Pandemi Covid-19 belum berhasil diatasi. Galur-galur baru virus bermunculan. Hal itu ditengarai akibat belum meratanya vaksinasi pada penduduk dunia. Harus ada tindakan nyata untuk memperluas cakupan vaksinasi.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Kemunculan Omicron membuka mata tentang ketimpangan distribusi vaksin di dunia.
Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan, hingga akhir Oktober baru 6 persen dari 1,2 miliar penduduk di Afrika yang divaksinasi. Dari 54 negara di Afrika, baru Seychelles, Mauritius, dan Maroko yang memenuhi target vaksinasi Covid-19. WHO menargetkan vaksinasi lengkap minimal 10 persen penduduk pada akhir September 2021 dan 40 persen pada akhir 2021.
Bandingkan dengan Inggris yang telah memvaksinasi 80 persen penduduk berusia 12 tahun ke atas atau Amerika Serikat yang cakupan vaksinasinya 69 persen untuk rentang usia sama. Saat ini, lebih dari 70 persen negara berpenghasilan menengah atas telah memvaksinasi lebih dari 40 persen penduduk.
Tidak heran, galur baru hasil mutasi muncul di benua itu, termasuk Omicron yang terdeteksi 23 November 2021. Selain di Afrika Selatan, diperkirakan galur tersebut telah meluas di Botswana, Eswatini, Lesotho, Mozambik, Namibia, dan Zimbabwe. Omicron juga dilaporkan sejumlah negara, seperti Belanda, Belgia, Portugal, Italia, Spanyol, Swiss, Austria, Inggris, Denmark, Jerman, Kanada, Jepang, Hong Kong, Israel, dan Australia, sehingga menimbulkan kepanikan.
Situasi ini seharusnya menyadarkan dunia bahwa ketimpangan vaksin tak bisa dibiarkan berlarut-larut. Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, 4 September 2020, telah mengingatkan, di dunia yang saling terhubung, jika orang di negara berpenghasilan rendah dan menengah tak kebagian vaksin, virus akan terus merajalela dan pemulihan ekonomi global bisa tertunda. Peringatan itu terus diulang, di dunia tidak ada yang aman sampai semua orang terlindungi.
Saat ini upaya pemerataan distribusi vaksin dilakukan secara bilateral atau bantuan antarnegara serta multilateral melalui Covax, program kerja sama WHO dengan Koalisi untuk Inovasi Kesiapsiagaan Epidemi (CEPI), dan Aliansi Global untuk Vaksin dan Imunisasi (GAVI) untuk menjamin distribusi adil dari vaksin.
Masalahnya, jika vaksin dikirimkan sesuai rencana, Covax hanya mencapai 27 persen populasi negara-negara berpenghasilan rendah pada akhir 2021. Jauh dari target WHO. Apalagi program Covax dibayangi kekurangan dana dan masalah rantai pasokan.
Jika orang di negara berpenghasilan rendah dan menengah tak kebagian vaksin, virus akan terus merajalela dan pemulihan ekonomi global bisa tertunda.
Kegagalan mencapai cakupan vaksin universal dan manajemen global pandemi yang efektif menjadi kendala serius bagi penanggulangan pandemi. Sebenarnya, keadilan vaksin bisa lebih cepat dicapai jika penangguhan hak kekayaan intelektual vaksin Covid-19 dalam masa krisis disetujui. Dengan demikian, vaksin bisa diproduksi di berbagai belahan dunia untuk memotong biaya dan mengatasi rantai pasokan. Namun, ini sulit terjadi karena perusahaan farmasi dan negara-negara kaya enggan kehilangan keuntungan.
Bagi Indonesia yang cakupan vaksinasi per 1 Desember mencapai 45 persen, tidak boleh lengah. Meski melampaui target WHO, kita belum mencapai kekebalan populasi. Apalagi di tengah ancaman galur baru dan menurunnya kadar antibodi penduduk yang divaksin pada awal tahun.
Percepatan perluasan cakupan vaksin ke seluruh pelosok, penelusuran kasus dan surveilans harus ditingkatkan untuk mengantisipasi masuk dan beredarnya galur baru serta menekan kasus Covid-19 yang ada. Kita tidak pernah tahu seberapa berat jika sampai terjadi gelombang ketiga di Indonesia.