Obat Covid-19 Buatan Pfizer Diklaim Turunkan Risiko Kematian hingga 90 Persen
Menyusul Merck yang sebelumnya telah merilis hasil riset obat Covid-19, Pfizer juga mengumumkan hasil menggembirakan studi obat Covid-19 mereka.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pfizer mengumumkan bahwa pil antivirus eksperimental untuk Covid-19 buatan mereka bisa menurunkan tingkat rawat inap dan kematian hampir 90 persen pada orang dewasa yang berisiko tinggi. Namun, obat ini hanya akan efektif jika diberikan sejak awal gejala sehingga upaya deteksi dini menjadi sangat penting.
Pengumuman mengenai kemanjuran antivirus ini dirilis Pfizer, perusahaan yang juga memproduksi vaksin Covid-19 berplatform mRNA pada Jumat (5/11/2021) waktu New York, Amerika Serikat.
”Data menunjukkan bahwa kandidat antivirus oral kami, jika disetujui atau disahkan oleh otoritas, berpotensi menyelamatkan nyawa pasien, mengurangi keparahan infeksi Covid-19, dan menghilangkan hingga sembilan dari 10 pasien rawat inap,” kata Albert Bourla, Chief Executive Officer Pfizer.
Data yang dipaparkan Bourla itu didapatkan analisis sementara atas hasil pengujian obat antivirus Pfizer, PAXLOVID™, terhadap sejumlah pasien. Semua peserta penelitian ini tidak divaksinasi, memiliki gejala awal Covid-19 ringan hingga sedang, dan dianggap berisiko tinggi untuk dirawat di rumah sakit karena masalah kesehatan seperti obesitas, diabetes, atau penyakit jantung.
Pengobatan dimulai dalam tiga sampai lima hari sejak gejala awal dan berlangsung selama lima hari. Pasien yang menerima obat lebih awal menunjukkan hasil yang sedikit lebih baik, menggarisbawahi perlunya pengujian dan pengobatan yang cepat.
Disebutkan bahwa risiko rawat inap dan kematian terkait Covid-19 berkurang 89 persen dibandingkan dengan plasebo pada pasien yang diberi obat dalam waktu tiga hari sejak timbulnya gejala.
Data menunjukkan bahwa kandidat antivirus oral kami, jika disetujui atau disahkan oleh otoritas, berpotensi menyelamatkan nyawa pasien, mengurangi keparahan infeksi Covid-19, dan menghilangkan hingga sembilan dari 10 pasien rawat inap.
Sebanyak 0,8 persen pasien atau 3 dari 389 orang yang menerima PAXLOVID™ yang dirawat di rumah sakit tidak ada satu pun yang meninggal. Sementara 7 persen pasien atau 27 dari 385 orang, yang menerima plasebo dan dirawat di rumah sakit, sebanyak 7 orang di antaranya meninggal dunia.
Pengurangan serupa dalam rawat inap atau kematian terkait Covid-19 juga diamati pada pasien yang dirawat dalam waktu lima hari sejak timbulnya gejala. Dalam keseluruhan populasi penelitian hingga hari ke 28, tidak ada kematian yang dilaporkan pada pasien yang menerima PAXLOVID™ dibandingkan dengan 10 orang atau 1,6 persen kematian pada pasien yang menerima plasebo.
Atas rekomendasi dari Komite Pemantau Data independen dan berkonsultasi dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA), Pfizer akan menghentikan penelitian karena kemanjuran yang telah ditunjukkan dalam hasil pengujian ini. Berikutnya, mereka berencana untuk mengirimkan data sebagai bagian dari pengajuan izin otorisasi penggunaan darurat atau EUA ke FDA.
Temuan Pfizer ini memberi harapan baru terhadap pengobatan Covid-19. Pada September 2021, Merck mengumumkan bahwa obat Covid-19 buatan mereka yang disebut molnuporavir bisa memangkas tingkat rawat inap dan kematian sebesar 50 persen.
Pentingnya deteksi dini
Epidemiolog Indonesia di Griffith University, Dicky Budiman, yang dihubungi Sabtu (6/11/2021) mengatakan, obat protese inhibitor buatan Pfizer ini awalnya dikembangkan untuk melawan SARS-CoV pada tahun 2003. Namun, telah dimodifikasi untuk mengatasi SARS-CoV-2 atau virus penyebab Covid-19.
”Sebagai terapi untuk berbagai jenis infeksi varian korona, pil antivirus ini menjadi obat kedua setelah Merck yang menunjukkan efektivitas kuat mengobati Covid-19 pada fase awal penyakit,” katanya.
Menurut Dicky, baik Merck maupun Pfizer kemungkinan akan segera mendapatkan EUA dari FDA. ”Perkiraan saya, kemungkinan sebelum akhir tahun ini sudah akan dapat izin penggunaan,” katanya.
Namun, Dicky mengingatkan, kedua obat ini harus diberikan di hari-hari pertama gejala. ”Itu sebabnya, upaya deteksi dini menjadi sangat penting, termasuk di dalamnya penguatan dan kecepatan tes. Jika hasil tes lama dan pelacakan kasus tidak bagus, obat-obatan ini tidak akan bekerja dengan baik. Ini jadi pekerjaan rumah di Indonesia untuk meningkatkan kapasitas tes dan lacak,” paparnya.