Intensitas Intrusi Jet China di Taiwan, Antara Intimidasi dan Isyarat Perang
Peningkatan intrusi jet tempur China di wilayah udara Taiwan bisa berarti dua kemungkinan: sekadar intimidasi atau memang isyarat Beijing siap merebut pulau itu.
Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA) dilaporkan telah mengirim jet-jet tempurnya setiap hari pada November 2021 ke dekat Taiwan untuk latihan tempur dan patroli. Media resmi China menyebutkan, ”intensitas kehadiran penuh yang jarang terjadi itu” menunjukkan peningkatan kesiapan tempur di tengah provokasi oleh ”separatis Taiwan dan campur tangan pasukan asing”.
Beijing mengecap pemerintahan Presiden Tsai Ing-wen yang kini berkuasa di Taiwan sebagai kelompok atau gerakan separatis. Taiwan telah memiliki pemerintahan demokratis sendiri dan didukung dengan kemampuan militer yang kuat. China menganggapnya sebagai ”provinsi pembangkang” yang harus direbut kembali menjadi bagian dari satu China.
Surat kabar resmi Pemerintah China, Global Times, Rabu (1/12/2021), menyebutkan, empat jet tempur J-11 milik Angkatan Udara PLA memasuki zona identifikasi pertahanan udara (ADIZ) Taiwan barat, Selasa (30/11/2021). Informasi soal kehadiran empat jet tempur China itu merujuk siaran pers Kementerian Pertahanan Taiwan yang dirilis The Liberty Times di Taipei.
Menurut siaran pers otoritas pertahanan Taiwan, aktivitas jet tempur PLA selama November lalu tidak terdeteksi hanya pada tanggal 3. Media Global Times menyimpulkan, tingkat kehadiran jet tempur PLA di Taiwan dalam satu bulan itu mencapai 96,7 persen. Kemenhan Taiwan tidak mengungkapkan berapa jumlah jet temput yang masuk ADIZ Taiwan selama November itu.
Sebelumnya pada Hari Nasional China, 1 Oktober, Bejing menerbangkan 38 pesawat untuk menerobos ADIZ Taiwan. Menurut The Economist, selama tiga hari berikutnya China mengirim 111 pesawat lagi. Menhan Taiwan Chiu Kuo-cheng menyebut intrusi besar-besaran itu sebagai ”situasi terberat yang baru pertama kali saya lihat selama lebih dari 40 tahun berkarier di militer”.
Baca juga : Dua Hari Beruntun, 77 Jet Tempur China Bermanuver Dekati Taiwan
Jumlah pesawat China terbanyak terakhir yang mendekati Taiwan terjadi pada Minggu (28/11/2021) menjelang akhir November lalu, yakni 27 pesawat. Otoritas Pertahanan Taiwan mengerahkan sejumlah jet tempur untuk mengusir jet China itu dan mengaktifkan sistem rudal untuk ikut memantau. Intrusi pada Minggu lalu itu, antara lain, melibatkan 18 jet tempur dan lima pengebom H-6.
Pada hari itu, Angkatan Udara PLA juga dilaporkan mengirim untuk pertama kalinya varian tanker udara dari pesawat angkut Y-20. Debut pesawat baru itu dinilai penting karena dapat menambah daya untuk memperluas jangkauan dan daya tahan jet tempur untuk beroperasi di sisi timur Taiwan.
Belum ke wilayah utama
Selama tahun 2020, frekuensi intrusi intimidatif China telah meningkat dengan sekitar 150 pesawat dalam hanya empat hari. Meski demikian, semua manuver selama November dan bulan sebelumnya menunjukkan bahwa jet-jet tempur Beijing itu belum berani mendekati wilayah utama Taiwan.
”Saya tidak yakin soal kemungkinan bahwa China akan menyerang atau menduduki Taiwan,” kata Derek Grossman dari RAND, lembaga kajian pertahanan AS, kepada CNN, baru-baru ini. Grossman juga tidak yakin kemungkinan yang sama bisa terjadi dalam beberapa tahun ke depan.
Menurut Global Times, latihan dan patroli jet-jet tempur Beijing telah menjadi rutinitas selama lebih dari setahun. Ahli militer China daratan mengatakan, kompleksitas dan intensitas latihan serta patrolinya meningkat untuk memenuhi persyaratan skenario pertempuran nyata di medan perang.
Pada bulan lalu, Taipei juga telah meningkatkan anggaran tambahan senilai 8,63 miliar dollar AS atau sekitar Rp 123,7 triliun untuk belanja angkatan laut dan udaranya. Media Pemerintah China mengatakan, peningkatan anggaran itu sebagai provokasi untuk melawan modernisasi militer China daratan.
Baca juga : Pesawat Militer China Kembali Masuki Perairan Taiwan
Taipei juga dicap telah memprovokasi Beijing dengan menerima kunjungan delegasi Kongres AS dan parlemen Uni Eropa, Lithuania, Estonia, dan Latvia ke Taiwan. Selain itu, Taipei telah mengizinkan sejumlah kapal perang AS untuk transit di Selat Taiwan. Untuk alasan itu, Beijing memandang PLA perlu meningkatkan kesiapan tempurnya mencegah gerakan provokatif Taiwan.
Media pro-Beijing menggambarkan semua latihan dan patroli rutin itu sebagai demonstrasi kemampuan China melakukan ”serangan udara masa perang”. Dalam beberapa tahun terakhir, China meningkatkan kemampuan militernya yang berkembang, terutama di laut dan udara, untuk memperingatan Taiwan.
Spekulasi soal invasi
Pesan dari kehadiran militer China di dekat Taiwan itu adalah jika pulau itu menolak untuk menerima klaim kedaulatan China atas wilayah itu, Beijing dapat menggunakan kekerasan. Menhan Chiu pada awal Oktober lalu saat berbicara di depan parlemen di Taipei mengatakan, China kemungkinan akan melakukan invasi skala penuh ke Taiwan pada tahun 2025.
Di tengah meningkatnya tekanan China ke Taiwan, delegasi resmi Parlemen Eropa pada awal November di Taipei menyatakan, Taiwan tidak sendirian. Parlemen Eropa menyerukan tindakan yang lebih berani untuk memperkuat hubungan Uni Eropa-Taiwan. Delegasi Senator Perancis, awal Oktober lalu di Taipei, mengatakan suara dukungannya terhadap Taiwan.
Baca juga : Taiwan Tuding China Ingin Meniru Taliban
Sejauh ini setidaknya sudah 15 negara yang menjalin hubungan diplomatik dengan Taiwan. Alain Richard, Ketua Delegasi Senator Perancis, awal Oktober lalu, menyebut Taiwan ”negara” selama kunjungan ke Taipei.
Dalam pidatonya setelah dianugerahi medali kehormatan tertinggi oleh Presiden Taiwan Tsai Ing-wen, Richard mengatakan bahwa kedutaan de facto Taiwan di Paris telah melakukan ”pekerjaan yang sangat baik dalam mewakili negara Anda”. Namun, Perancis secara resmi mengakui satu China.
Taiwan telah menjadi salah satu subyek pertikaian atau ketegangan diplomatik China dan AS. Beijing mengatakan hanya ada satu China dan Taiwan adalah bagian satu China yang memberontak. Washington telah berulang kali menegaskan dukungannya kepada Taipei. AS menyetujui gasasan satu China, tetapi tetap membina hubungan ekonomi, perdagangan, dan keamanan dengan Taiwan bahkan siap melindungi Taiwan.
Ketika menanggapi ancaman terhadap Taiwan, para pemimpin AS umumnya berasumsi bahwa Beijing benar-benar ingin mencaplok pulau itu. Laksamana Phil Davidson, Komandan Komando Indo-Pasifik AS, mengatakan kepada Kongres beberapa waktu lalu bahwa dia khawatir China akan menyerang Taiwan pada tahun 2027.
China memulai dorongan baru untuk apa yang disebutnya ”penyatuan kembali” pada tahun 1995-1996, bertepatan dengan menjelang pemilu demokratis pertama Taiwan.
Pada Oktober 1995, China menggelar latihan udara dan laut. Pesawat tempur dan helikopter meraung-raung di udara, kapal laut meluncurkan roket dan rudal, dan kapal selam nuklir bermanuver di Laut China Timur.
Sebulan kemudian, China membentuk ”zona perang” yang berbasis di Nanjing. Zona itu dengan arahan khusus untuk mengembangkan rencana perang demi menyerang Taiwan. Putaran baru latihan militer China digelar selama pemilu di Taiwan pada Maret 1996.
Baca juga : Latihan Militer di Dekat Taiwan, China Kerahkan Jet Tempur Canggih
Belakangan ini, ancaman dan tekan militer Beijing atas Taipei terus meningkat seiring gerilya diplomasi Taipei yang terus meningkat. Menurut Xinhua, misi Angkatan Udara PLA menuju Taiwan meningkat setelah Presiden Xi Jinping bertemu dengan para perwira di sebuah konferensi militer beberapa bulan lalu. Xi menyerukan pengembangan kemampuan militer untuk mendukung dan memperkuat angkatan bersenjata.
Lebih murah, menguntungkan
Dalam artikelnya bertajuk ”Threatening Taiwan Gets China More Than Invading It Would” di Foreign Policy, 30 November 2021, ahli sejarah AA Bastian mengatakan, selama beberapa dekade terakhir mengancam Taiwan telah menguntungkan China. Ancaman bahkan lebih menguntungkan dan jauh lebih murah daripada merebut Taiwan dengan cara paksa atau kekuatan militer.
Menurut Bastian, putri seorang pilot Angkatan Udara AS, memerintah Taiwan mungkin merupakan tujuan jangka panjang China. Namun, ada beberapa alasan mengapa invasi dan pendudukan tidak akan menjadi kepentingan Beijing yang sebenarnya, bahkan sekalipun jika misi itu berhasil.
Dikatakan, tatkala ancaman kekerasan tidak didefinisikan di bawah hukum internasional, penggunaan kekuatan lebih mudah ditentukan. Meski China bisa memveto tindakan atau keputusan Dewan Keamanan PBB, setiap negara dapat menggunakan berbagai cara untuk membalasnya, seperti sanksi, pengenduran hubungan diplomatik, dan pergeseran kerja sama ke negara lain.
Bastian mengatakan, aksi militer skala penuh terhadap Taiwan sangat mahal, terutama karena pasukan militer sekutu Barat, termasuk AS, juga hadir di kawasan. Sebaliknya, dengan mengeluarkan peringatan, seperti menerbangkan sejumlah pesawat tempur, mengintensifkan latihan militer, dan merekam video untuk media sosial, China telah memanfaatkan pengaruh yang sangat besar.
Ancaman China terhadap Taiwan memengaruhi politik (pemilu), kebijakan, perdagangan, dan bendera mana yang dikibarkan di pulau itu. Ancaman terhadap Taiwan juga mempengaruhi keterlibatan pihak lain, yang tampaknya tidak terkait, akibat ada kemungkinan invasi yang membayangi jika komunitas internasional tidak menenangkan Beijing.
Namun, dinamika hubungan AS-China yang sering berubah dapat berarti bahwa ancaman ini tidak lagi menghasilkan keuntungan atau memiliki manfaat yang sama. Pada akhirnya adalah kepentingan masing-masing sebagai prioritas. (AFP/REUTERS/AP)