Raksasa Tambang Rio Tinto Berjanji Benahi Sistem Kerja Sarat Kekerasan Seksual
Setelah mengetahui memiliki banyak kasus kekerasan seksual, perusahaan pertambangan Rio Tinto berkomitmen akan berubah.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
MELBOURNE, KAMIS – Perusahaan pertambangan global Rio Tinto, yang bermarkas di Inggris dan Australia, menerbitkan hasil penyelidikan internal yang mengungkapkan maraknya perilaku pelecehan seksual dan rasisme. Rio Tinto berjanji membenahi sistem kerja mereka dan menjalankan rekomendasi tim pakar dalam isu tersebut.
Laporan tersebut dikeluarkan pada Kamis (3/2/2022). Direktur Utama Rio Tinto Jakob Stausholm mengaku sangat terganggu dengan fakta yang terkuak. Ia meminta diadakan penyelidikan tersebut pada Maret 2021 ketika baru diangkat sebagai pemimpin perusahaan tersebut.
”Ada 26 rekomendasi dari tim pakar penanganan dan pencegahan kekerasan seksual yang dipimpin oleh Elizabeth Broderick, mantan Komisioner Antikekerasan Seksual Pemerintah Federal Australia. Kami berjanji akan menerapkan semua (rekomendasi)-nya,” kata Stausholm.
Rio Tinto berdiri pada tahun 1873 sebagai perusahaan gabungan dari pengusaha-pengusaha pertambangan di Inggris dan Australia. Saat ini, mereka beroperasi, antara lain, di Australia, Papua Niugini, Kanada, Mongolia, Afrika Selatan, dan Amerika Serikat.
Penyelidikan yang dilakukan perusahaan itu menyurvei 10.000 pegawai, di dalamnya juga dilakukan wawancara individual. Terungkap bahwa 30 persen karyawan perempuan dan 7 persen karyawan laki-laki mengaku pernah mengalami pelecehan seksual berupa omongan ataupun sentuhan fisik. Setelah ditelusuri lebih mendalam, ada 21 perempuan yang mengaku pernah hampir diperkosa oleh rekan kerja mereka.
Sebanyak 80 persen pekerja di Rio Tinto adalah laki-laki. Jumlah laporan paling tinggi berasal dari unit mereka di Afrika Selatan. Akan tetapi, hasil penyelidikan tersebut menekankan bahwa ini adalah fenomena gunung es. Sebab, 10.000 karyawan yang disurvei itu adalah perwakilan sehingga dikhawatirkan ada orang-orang yang tidak disurvei, tetapi pernah mengalami pelecehan ataupun kekerasan seksual.
”Saya tidak menyangka permasalahan sedemikian parah. Ini sudah penyakit sistematis yang harus dirombak agar tidak ada lagi perundungan, pelecehan, dan rasisme,” kata Stausholm.
Rasisme
Rio Tinto juga memiliki masalah rasisme yang serius. Para pekerja mengungkapkan, perusahaan tersebut menerapkan sistem yang sangat berpandangan kulit putih. Akibatnya, para pekerja lokal, terutama orang-orang kulit berwarna, memperoleh perlakuan layaknya warga kelas dua.
Isu tersebut paling banyak dikemukakan oleh unit dari Australia. Rasisme tidak hanya dari perkataan dan perbuatan, tetapi juga ada upaya mempersulit orang-orang kulit berwarna, termasuk orang suku asli Australia, untuk naik pangkat meskipun mereka kompeten secara profesi.
”Ini adalah masalah berkepanjangan yang selalu kami keluhkan, tetapi tidak ada tanggapan yang signifikan dari Rio Tinto. Pekerja mengalami kendala pada pemenuhan keselamatan kerja dan bagi pekerja dari etnis minoritas di perusahaan, masalahnya berlipat ganda karena ada ketidaknyamanan dalam suasana kerja,” ujar Sekretaris UnionsWA Owen Whittle. Ini adalah serikat pekerja di Australia Barat yang beranggotakan 150.000 orang dari berbagai perusahaan.
Perusahaan tersebut juga dituntut untuk lebih peka dalam melakukan bisnis pertambangan. Skandal besar Rio Tinto di Australia ialah pada tahun 2020 ketika mereka meledakkan lahan di Ngarai Juukan untuk membuat tambang. Padahal, itu adalah wilayah keramat bagi masyarakat adat Australia yang masukannya tidak digubris oleh perusahaan. Akibat peristiwa itu, Direktur Utama Rio Tinto tahun 2020, Jean-Sebastien Jacques, dan beberapa petinggi perusahaan yang bertanggung jawab mengundurkan diri.
Terlepas dari permasalahan-permasalahan itu, inisiatif Rio Tinto melakukan penyelidikan internal dan mengakui bahwa perusahaan mereka memiliki berbagai isu yang harus diselesaikan dipuji oleh berbagai pihak. Industri pertambangan mengalami kekurangan tenaga kerja dan berusaha merekrut lebih banyak perempuan. Akan tetapi, pertama-tama, mereka harus mengubah cara kerja yang sangat patriarkis dan sarat perundungan.
”Perubahan selain secara internal juga harus dilakukan melalui pengawasan lebih ketat oleh para penanam modal dan masyarakat awam. Mudah-mudahan upaya yang dilakukan oleh Rio Tinto ini diikuti oleh perusahaan-perusahaan tambang lain. Pada akhirnya, jika perusahaan tidak memperlakukan karyawan dengan benar, tidak akan ada orang yang mau bekerja di sana,” tutur Will van de Pol, pakar manajemen aset untuk firma investasi Market Forces, seperti dikutip oleh surat kabar Daily Mail. (AFP/REUTERS)