Ada empat skenario hubungan AS-China sampai 2045. Skenario itu adalah perang, damai, kompetisi, dan rivalitas. Kompetisi stabil AS-China adalah kondisi yang paling menguntungkan bagi Indonesia.
Oleh
kris mada
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah perlu memberikan keleluasaan kepada diplomat Indonesia untuk lebih aktif di ASEAN. Keleluasaan juga diperlukan untuk memantapkan peran dan posisi Indonesia di tengah persaingan kekuatan besar di kawasan.
”Peran Indonesia makin penting. Sekarang (Indonesia) tengah menjalankan presidensi G-20. Sejak lama Indonesia menjadi pemimpin alami ASEAN,” kata peneliti isu China, Klaus Heinrich Raditio, dalam pembahasan hasil penelitian ”Skenario Hubungan Amerika Serikat-Tiongkok dan Proyeksi Kebijakan Indonesia 2045”, Rabu (22/12/2021).
Penelitian diselenggarakan LAB45 bersama Center for International Relations Studies (CIReS)-Universitas Indonesia. Dalam pembahasan secara daring itu, tim peneliti diwakili Broto Wardoyo dan Ali Wibisono. Klaus bersama pengajar Universitas Parahyangan, Adrianus Harsawaskita, menjadi pembahas.
Klaus mengatakan, riset itu penting karena bisa mengisi kekurangan rekomendasi peran yang harus diambil Indonesia di tengah persaingan kekuatan besar di Asia Tenggara. Padahal, posisi Indonesia makin penting di kawasan itu.
Dalam laporan Asia Power Index yang dikeluarkan Lowy Institute Australia, Indonesia berada di peringkat ke-9 dalam daftar negara paling berpengaruh di Asia. Selain trio Amerika Serikat-China-Rusia, di atas Indonesia ada Jepang, India, Korea Selatan, dan Australia.
Modal itu perlu dioptimalkan, setidaknya di panggung kawasan. Para diplomat Indonesia perlu diberikan lebih banyak kelonggaran agar diplomat Indonesia bisa menjadi kesatuan ASEAN. Kelonggaran juga diperlukan agar diplomat Indonesia lebih bisa memastikan negara-negara ASEAN menerapkan lima poin konsensus soal Myanmar. Sampai sekarang, poin-poin belum serius diterapkan. Sementara Myanmar terus menunjukkan keengganan bekerja sama mewujudkan kesepakatan yang dicapai di Jakarta pada April 2021 itu.
Penegasan peran Indonesia, menurut Klaus, makin relevan di tengah persaingan AS-China. Dalam kajian Ali dan rekan memang diungkap sejumlah skenario terkait hubungan Beijing-Washington. ”Kompetisi yang jinak realistis dalam skenario hubungan AS-China,” ujarnya.
Hal itu, antara lain, karena ada rasionalitas di antara para pemimpin AS-China. Di sisi lain, tetap ada pemicu kekhawatiran. Pertama, Beijing-Washington makin mempertegas batasan masing-masing. Selain itu, AS-China makin bergerak ke arah ideologis.
Presiden AS Joe Biden terus menguatkan aliansi lama dan membuat aliansi baru. Meski bawahan Biden terus mengatakan aliansi-aliansi itu tidak ditujukan kepada Beijing, faktanya China merasa tersudut dengan fenomena tersebut.
Karakter aliansi
Broto mengatakan, ada perbedaan karakter mencolok pada manuver AS-China. Kepentingan AS pada aliansi-aliansinya terutama menjaga keamanan mitra dan sekutunya. Washington membentuk aliansi formal dan cenderung menekankan aspek militer. Adapun fokus Beijing adalah keamanan wilayah, penyatuan kembali Taiwan, hingga keselamatan Korea Utara. Aliansi bentukan China lebih informal dan fokus ke aspek ekonomi.
Ia juga menyoroti soal persenjataan AS-China. Beijing memang punya persenjataan lebih banyak. Akan tetapi, persenjataan Washington cenderung lebih berkualitas.
Dalam konteks persaingan AS-China, salah satu faktor pentingnya adalah derajat saling ketergantungan kedua negara. Semakin tinggi arasnya, hubungan Beijing-Washington cenderung bergerak ke arah yang lebih stabil dan menjauhi konflik. Sebaliknya, AS-China berpeluang terlibat perang jika tingkat ketergantungan di antara keduanya makin rendah.
Dalam semua skenario itu, Indonesia perlu berperan. Broto dan rekan menemukan indikasi, Indonesia mendukung kehadiran AS secara militer dan diplomatik di Asia Tenggara. Di sisi lain, Indonesia berusaha mencegah pengucilan China di kawasan.
Indonesia juga perlu konsisten pada penguatan perekonomian nasional. Sebab, konsistensi itu akan berdampak pada usaha Indonesia menjadi negara yang makin diperhitungkan dalam panggung politik global pada 2045. Posisi itu akan membuat Indonesia mampu mendorong terobosan pada upaya mengatasi berbagai persoalan internasional.
Adapun Ali mengatakan, ada empat skenario hubungan AS-China sampai 2045. Skenario itu adalah perang, damai, kompetisi, dan rivalitas. Perimbangan kekuatan dan saling ketergantungan menjadi faktor utama perwujudan skenario itu. Faktor lain adalah politik dalam negeri AS-China.
Bagi Indonesia, kompetisi stabil AS-China adalah kondisi yang paling menguntungkan. Ruang gerak Indonesia akan lebih luas jika kedua kekuatan besar itu berkompetisi secara stabil. ”Indonesia berpeluang mendapat konsesi dari semua pihak,” kata Ali.
Untuk dapat berkontribusi optimal, Indonesia perlu kebijakan luar negeri yang lebih berorientasi keluar. Indonesia perlu pula memperkuat multilateralisme, baik melalui ASEAN maupun mekanisme kawasan dan global lainnya. Tidak kalah penting adalah memperkuat tata kelola maritim nasional dan norma maritim internasional.