Omicron, antara Mengebut Dosis Penguat dan Kesetaraan Akses Vaksin
Negara-negara G-7 mengutamakan pemberian vaksin Covid-19 dosis penguat. Tidak cukup satu, Amerika Serikat menargetkan memberi dua dosis penguat demi mencegah penularan galur Omicron.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar, Deonisia Arlinta, Pradipta Pandu, Ahmad Arif
·5 menit baca
WASHINGTON, JUMAT — Para ahli kesehatan global memperkirakan bahwa pada awal tahun 2022 galur Covid-19 Omicron akan mengambil alih posisi sebagai varian mayoritas dunia dari galur Delta. Negara-negara maju segera mengebut program pemberian dosis penguat atau booster pertama, bahkan kedua, demi melindungi rakyat. Di saat yang sama, negara-negara miskin masih berjibaku memperoleh vaksin untuk dosis pertama.
”Musim dingin ini kami mengkhawatirkan risiko keparahan dan kematian semakin meningkat. Oleh karena itu, pemerintah meminta rakyat agar segera mendatangi posko vaksinasi terdekat dan minta suntikan dosis penguat,” kata Presiden Amerika Serikat Joe Biden, Kamis (16/12/2021) sore waktu setempat atau Jumat pagi WIB.
Biden sedang mendesak Mahkamah Agung AS untuk mengesahkan aturan kewajiban vaksinasi bagi seluruh tenaga kesehatan. Ini akan melindungi para pekerja di sektor esensial. Data Pusat Pengendalian Penyakit (CDC) AS, jumlah kasus Omicron meningkat 32 persen dalam kurun 15-16 Desember dari 241 kasus menjadi 319 kasus.
Secara keseluruhan, penularan Covid-19 di Negara Paman Sam itu meningkat 40 persen dalam dua pekan. Sebanyak 1.300 penduduk AS meninggal akibat komplikasi terpapar virus korona jenis baru setiap hari. Apalagi, hasil kajian Universitas Columbia di New York yang dipimpin oleh David Ho mengungkapkan, Omicron semakin kebal terhadap daya tahan tubuh yang diperoleh dari vaksinasi.
”Tanpa tindak lanjut segera, Omicron hanya butuh satu atau paling banyak dua kali mutasi sebelum benar-benar kebal terhadap segala jenis vaksin Covid-19, termasuk yang berbasis m-RNA,” tulis laporan tersebut.
Penasehat Kesehatan untuk Gedung Putih Anthony Fauci mengatakan, sejatinya vaksin tetap bisa meningkatkan daya tahan tubuh. Oleh sebab itu, ia mendesak masyarakat segera meminta suntikan dosis penguat ke posko-posko vaksin terdekat. Menurut dia, vaksin Covid-19 jenis apa pun tetap bisa melawan Omicron apabila diberikan sesegera mungkin. ”Mintalah dosis penguat yang pertama. Setelah beberapa waktu, boleh disusul dengan dosis penguat kedua. Kita harus menjaga agar kekebalan tubuh tetap tinggi,” tuturnya seperti dikutip oleh CNN.
Solusi serupa juga dikemukakan dalam pertemuan para menteri kesehatan dari tujuh negara terkaya di dunia (G-7). Setiap negara anggota kelompok itu mengatakan, pemberian dosis penguat adalah prioritas mereka. Perdana Menteri Inggris Boris Johnson seperti dikutip surat kabar Daily Mail mengatakan, pemerintahannya tidak berniat melakukan pembatasan wilayah yang lebih ketat lagi karena akan menyakiti perekonomian.
Padahal, Inggris pada Jumat saja menghadapi 88.376 kasus baru. Sejumlah pemerintah daerah mengambil inisiatif melakukan pembatasan kegiatan masyarakat walaupun belum ada perintah dari pusat. Bahkan, setengah dari para pekerja di London memilih tidak masuk kantor dan kembali bekerja dari tempat tinggal masing-masing. Menteri Kesehatan Inggris Sajid Javid mengungkapkan, per akhir Desember 2021, pemerintah menargetkan bisa memberikan suntikan dosis penguat vaksin Covid-19 kepada semua penduduk berusia 18 tahun ke atas.
Ambisi negara-negara maju untuk memberi suntikan dosis penguat ini membuat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencemaskan terjadinya kembali nasionalisme vaksin. Data WHO mengungkapkan, sejauh ini, telah 8,6 miliar dosis vaksin yang disuntikkan secara global.
Akan tetapi, 80 persen dari jumlah itu adalah untuk 20 negara dengan perekonomian terbesar di dunia (G-20). Bahkan, jika dilihat lebih cermat, 60 persen jatah vaksin global ada di negara-negara kaya.
Direktur WHO Tedros Adhanom Gebreyesus mengingatkan para pemimpin negara kaya bahwa munculnya galur Omicron sejatinya akibat kesenjangan akses vaksin Covid-19. Benua Afrika yang berpenduduk 1,2 miliar jiwa baru mencapai vaksinasi lengkap sebanyak 7 persen.
”Jangan lupa, vaksinasi saja tidak cukup. Harus disertai protokol kesehatan menjaga jarak, mencegah terjadinya kerumunan, selalu memakai masker, dan mencuci tangan dengan air serta sabun. Jangan euforia semakin banyak mendapat dosis vaksin akan membereskan semua masalah. Solusinya, harus semakin banyak penduduk bumi yang divaksin,” ujarnya.
WHO tetap menekankan target 40 persen penduduk dunia harus divaksin lengkap per akhir Desember 2021. Pada pertengahan tahun 2022, targetnya 70 persen penduduk global.
Di Jakarta, koalisi masyarakat sipil mendesak pemerintah memprioritaskan vaksinasi dosis lengkap bagi seluruh masyarakat hingga cakupan 70-80 persen dibandingkan memberikan vaksin penguat. Pemerintah juga perlu menyiapkan tata kelola vaksinasi Covid-19 jangka panjang yang berbasis data, keadilan inklusi, dan akuntabilitas.
Ketua Dewan Pembina Center for Indonesia Indonesia Strategic Development Initiatives (CISDI) Diah Saminarsih menyampaikan, koalisi masyarakat sipil tidak menolak program vaksin penguat. Namun, perlu ada keadilan vaksin dengan dosis lengkap bagi seluruh masyarakat. ”Boosteryang diberikan terlalu cepat akan membuka ketimpangan lebih besar. Jadi, yang perlu lebih diprioritaskan adalah yang belum mendapat vaksin dosis pertama, kedua, ataupun orang dengan masalah kekebalan tubuh atau warga lansia,” ujarnya.
Upaya meningkatkan cakupan vaksinasi dapat bertumpu pada puskesmas. Sebab, puskesmas memiliki jaringan untuk menjangkau komunitas terkecil yang kerap sulit mendapat akses kesehatan ataupun vaksinasi.
Koordinator Advokasi Lapor Covid-19 Firdaus Ferdiansyah menyatakan, meski program vaksinasi Covid-19 sudah berjalan hampir satu tahun, data dari pengaduan masyarakat menunjukkan, sampai saat ini masih banyak warga kesulitan mendapat vaksin akibat kendala administrasi atau keterbatasan jumlah vaksin.
Pelacakan
Upaya pelacakan kontak erat kasus terkonfirmasi positif Covid-19 varian Omicron diperkuat. Antisipasi dini juga dilakukan dengan mengisolasi Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet, tempat perawatan kasus positif tersebut.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan, pelacakan kontak erat terus dilakukan pada kasus positif Covid-19 varian Omicron. Pemeriksaan lebih lanjut dengan pengurutan genomik pada spesimen dari kontak erat juga dijalankan.
”Proses pelacakan kontak sudah dilakukan kepada 63 orang. Saat ini sedang dilakukan pemeriksaan pada 10 orang yang positif Covid-19 untuk dilanjutkan dengan pemeriksaan WGS (whole genome sequencing/pengurutan genomik),” tuturnya.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang juga Direktur Pascasarjana Universitas YARSI Tjandra Yoga Aditama menyampaikan, mitigasi berlapis perlu diterapkan setelah satu kasus varian Omicron terdeteksi di Indonesia. Melalui upaya ini, deteksi kasus bisa segera dilakukan sehingga penularannya pun bisa ditekan.
Karantina pelaku perjalanan luar negeri juga harus dilakukan tanpa pandang bulu. Pengurangan durasi karantina untuk pejabat bisa membahayakan kesehatan publik, selain diskriminatif.
”Karantina pelaku perjalanan sangat penting untuk mencegah masuknya varian Omicron. Ini harus diterapkan secara konsisten dan seharusnya tidak ada dispensasi untuk kelompok tertentu,” kata epidemiolog Griffith University Dicky Budiman.
Menurut Firdaus, mewakili koalisi, Virus SARS-CoV 2 tidak mengenal jabatan, tidak mengenal jenis kelamin, tidak mengenal umur, dan tidak mengenal waktu. Pengistimewaan pejabat dalam aturan karantina tidak bisa diterima, diskriminatif, dan tidak adil. (AFP)