari 61 penumpang yang baru datang dari Afsel.
Menurut Direktur Pascasarjana Universitas YARSI yang juga mantan Direktur Penyakit Menular WHO Regional Asia Tenggara Tjandra Yoga Aditama, varian baru Omicron memiliki banyak mutasi, tetapi implikasinya terhadap kecepatan penularan, keparahan, dan vaksin belum diketahui dengan pasti. Varian ini belum ditemukan di Indonesia.
Perkuat kapasitas
Meski demikian, Indonesia perlu memperkuat surveilans genomik dan meningkatkan kapasitas medis untuk antisipasi kemungkinan peningkatan kasus. ”Setelah menetapkan Omicron sebagai VOC (variant on concern/varian yang diwaspadai), WHO telah mengeluarkan pernyataan lanjutan tentang varian ini,” kata Yoga Aditama di Jakarta, Senin (29/11/2021).
Dalam pengumuman yang dikeluarkan WHO pada Minggu (28/11/2021) disebutkan, belum terlalu jelas apakah Omicron lebih menular ketimbang varian lain, termasuk Delta. Jumlah orang yang positif varian ini terus meningkat di Afsel, tetapi perlu studi epidemiologi mendalam untuk memastikan apakah hal ini karena Omicron atau faktor lain.
Selain itu, WHO menyatakan tingkat keparahan penyakit ini belum bisa dipastikan. ”Belum jelas apakah infeksi Omicron menyebabkan penyakit yang lebih parah dibandingkan infeksi varian lain, termasuk Delta,” sebut WHO.
Epidemiolog Indonesia di Griffith University, Dicky Budiman, mengatakan, sebagaimana terjadi dengan varian-varian lain, seperti Delta dan Alfa, sulit untuk mencegah masuknya varian baru yang lebih dominan masuk ke suatu negara. Karena itu, selain tetap berupaya mencegah agar virus ini tidak masuk, Indonesia juga perlu menyiapkan skenario jika kemudian virus ini beredar di dalam negeri.
Dicky mengatakan, sebagaimana direkomendasikan WHO, setiap negara harus meningkatkan pengawasan dan surveilans genomik. Data dari pengurutan genom ini kemudian wajib dibagi ke database yang tersedia untuk umum, seperti GISAID.
Selain itu, negara-negara harus terus menerapkan langkah kesehatan masyarakat yang efektif demi mengurangi sirkulasi Covid-19 secara keseluruhan, memakai analisis risiko dan pendekatan berbasis sains. Mereka juga harus meningkatkan beberapa kesehatan masyarakat dan kapasitas medis untuk mengelola peningkatan kasus.
”Selain upaya yang dilakukan negara, setiap orang juga harus bertanggung jawab menekan kasus penularan. Selama kasus Covid-19 ini masih ada, risiko mutasi juga tinggi,” kata Dicky.
Langkah paling efektif yang dapat dilakukan individu untuk mengurangi penyebaran virus Covid-19 ialah menjaga jarak fisik minimal 1 meter dari orang lain, memakai masker yang benar, memperbaiki sirkulasi udara, menjaga tangan tetap bersih, serta segera vaksinasi bagi yang belum. (REUTERS/AFP)