Ancaman Invasi China dan Kesiapan AS-Jepang Hadapi Situasi Darurat Taiwan
Presiden China Xi Jinping memperjelas ambisinya untuk menyelesaikan masalah Taiwan. Namun, AS, Jepang, dan para sekutunya berbaris membela Taiwan.
China kembali meningkatkan tekanan kepada Taiwan. Juru bicara Kantor Urusan Taiwan di Beijing, Ma Xiaoguang, mengeluarkan ancaman keras kepada Taipei. Dia mengatakan, Beijing akan mengambil “tindakan drastis” jika pemerintahan Presiden Tsai Ing-wen menegaskan kemerdekaan formal dari China. Dia menyebut Pemerintah Taiwan sebagai separatis.
”Jika pasukan separatis di Taiwan yang sedang mencari kemerdekaan memprovokasi, mengerahkan kekuatan, atau bahkan menerobos garis merah, kami harus mengambil tindakan drastis,” tulis kantor berita Reuters, Kamis (30/12/2021), mengutip Ma yang berbicara kepada media, Rabu.
Kantor Urusan Taiwan di Beijing adalah sebuah badan administratif di bawah Dewan Negara China. Tugas utamanya ialah menghimpun dan menerapkan panduan dan kebijakan terkait Taiwan, yang diajukan oleh Komite Pusat Partai Komunis (PKC) dan Dewan Negara itu sendiri.
Ma memperingatkan, provokasi Taiwan dan campur tangan pihak luar dapat meningkat pada 2022. Dia tidak menjelaskan pihak mana yang terindikasi terlibat dalam upaya membantu Taiwan. Namun, selama ini AS dan sekutu Barat serta sekutu regionalnya, terus memberikan dukungan kepada Taiwan.
Baca juga : China Bertekad Perkuat Militer dan Rebut Kembali Taiwan
Tidak hanya oleh Kantor Urusan Taiwan, ancaman terhadap Taiwan sudah sering disampaikan sebelumnya oleh banyak pejabat lain China, termasuk Presiden Xi Jinping. Beijing, November lalu, mengancam akan menghukum penjara seumur hidup bagi para pendukung ”kemerdekaan Taiwan”.
Xi, dalam pidato peringatan 100 tahun PKC di Lapangan Tianamen, Beijing, 1 Juli 2021 meminta “seluruh perempuan dan laki-laki China” untuk “menghancurkan upaya memerdekakan Taiwan.” Beijing siap mengerahkan kekuatan atau invasi militer jika Taiwan memilih merdeka.
Dalam dua tahun terakhir, Beijing meningkatkan tekanan militer dan diplomatik kepada Taipei. Taiwan sudah memiliki pemerintahan demokratis sebagai wilayah otonom. Namun, China mengklaim Taiwan sebagai wilayahnya dan menyebutnya provinsi pembangkang yang dipimpin gerakan separatis.
Beberapa jam setelah Beijing mengeluarkan ancaman terbarunya, Dewan Urusan Daratan (MAC) Taiwan mendesak Beijing agar ”secara serius merenungkan langkahnya terhadap Taiwan dan membuat penilaian yang benar tentang situasi itu”. MAC, November lalu, menegaskan, Taiwan takkan tunduk pada China dan tetap mempertahankan wilayahnya.
Baca juga : Peringatan untuk China, Taiwan Berhak Membela Diri dan Membalas
”Kami tidak menerima intimidasi dan ancaman dari wilayah otokratis dan otoriter,” kata MAC, November lalu, seperti dilaporkan Reuters. Ditambahkan, masyarakat Taiwan yang demokratis tidak mau diperintah China.
Intensif
Ma mengatakan, provokasi oleh pasukan pro-kemerdekaan Taiwan dan intervensi eksternal dapat tumbuh lebih tajam dan lebih intens dalam beberapa bulan mendatang. ”Tahun depan, situasi di Selat Taiwan akan menjadi lebih kompleks dan parah,” kata Ma tanpa merinci.
Selama lebih dari 70 tahun, China dan Taiwan menghindari konflik. Keduanya dipisahkan sejak tahun 1949 setelah perang saudara yang dimulai 1927. Perang berakhir dengan kemenangan Komunis yang mendirikan Republik Rakyat China. Pemerintahan Republik China, kubu Nasional, lari ke Taiwan.
Sejak saat itu, selat yang memisahkan Taiwan dari daratan China, yang lebarnya sekitar 81 mil di bagian tersempitnya, telah menjadi jalur krisis dan ketegangan abadi keduanya. Namun, hingga saat ini tidak pernah terjadi perang langsung.
Selama 15 tahun terakhir hubungan lintas selat relatif stabil. Beijing berusaha meyakinkan Taiwan tentang manfaat yang akan diperoleh melalui penyatuan yang telah lama tertunda. Beijing mempertahankan kebijakan lamanya bahwa ”penyatuan kembali secara damai,” meningkatkan hubugan ekonomi, budaya, dan sosialnya dengan Taiwan.
Seruan pernyatuan kembali oleh Beijing selalu ditolak Taipei. Taiwan menegaskan, mereka adalah “negara merdeka” dan siap mempertahankan kebebasan dan demokrasinya.
Baca juga : Intensitas Intrusi Jet China di Taiwan, antara Intimidasi dan Isyarat Perang
Ancaman terbaru Beijing terhadap Taipei dikeluarkan seminggu setelah Jepang dan AS dilaporkan menyusun rancangan operasi gabungan untuk menghadapi kemungkinan terjadinya situasi terburuk atau darurat di Taiwan. Tokyo menyatakan dukungannya kepada Taipei.
Taiwan telah muncul sebagai faktor kunci dalam ketegangan hubungan AS dan China. AS, pendukung internasional terpenting dan pemasok senjata utama kepada Taiwan, meski tidak punya hubungan diplomatik formal, tidak sendirian. Sekutu Barat dan regionalnya berbaris ikut mendukung Taiwan.
Kyodo News melaporkan, terkait rencana gabungan Jepang-AS dalam mengantisipasi keadaan darurat di Taiwan, korps marinir AS akan mendirikan pangkalan sementara di Kepulauan Nansei. Kepulauan ini membentang dari Kyushu, salah satu dari empat pulau utama Jepang, hingga Taiwan.
Jika terjadi keadaan darurat Taiwan, Marinir AS adalah yang pertama yang akan dikerahkan. Angkatan Bersenjata Pasukan Bela Diri Jepang memberikan dukungan logistik di berbagai bidang. Jepang dan AS akan membuat kesepakatan untuk mulai merumuskan rencana resminya awal tahun 2022.
Pada Oktober lalu, Pemerintah Jepang mengisyaratkan posisi yang lebih tegas tentang agresifitas China terhadap Taiwan. Tokyo menunjukkan akan mempertimbangkan opsi dan mempersiapkan "berbagai skenario" sambil menegaskan kembali hubungan dekatnya dengan AS.
Baca juga : Partai Berkuasa di Taiwan dan Jepang Bahas Ancaman China
Awal bulan ini, mantan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe mengatakan, Jepang dan AS takkan tinggal diam jika China menyerang Taiwan. Pejabat AS mengatakan, mengingat puluhan ribu tentara AS di Jepang dan kedekatannya dengan Taiwan, Jepang harus memainkan peran penting jika terjadi keadaan darurat di Taiwan. Keadaan darurat itu tidak lain adalah invasi dari China.
Seorang juru bicara Pentagon mengatakan, AS dan Jepang berbagi komitmen untuk perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan. "Kami berkomitmen untuk meningkatkan ketahanan dan interoperabilitas antara pasukan AS dan Jepang. Juga memperdalam kerja sama operasional selama masa damai," katanya.
AS, seperti kebanyakan negara di dunia, mengakui kebijakan ”satu China” Beijing. Namun, Washington adalah pemasok senjata dan sekutu terbesar Taiwan dan diharuskan oleh Undang-Undang di AS untuk membantu Taiwan mempertahankan dirinya.
Sebaliknya, Preiden China Xi Jinping telah memperjelas ambisinya untuk menyelesaikan masalah Taiwan. Namun, Xi menjadi lebih agresif dalam masalah kedaulatan dan memerintahkan militer China untuk meningkatkan aktivitasnya di dekat Taiwan. Xi juga mengobarkan api nasionalisme China dan membiarkan diskusi tentang pengambilalihan paksa Taiwan menyusup ke Partai Komunis China.
Pergeseran nyata dalam pemikiran Beijing terhadap Taiwan telah dimungkinkan oleh upaya modernisasi militer selama beberapa dekade, yang dipercepat oleh Xi. Tujuan percepatan itu adalah untuk memungkinkan China memaksa Taiwan bersatu lagi dengan Beijing.
Baca juga : AS Janji Melindungi Taiwan dari Serangan China
Pasukan China berencana untuk menang bahkan bila ada campur tangan dari militer AS. Jika para pemimpin China dulu melihat kampanye militer untuk mengambil pulau itu sebagai fantasi, sekarang mereka menganggapnya sebagai kemungkinan yang nyata.
Kekhawatiran tentang agresi China adalah bagian dari tindakan yang mendorong Washington, dalam beberapa tahun terakhir, melemahkan kebijakan ”satu China”. Tindakan itu, antara lain, mencabut beberapa pembatasan pada interaksi resmi antara China dan Taiwan. (REUTERS/AFP/AP)