Junta militer Myanmar menanggapi aksi unjuk rasa dengan kasar. Mereka menabrakkan truk kepada para pedemo sehingga lima orang tewas.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
YANGON, MINGGU — Lima warga sipil tewas ketika satu unit truk tentara Myanmar menabrak para pengunjuk rasa antijunta militer di kota Yangon, Minggu (5/12/2021). Tentara juga menangkap 15 pengunjuk rasa. Perbuatan ini dikecam masyarakat internasional dan kelompok pembela hak asasi manusia sebagai bentuk kekejaman Tatmadaw, atau militer Myanmar terhadap masyarakat yang menentang perebutan kekuasaan melalui kudeta 1 Februari lalu.
Unjuk rasa pada hari Minggu itu dilaporkan sejumlah pihak, baik media arus utama maupun media sosial, dihadiri oleh 30 orang. Mereka melakukan aksi damai dengan menyusuri jalan-jalan di kota Yangon sambil membawa spanduk serta poster Aung San Suu Kyi, pemimpin partai politik Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang sejatinya memenangi pemilihan umum pada bulan November 2020.
Para saksi mata yang melihat unjuk rasa dari trotoar mengatakan, tiba-tiba satu unit truk militer menabrak para pedemo yang tengah berjalan. Mereka sontak kocar-kacir menyelamatkan diri. Dari dalam truk, turun lima tentara, mereka berlari ke arah pedemo yang terluka, sementara tampak tiga orang berbaring tidak bergerak di jalanan.
”Para tentara itu meneriaki kami (saksi mata) untuk segera pulang kalau tidak mau ikut ditangkap. Saya sempat melihat mereka menyeret sepuluh orang yang terluka ke dalam truk,” kata seorang saksi yang identitasnya dirahasiakan demi keselamatan. Setelah itu, tersiar kabar bahwa ada 15 orang yang ditangkap oleh tentara.
Pascakudeta 1 Februari oleh junta, rakyat Myanmar melakukan unjuk rasa besar-besaran menolak kepemimpinan junta yang mereka nyatakan tidak sah. Junta membalas rakyat dengan cara koersif. Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) mendata bahwa sejak 1 Februari hingga sekarang ada 1.300 pengunjuk rasa tewas akibat kekerasan oleh tentara. Ini belum termasuk lebih dari 10.000 orang yang ditangkap dan dipenjarakan walaupun sebagian besar kini telah dibebaskan.
Hasil kajian Human Rights Watch mengungkapkan, dalam unjuk rasa pertama pascakudeta, yaitu tanggal 14 Maret, ada 65 korban tewas. ”Kami menganalisis unggahan media sosial, pernyataan saksi mata, dan data pemerintahan ataupun junta. Kesimpulannya ialah penembakan 65 pengunjuk rasa itu bukan reaksi ketika tentara berada di lapangan, melainkan sudah direncanakan. Mulai dari cara memecah demo dan memojokkan para pengunjuk rasa sebelum menyerang mereka,” kata peneliti organisasi tersebut, Manny Maung.
Melawan dari pinggiran
Penolakan terhadap junta dilakukan di wilayah pinggiran Myanmar. Salah satu kelompok etnis minoritas yang berjuang melawan Tatmadaw ialah suku Karen. Persatuan Nasional Karen (KNU) yang merupakan pemerintah di Negara Bagian Karen mengungkapkan bahwa sepanjang Maret-April, Tatmadaw melancarkan serangan udara ke wilayah mereka. Akibatnya, 40.000 orang kehilangan tempat tinggal dan 18 orang tewas.
Dilansir dari liputan Al Jazeera, Tatmadaw juga menembaki sawah dan ladang guna mencegah warga Karen bisa memanen hasil pertanian. Ini agar mereka perlahan mengalami krisis pangan. Junta dan KNU mengumumkan gencatan senjata pada tanggal 1 Oktober, tetapi kenyataannya di bulan yang sama masih terjadi 275 kali bentrokan senjata.
Selain itu, junta juga menghadapi serangan terhadap sistem telekomunikasi negara. Sebanyak 409 tiang telekomunikasi dihancurkan oleh kelompok antijunta. Koran junta, Global New Light of Myanmar, menyatakan, ini adalah aksi terorisme. Sebanyak 700.000 warga kehilangan akses internet akibat perusakan jaringan telekomunikasi. Sebelumnya, junta sudah membatasi internet agar masyarakat tidak bisa mengunggah konten ataupun membaca mengenai Myanmar di internet.
Belum ada duta
Junta juga masih berusaha agar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mau menerima duta besar yang mereka usulkan. Sejauh ini, PBB hanya mengakui Kyaw Moe Tun sebagai duta Myanmar untuk organisasi tersebut. Ia adalah duta yang diangkat di bawah pemerintahan Aung San Suu Kyi yang dinilai sah.
”Keputusan PBB menolak duta kami ini tidak benar. Kamilah pemerintah Myanmar yang sah. Dutanya harus dari kami,” kata juru bicara junta Zaw Min Tun.
Sementara itu, di hari Minggu, pemimpin junta, Jenderal Min Aung Hlaing, bertemu dengan Tin Oo (94) yang merupakan salah satu pendiri NLD dan Khin Nyunt (82), mantan Perdana Menteri Myanmar di bawah NLD. Dugaannya, ia hendak mendekati para tokoh sepuh NLD untuk memuluskan jalan kekuasaannya. Hlaing menawarkan mereka perawatan hari tua yang lengkap di rumah sakit militer.
Adapun pemimpin NLD dan pemenang pemilu Myanmar, Aung San Suu Kyi, masih dalam penahanan. Ia tengah menunggu hasil keputusan sidang yang menuduh ia berlaku curang sebelum pemilu dan melakukan pelanggaran protokol kesehatan Covid-19. (AP/AFP)