Perempuan pekerja rentan mengalami kekerasan dalam berbagai bentuk. Karena itu, pemerintah didesak segera meratifikasi Konvensi ILO 190 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
Dunia kerja menyimpan berbagai aspek diskriminasi dan kekerasan berbasis jender terhadap perempuan dalam banyak bentuk, saling berkait, dan dampaknya berantai. Meski demikian, hingga kini persoalan kekerasan dan pelecehan berbasis jender di dunia kerja masih dikecualikan dari skema perlindungan ketenagakerjaan dan perlindungan hak asasi manusia perempuan.
Padahal, selain dampak fisik yang bisa mengakibatkan pekerja menyandang disabilitas, sakit kronis, dan kehilangan nyawa, kekerasan yang dialami perempuan juga berdampak psikis. Selain itu, perempuan korban juga mengalami dampak ekonomi akibat hilangnya sumber mata pencaharian.
Demikian Hasil Kajian mengenai Urgensi Ratifikasi Konvensi ILO 190 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang diluncurkan pada Senin (20/12/2021).
Hasil kajian dipaparkan Rainy M Hutabarat (Ketua Tim Advokasi Internasional Komnas Perempuan) dan Tiasri Wiandani (Ketua Tim Perempuan Pekerja Komnas Perempuan). Turut hadir pula tim penulis yang terdiri dari Yuniyanti Chuzaifah (tenaga ahli), Theresia Sri Endras Iswarini, Satyawanti Mashudi, Dela Feby Situmorang, Fitri Lestari, Sondang Frishka, dan Yuni Asriyanti.
”Kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan di dunia kerja berkelindan dan tidak bisa dipisahkan dari diskriminasi berbasis jender. Kendati tidak selalu berbasis jender, ada dimensi relasi kuasa lainnya,” ujar Rainy.
Bahkan, terdapat lapis-lapis diskriminasi-kekerasan berbasis jender yang bertumpuk dengan diskriminasi karena identitas lain, mulai dari ketimpangan kelas, sentimen etnis, agama, orientasi seksual, ableisme (stereotip kepada penyandang disabilitas), hingga diskriminasi berbasis kewarganegaraan, khususnya konteks migrasi.
Tiasri mengungkapkan, dari kajian ditemukan, praktik diskriminasi dan kekerasan terhadap pekerja terjadi pada hampir semua sektor pekerja (perburuhan, rumah tangga, pekerja migran, perempuan dengan disabilitas, jurnalis, hingga pekerja kreatif). Bentuk kekerasan di antaranya dilempar, dipukul, dicekik, didorong, dimaki dengan kata-kata kasar, dibatasi waktunya ke toilet, dan diskors.
Pelanggaran hak-hak normatif juga terjadi lintas jender, antara lain upah dipotong, upah minimum kabupaten/kota di bawah standar, jam kerja eksploitatif, dan alat pelindung diri (APD) tidak memadai. Adapun lokus kekerasan meliputi tempat kerja dan juga lingkungan sekitar atau ruang publik dalam konteks kerja, seperti transportasi umum dan ruang siber.
”Pelaku utama berada di tempat kerja, tapi pelaku juga merupakan orang-orang di luar kantor, namun masih dalam konteks kerja, seperti klien, tamu, pedagang di sekitar kantor, narasumber saat ada kegiatan, dan sebagainya,” kata Tiasri dalam diskusi yang dipandu Santyawanti Mashudi, komisioner Komnas Perempuan, itu.
Karena itulah, penting sekali pemenuhan hak-hak normatif agar perempuan pekerja dapat menjalankan pekerjaan secara maksimal dan bisa memenuhi target kerja serta mencegah munculnya efek domino ke depan.
Karena itulah, penting sekali pemenuhan hak-hak normatif agar perempuan pekerja dapat menjalankan pekerjaan secara maksimal dan bisa memenuhi target kerja serta mencegah munculnya efek domino ke depan.
Mendesak ratifikasi Konvensi ILO 190
Anggota DPR, Luluk Nur Hamidah, dan Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia Nining Elitos memberikan apresiasi atas kajian Komnas Perempuan tersebut. Keduanya juga menilai ratifikasi Konvensi ILO 190 sangat mendesak untuk melindungi perempuan pekerja dari praktik kekerasan dan pelecehan.
Luluk menduga, hambatan yang membuat Konvensi ILO 190 belum diratifikasi antara lain karena kemungkinan ada pemikiran implementasi konvensi tersebut akan membahayakan sektor industri. Maka, sosialisasi menjadi penting bahwa pemenuhan hak-hak perempuan dan kondisi psikologi perempuan yang nyaman akan sejalan dengan peningkatan produktivitas kerja.
Artinya, jika pekerja dalam kondisi sejahtera lahir batin dan bahagia, serta tidak mengalami kekerasan seksual, dia akan jauh lebih produktif. Dengan demikian, kebahagiaan itu relevan dengan misi dunia usaha.
Nining mengungkapkan, terdapat berbagai aturan tentang hak-hak perempuan pekerja, seperti mendapat cuti haid dan melahirkan, tetapi dalam praktik sulit untuk mendapatkannya. Kalau perempuan pekerja hendak mengambil cuti haid, misalnya, dia harus diperiksa oleh dokter perusahaan.
”Kekerasan ini meningkat. Dalam satu tahun, kami mendapat pengaduan lebih dari sepuluh, tidak hanya fisik, tapi juga pelecehan,” ungkap Nining.
Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mengungkapkan, Komnas Perempuan menerima pengaduan langsung mengenai kekerasan di dunia kerja, mulai dari pelanggaran hak reproduksi perempuan, perempuan pekerja yang hamil dipecat oleh majikannya di tempat kerja, hingga kasus pelecehan yang dilakukan oleh atasan atau rekan kerja.
Bahkan, pada tahun 2020, Komnas Perempuan mencatat setidaknya ada 64 pengaduan langsung kekerasan terhadap perempuan pekerja, yakni pelanggaran hak maternitas (haid, kehamilan, fasilitas kesehatan), keselamatan dan kesehatan kerja, pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap perempuan buruh yang hamil, serta buruh migran dipulangkan tanpa mendapat layanan optimal dari negara.
Selain itu, juga pelecehan seksual yang disebabkan oleh kondisi kerja yang tidak layak bagi perempuan. Sering kali terjadi pembiaran saat kasus pelecehan seksual dilaporkan, tetapi perusahaan justru melarang korban melapor ke kepolisian, bahkan mem-PHK korban. Pelecehan seksual di tempat kerja lebih rentan dialami oleh perempuan buruh yang berstatus sebagai pekerja alih daya.
”Kajian ini diharapkan dapat menjadi basis data kasus dan kerangka analisis, baik mengenai kasus, regulasi, kebijakan, maupun tantangan dalam perlindungan, pencegahan,dan penanganan kasus kekerasan serta pelecehan di dunia kerja. Selanjutnya, ini bisa menjadi basis untuk mendorong ratifikasi Konvensi ILO Nomor 190 dan Rekomendasi Nomor 206,” ujar Andy.