Paradoks Pandemi, Energi Pendulum Relasi Manusia-Alam
Pandemi mengoreksi beragam bidang capaian manusia. Dalam deraan pandemi manusia diajak untuk mawas diri, mengkaji bagaimana ia berelasi dengan alam, bagaimana membangun solidaritas, dan menghargai tubuh.
Oleh
B Josie Susilo Hardianto
·5 menit baca
AP Photo/Matt Rourke
Warga kota mengantre sepanjang blok untuk menerima alat tes cepat Covid-19 di rumah secara gratis di Philadelphia, Amerika Serikat, Senin, 20 Desember 2021.
Bumi belum pulih dari deraan pandemi Covid-19. Kemunculan galur Omicron membuat tekanan pandemi kembali menguat. Sejumlah negara segera mengambil langkah drastis, menutup perbatasan mereka karena dalam seminggu terakhir jelang berakhirnya tahun 2021, kasus harian baru ada di kisaran 900.000 kasus.
Meskipun perdagangan global menunjukkan kinerja membaik, perayaan Tahun Baru 2022 tetap tak segempita saat dunia menyambut Tahun Baru 2019. Situasi tersebut menunjukkan, virus—organisme mikroskopik itu—memiliki ”pengaruh” begitu besar pada dunia manusia. Di tengah kemajuan peradaban dan mencatatkan pencapaian luar biasa dalam beragam bidang, termasuk teknologi kesehatan, manusia tetap dihadapkan pada kerapuhannya.
Tentang entakan pandemi itu, dosen Filsafat dan Metodologi Ilmu Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, Karlina Supelli, melihatnya sebagai ironi. Dalam tulisan untuk acara ”In Memoriam” yang diselenggarakan Yayasan Lontar dalam Festival Sastra Lontar (LitFest) bekerja sama dengan Jakarta Content Week pada Sabtu (13/11/2021), ia menulis, ketika manusia semakin ”terhubung” secara digital, dan aman dengan perjumpaan di dunia maya, manusia merasa sepi. Dan, saat pandemi hadir, manusia menyadari betapa berharganya kehadiran tanpa perantaraan teknologi.
”Ironi kedua amat menusuk. Kerentanan jasmani manusia mengemuka begitu nyata justru saat ilmu kesehatan (medical science) menunjukkan capaian yang mengagumkan. Ada masa, sekitar tahun 1960 hingga 1970-an, ketika di negara-negara maju beredar cukup luas keyakinan bahwa peradaban manusia berhasil memenangi pertempuran panjang melawan penyakit menular. Sampai-sampai, ahli virus penerima Nobel Fisiologi dan Kedokteran, MacFarlane Burnet, berkata, ’Menulis tentang penyakit menular sekarang ini hampir-hampir seperti menulis sesuatu yang tinggal kisah sejarah belaka’. Keyakinan itu bukan tanpa alasan. Antara 1950 dan 1980, vaksin dan antibiotik berhasil membebaskan warga dunia maju dari ancaman kematian akibat virus dan bakteri,” tulis Karlina.
Akan tetapi, dalam wawancara via telepon pada Jumat (31/12/2021), merujuk pada sejumlah kajian, Karlina mengatakan, risiko penyakit menular sejatinya akan tetap menjadi tantangan di masa depan. Kondisi itu merupakan dampak perubahan lingkungan. Saat ini dalam relasi alam-manusia, pandangan tentang alam tidak lagi seperti gambaran abad ke-17 atau abad ke-18 yang deterministik, semata-mata tunduk pada hukum alam. Saat ini, interaksi alam-manusia menjadikan alam sebagai bagian integral pengalaman manusia. ”Manusia itu bagian dari alam dan berinteraksi dengan alam, dan interaksinya mengubah alam,” ucap Karlina.
Perkembangan kota, urbanisasi, mudahnya perjalanan manusia ke beragam penjuru dunia, hingga ke wilayah-wilayah terpencil membuka ”pintu” pertemuan dan lompatan virus dari binatang kepada manusia, misalnya. Mutasi virus itu berpotensi menginfeksi manusia. Relasi tersebut pada satu sisi membuat dunia menjadi lebih rentan. Tak hanya negara berkembang atau miskin, negara-negara maju menghadapi tantangan serupa.
Koreksi
Pandemi Covid-19 ”mengoreksi” banyak pencapaian manusia dan relasi yang dibangunnya, baik antarmanusia, antarnegara, maupun relasi manusia-alam.
Ketika dunia disebut-sebut makin terhubung oleh jejaring internet, dan dunia maya menjadi kian riuh, Perserikatan Bangsa-Bangsa mencatat, setidaknya ada 500 juta anak di seluruh dunia kesulitan mengakses sekolah daring. Ketika hubungan antarnegara disebut makin hangat dan demokrasi tetap menjadi pilihan terbaik, negara-negara ketiga kesulitan mengakses vaksin karena negara-negara kaya ”mengijonnya”. Pada saat yang sama, pertumbuhan ekonomi dan kebutuhan energi global masih mengandalkan pada fosil.
Pandemi makin menunjukkan adanya ketimpangan, ternyata ”kesetaraan” masih menjadi gambaran utopis.
Meskipun demikian, pandemi juga memantik ekspektasi yang lebih positif pada masa depan dunia. Di saat komunitas global masih berjuang untuk mempermudah akses pada vaksin, bahkan meniadakan patennya, Rumah Sakit Anak Texas, AS, mengambil langkah signifikan. Kepada Adam Taylor, sebagaimana diunggah dalam satu tulisan di laman The Washington Post, Peter Hotez, salah satu ahli yang terlibat dalam pengembangan vaksin di rumah sakit itu, mengatakan, mereka meniadakan paten untuk produk mereka.
”Kami tidak berusaha menghasilkan uang,” ujar Peter Hotez dari Pusat Pengembangan Vaksin Rumah Sakit Anak Texas. ”Kami hanya ingin melihat orang-orang divaksinasi.”
AFP/PHILL MAGAKOE
Warga lanjut usia berdiskusi dengan petugas kesehatan tentang layanan vaksin Covid-19 yang tersedia saat mengikuti vaksinasi di Stasiun Kereta Springs di Johannesburg, Afrika Selatan, Rabu (25/8/2021).
Berbeda dari banyak vaksin yang diproduksi produsen kelas dunia, vaksin Corbevax yang dikembangkan Hotez dan mitranya, Maria Elena Bottazzi, dibagikan tanpa paten. Langkah itu disambut Pemerintah India yang kemudian memberikan persetujuan darurat untuk Corbevax. Biological E, sebuah perusahaan farmasi vaksin yang berbasis di Hyderabad, mendapat lisensi melalui Baylor College of Medicine di Houston, AS, untuk memproduksinya. Biological E berencana memproduksi lebih dari 1 miliar dosis pada 2022.
Hotez dan Bottazzi disebutkan tidak akan mendapat satu sen pun dari produksi itu, tetapi Baylor College akan mendapat sejumlah dana. Ambisi mereka adalah menciptakan alternatif sumber terbuka yang murah untuk vaksin mRNA yang mahal dan pasokan terbatas untuk negara berkembang dan negara yang kurang divaksinasi.
Tak hanya dengan India, Hotez dan Bottazzi juga tengah berbicara dengan produsen lain di seluruh dunia dan telah berkonsultasi dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk mengkaji kemungkinan Corbevax dapat dibagikan secara global. Indonesia pun disebutkan termasuk negara dengan kemungkinan vaksin itu akan dikembangkan.
AFP/ALBERTO PIZZOLI
Sejumlah aktivis dari Amnesti Internasional dan Emergency dan Oxfam menggelar aksi untuk mengecam situasi ketimpangan akses vaksin di dunia menjelang berlangsungnya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 di Piazza Vittorio, Roma. Italia, Jumat (29/10/2021). Negara-negara G-20 telah mendukung pembagian vaksin melalui program Covax yang didukung PBB untuk mengatasi kekurangan vaksin yang parah di sejumlag negara miskin.
Dihubungi terpisah, J Sudarminta, dosen pada Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, mengatakan, selain mengancam nyawa manusia, pandemi juga menyadarkan pentingnya solidaritas antarmanusia. ”Tidak hanya dalam lingkup lokal dan nasional, tetapi juga dalam lingkup global. Solidaritas global terkait dengan penanggulangan masalah terkait relasi manusia dengan alam, seperti perubahan iklim dan pemanasan global, juga amat penting ditumbuhkan karena masalahnya tak mungkin dihadapi tanpa adanya dialog dan kerja sama pada lingkup global. Selain itu, pandemi ini juga ikut berperan dalam proses evolusi kesadaran dan peradaban umat manusia, termasuk dalam menjalin relasinya dengan alam,” ujar Sudarminta.
Prasyaratnya, menurut dia, adalah kesediaan manusia untuk mau belajar terus-menerus menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi. ”Dan, tidak apriori bahwa masa lalu lebih baik daripada masa depan,” ucap Sudarminta.