Simalakama Perempuan Buruh: Dirumahkan Sengsara, Bekerja Bahaya
Nasib buruh pada masa pandemi Covid-19 sekarang ini bagai makan buah simalakama. Mau terus kerja, mereka rentan tertular virus korona baru. Namun, berhenti kerja, mereka sengsara karena kehilangan penghasilan.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
Sejak 13 April 2020, Sri Rahmawati (41) bersama 800-an karyawan di sebuah perusahaan garmen yang berlokasi di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) di Jalan Raya Cakung Cilincing, Sukapura, Cilincing, Jakarta Utara, DKI Jakarta, dirumahkan. Mereka dirumahkan hingga 24 April mendatang tanpa digaji. Alasan perusahaan karena produksi terhambat, tidak ekspor dan impor.
”Perusahaan minta pengertian karena walaupun barang sudah dikerjakan, tidak bisa diekspor dan juga ada buyer yang cancel ordernya karena situasi Covid-19. Kami diminta tinggal di rumah selama dua minggu dan masuk kembali 27 April 2020,” ujar Sri Rahmawati yang akrab disapa Rahma, Minggu (19/4/2020), di Jakarta.
Rahma, yang berasal dari Nusa Tenggara Barat (NTB), telah bekerja di perusahaan garmen tersebut sejak 2005 di bagian finishing. Di perusahaannya terdapat sekitar 800 karyawan yang hampir semuanya perempuan, hanya 10 persen laki-laki.
Selama ini, jika bekerja penuh selama sebulan, dia mendapat upah Rp 4,2 juta. Namun, ketika dirumahkan selama dua minggu (10 hari kerja), upahnya dan kawan-kawan tidak dibayar atau akan dipotong 10 hari. Dengan demikian, jika nanti kembali bekerja pada 27 April mendatang, dia hanya akan terima upah Rp 2,8 juta.
Padahal, menurut Rahma, dengan upah penuh selama sebulan pun, sebenarnya selama ini dia dan keluarganya harus ketat dalam pengeluaran. Selain membayar kontrakan, dia juga harus membiayai sekolah dua anaknya. Suaminya yang juga dari NTB baru mendapat pekerjaan tiga pekan lalu, tapi kemudian terjadi pandemi Covid-19.
”Dirumahkan, gaji dipotong 10 hari, secara ekonomi sudah pasti terganggu. Wong saat gaji dibayar penuh pun kami harus benar-benar berhemat pengeluarannya, apalagi sekarang dipotong 10 hari. Kontrakan, kan, harus dibayar terus. Belum lagi beli paket internet anak untuk belajar dari rumah. Semua tahu, kehidupan di Jakarta serba susah, jadi ini sangat berat buat kami,” papar Rahma.
Ia mengaku selama dirumahkan tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan ketika keluar kontrakan ditegur pihak rukun tetangga (RT). Satu hal yang mengganggu pikiran Rahma adalah jika situasi pandemi semakin memburuk, bukan tidak mungkin perusahaan memperpanjang karyawannya di rumah. Itu berarti nasib mereka akan semakin tidak jelas, padahal tabungan keluarga tidak ada.
”Kami juga khawatir kalau diperpanjang dirumahkan. Sebab, ada perusahaan lain yang kurangi karyawan karena pendemi masih terjadi. Kami khawatir kalau tidak ada kepastian kapan berhenti situasi ini,” kata Rahma.
Situasi sulit juga dihadapi sejumlah perempuan pekerja di PT Kaho Indah Citra Garment di KBN Cakung. Hingga awal pekan lalu, mereka tetap bekerja seperti biasa, masuk ke pabrik. Namun, semenjak 15 April 2020, pemerintah setempat menyegel perusahaan. Karyawan diminta tidak masuk kerja sehingga pada 16 April perusahaan diliburkan.
”Tapi, karyawan kemudian dapat informasi kalau 17 April 2020 karyawan diminta masuk kerja, sekitar 50 persen dari jumlah karyawan. Serikat pekerja juga dikabarin kalau mau masuk seperti ganjil-genap,” ujar Ketua Serikat Pekerja PT Kaho Indah Citra Garment di KBN Cakung, Yumanna Sagala.
Menurut Yumanna, dari pembicaraan bipartit pada pekan lalu, pihak manajemen perusahaan memberitahukan kalau libur 16 April dianggap sebagai cuti tahunan dan berlakunya 50 persen pembayaran. ”Kami masih menolak keputusan manajemen tersebut,” kata Yumanna.
Yummana mengakui, situasi perempuan pekerja sangat sulit, bak berhadapan simalakama. Jika terus bekerja berada dalam situasi yang sangat rentan karena pekerjaan di pabrik mengharuskan mereka berkumpul. Begitu juga perjalanan menuju ke pabrik, sangat berisiko tertular virus korona baru.
Jumisih, Ketua Umum Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) di Cakung, menegaskan, situasi dan kondisi perempuan pekerja benar-benar sulit. Jika bertahan bekerja, mereka terancam bahaya tertular virus korona baru, tapi kalau tidak bekerja, mereka sengsara dan tidak dapat gaji.
”Bekerja dalam situasi sampai sekarang ini sangat riskan. Mereka harus mepet-mepet, enggak berjarak, berpotensi menjadi penular. Mereka kerja dalam bahaya karena hanya dilengkapi alat pelindung diri seadanya, ada pencuci tangan dan pengukur suhu, tapi masker tidak diberikan dalam jumlah memadai,” katanya.
Hasil pemantauan pemenuhan hak buruh terkait Covid-19 di Jabodetabek, Karawang, dan Jawa Tengah, melalui posko daring yang dilakukan tiga pekan (23 Maret hingga 10 April 2020) oleh Marsinah FM dan Kelompok Belajar Perburuhan (Kobar) menemukan sejumlah informasi terkait situasi dan kondisi buruh.
Berdasarkan informasi dari para buruh yang menjadi responden dalam posko daring tersebut tergambar betapa buruknya pemenuhan hak-hak buruh dalam situasi pandemi Covid-19. Setidaknya, menurut Dian Septi Trisnandi dari Marsinah FM, ada tiga temuan utama dalam posko daring tersebut.
Pertama, buruh yang diharuskan tetap bekerja tidak menerima fasilitas yang memadai untuk pencegahan penularan Covid-19; Kedua, mayoritas buruh yang dirumahkan tidak mendapatkan upah; dan ketiga, buruh merasakan kerawanan terhadap masa depan pekerjaan.
”Buruh bekerja di dalam bahaya. Di masa pandemi Covid-19, mayoritas buruh diharuskan oleh perusahaan untuk tetap berangkat kerja. Padahal, tingginya mobilitas manusia akan menjadi inang dan carrier bagi Covid-19,” kata Dian.
Dari survei tersebut, 67,81 persen perempuan buruh tetap berangkat ke tempat kerja. Mayoritas kelompok ini tidak menerima fasilitas secara memadai. Bahkan, 25,25 persen buruh bekerja tanpa didukung fasilitas dari perusahaan. Fasilitas yang disediakan oleh perusahaan begitu minim sehingga agar dapat mengurangi sedikit kecemasan terhadap Covid-19, buruh-buruh harus merogoh kantong tipisnya lebih dalam lagi.
Perempuan buruh hanyalah salah satu kelompok perempuan yang terkena dampak dari kebijakan pembatasan sosial selama masa pandemi Covid-19. Bahkan, semenjak pembatasan sosial berskala besar (PSBB) diterapkan di wilayah DKI Jakarta, mereka berada dalam situasi yang sangat sulit.
Benar-benar simalakama. Jika terus bekerja mereka menantang bahaya, dengan risiko tertular virus korona baru, tetapi di sisi lain mereka juga berhadapan dengan kondisi perekonomian yang sangat sulit saat ini, perusahaan berhenti produksi sehingga sejumlah perempuan buruh dirumahkan atau mengalami PHK.
Tidak hanya tanggung jawab perusahaan untuk memberikan jaminan bagi karyawannya, perhatian pemerintah dalam kondisi seperti ini juga menjadi sangat penting, setidaknya sentuhan bantuan sosial di saat masa-masa sulit pandemi saat ini, merupakan bentuk kehadiran negara.