Vonis pada Suu Kyi Kental Tekanan Politik, Junta Kurangi Vonis Jadi 2 Tahun Penjara
Aung San Suu Kyi, pemimpin terpilih Myanmar, dijatuhi pengadilan junta militer 4 tahun penjara yang kemudian dikurangi menjadi 2 tahun penjara berkat pengampunan pemimpin junta. Demokrasi kian menjauh dari tanah Myanmar.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
YANGON, SELASA — Pemimpin yang dikudeta di Myanmar, Aung San Suu Kyi (76), dan mantan Presiden Win Myint masing-masing dijatuhi vonis kurungan 4 tahun oleh pengadilan junta militer, Senin (6/12/2021). Berselang beberapa jam kemudian, pemimpin junta memberikan pengampunan dan mengurangi hukuman itu menjadi 2 tahun penjara.
Vonis tersebut baru hukuman dari dua gugatan. Total, Suu Kyi dan Win Myint menghadapi 11 gugatan yang masih berproses. Rakyat Myanmar dan dunia internasional menilai hukuman ini murni permainan politik untuk menjegal demokrasi agar tidak eksis lagi di bumi Myanmar.
”Rincian keputusannya ialah 2 tahun berdasarkan aturan hukum pidana dan 2 tahun lagi berdasarkan pelanggaran terhadap Undang-Undang Penanganan Bencana Alam karena kedua terdakwa tidak mematuhi protokol kesehatan selama pandemi Covid-19 dan mengakibatkan terjadinya kerumunan,” kata juru bicara junta militer, Zaw Min Tun, dalam jumpa pers, Senin (6/12/2021).
Beberapa jam kemudian, melalui pernyataan tertulis yang disiarkan televisi pemerintah, pemimpin junta Jenderal Senior Ming Aung Hlaing mengumumkan ”pemberian pengampunan” atas separuh hukuman. Dengan pengampunan itu, Suu Kyi dan Win Myint kini dihukum 2 tahun penjara.
Pernyataan junta menambahkan, keduanya akan tetap berada dalam tahanan rumah di ibu kota Naypyidaw. Tidak ada penjelasan lebih lanjut dan lebih detail mengenai hal tersebut.
Suu Kyi, yang merupakan pemimpin partai politik Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), sejatinya memenangi pemilihan umum pada November 2020. Junta militer di bawah kepemimpinan Jenderal Min Aung Hlaing menuduh Suu Kyi dan NLD melakukan kecurangan. Junta merebut kekuasaan dengan melancarkan kudeta pada 1 Februari 2021.
Perbuatan mereka menuai protes massa yang ditanggapi secara koersif dan agresif oleh junta. Menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), hingga November ini, 1.300 warga sipil Myanmar tewas di tangan junta. Lebih dari 10.000 orang ditahan, termasuk wartawan dan pegiat hak asasi manusia (HAM).
Suu Kyi diadukan ke pengadilan pada Oktober lalu. Ia dihadapkan pada 11 gugatan. Gugatan itu, antara lain, berisi tuduhan pada Suu Kyi melakukan kecurangan pemilu dengan cara mencuri start kampanye serta menyuruh para pegawai negeri untuk mengarahkan rakyat mencoblos NLD. Suu Kyi juga digugat melanggar aturan tahanan rumah dengan menyelundupkan radio panggil (walkie-talkie), dan melanggar protokol kesehatan pandemi Covid-19.
Vonis 4 tahun penjara tersebut adalah untuk dua gugatan, ada sembilan lagi yang proses pengadilannya sedang berjalan.
Pemerintahan Persatuan Nasional Myanmar (NUG), yaitu pemerintahan tandingan yang dibentuk sebagai perlawanan terhadap junta, mengeluarkan pernyataan terkait vonis atas Suu Kyi. Melalui juru bicara mereka, Salai Maung Taing San atau yang akrab dipanggil Dr Sasa, NUG mengatakan kondisi Suu Kyi tidak baik-baik saja.
”Beliau dalam tekanan batin yang parah. Apabila dihitung, seluruh gugatan terhadap Suu Kyi menghasilkan hukuman kurungan selama 104 tahun. Junta benar-benar menginginkan Suu Kyi meninggal di dalam tahanan,” ujarnya kepada BBC.
Suu Kyi sebelumnya menjalani kehidupan sebagai tahanan politik pada periode 1989-2010. Pada tahun 2015, NLD memenangi pemilu dan Suu Kyi menjadi pemimpin Myanmar meskipun tidak menjabat sebagai presiden. Pemikiran dia sangat berpengaruh terhadap kebijakan politik di negara tersebut.
Pada tahun 2017, Suu Kyi menuai kritik internasional karena ia tidak mempermasalahkan aksi genosida oleh militer Myanmar kepada kelompok etnis Rohingya di Negara Bagian Rakhine. Bahkan, di hadapan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 2019, ia membela perbuatan militer. Akibatnya, ia kehilangan sejumlah penghargaan kemanusiaan, termasuk dari Universitas Oxford di Inggris yang merupakan almamaternya. Meskipun demikian, kepopuleran Suu Kyi di Myanmar tidak surut.
ASEAN harus tegas
Menanggapi vonis tersebut, Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) diminta harus semakin tegas bersikap kepada Myanmar. Hingga kini, Myanmar tidak mengindahkan lima konsensus ASEAN yang, antara lain, meminta Myanmar untuk menyiapkan pemilu dan mengembalikan proses demokrasi kepada rakyat.
Parlemen ASEAN untuk HAM menyerukan agar ASEAN terus tidak mengundang Myanmar menghadiri segala jenis rapat organisasi tersebut, baik secara langsung maupun daring.
Peneliti isu ASEAN untuk Pusat Penelitian Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional, Khanisa Krisman, menekankan, ASEAN harus berpegang pada komitmen Komunitas ASEAN, yaitu berlandaskan kepentingan masyarakat sipil. Saat ini, ASEAN menghadapi persoalan terkait sikap mereka terhadap Myanmar. Apalagi, pada tahun 2022, jabatan Ketua ASEAN akan dipegang oleh Kamboja.
”Kamboja adalah anggota ASEAN yang relatif baru, bukan termasuk negara pendiri ASEAN. Selain itu, mereka juga dekat dengan junta Myanmar serta Pemerintah China yang berafiliasi dengan junta,” kata Khanisa. Oleh sebab itu, ia mengkhawatirkan, di bawah kepemimpinan Kamboja, ASEAN akan lunak kepada Myanmar.
Menurut dia, Indonesia dan negara-negara lain yang menginginkan penegakan HAM di Myanmar harus terus mengawal agenda tersebut. Indonesia tidak akan menjadi Ketua ASEAN hingga tahun 2023, tetapi sebagai salah satu pendiri dan anggota terbesar, Indonesia bersama Komisi HAM Antarpemerintah ASEAN bisa lantang bersuara.
”Mengucilkan Myanmar bukan berarti mengucilkan rakyatnya. Kita mengucilkan pemerintahan yang tidak dipilih oleh rakyat, tetapi Indonesia harus terus hadir untuk rakyat Myanmar,” ujar Khanisa.
Perkataan Khanisa senada dengan perkataan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi bahwa meskipun junta tidak pernah diundang dalam acara-acara ASEAN, Indonesia terus mengirim bantuan kemanusiaan kepada rakyat Myanmar. (REUTERS)