ASEAN Harus Cegah Intrusi Udara dan Laut Tidak Berakhir pada Konflik Terbuka
Intrusi pesawat militer suatu negara ke dalam wilayah pertahanan negara lain bisa membuka risiko konflik terbuka. ASEAN harus terus mewaspadai kemungkinan ini dengan mempertahankan kestabilan wilayah.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Semakin seringnya intrusi dari pesawat militer milik Tentara Pembebasan Rakyat China ke wilayah pertahanan udara atau ADIZ Taiwan turut memiliki dampak kepada Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara atau ASEAN. Ada dua hal yang harus dilakukan oleh ASEAN, yaitu memastikan tidak pecahnya konflik terbuka di kawasan Asia-Pasifik dan mengerahkan komunitas di Indo-Pasifik untuk mengajukan keberatan terhadap perilaku China yang sering memasuki wilayah pertahanan udara negara lain.
Kesimpulan itu mengemuka dalam diskusi daring bertema ”Intrusi Pesawat Militer di Wilayah Udara Indo-Pasifik: Dampak terhadap Kedamaian dan Stabilitas Regional dari Perspektif ASEAN” yang diadakan oleh The Habibie Centre di Jakarta, Selasa (30/11/2021). China menjadi negara yang paling banyak melakukan intrusi ke ADIZ negara tetangganya. Sejak tahun 2013, tercatat ada 4.400 pesawat militer China yang memasuki ADIZ Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan.
”Persoalan ADIZ ini memang rumit karena ADIZ bukan batas geografis resmi yang diakui secara formal oleh hukum internasional. ADIZ murni ditetapkan secara unilateral oleh negara yang bersangkutan,” papar Direktur Institut Kajian Kedirgantaraan China untuk Universitas Pertahanan Nasional (National Defense University), Washington DC, Amerika Serikat, Brendan Mulvaney.
Ia menjelaskan, sejatinya fungsi ADIZ ialah untuk mengidentifikasi pesawat ataupun benda terbang yang memasuki wilayah suatu negara. Apabila pesawat tersebut tidak dianggap memiliki risiko mengganggu keamanan, keberadaannya di ADIZ suatu negara bukan sebagai intrusi.
Khusus untuk Taiwan dengan China, peta ADIZ mereka memang saling beririsan. Bagi Taiwan, ADIZ mereka mencakup keseluruhan Provinsi Fujian dan setengah dari Provinsi Zhejiang di China. Akan tetapi, pesawat China yang lalu lalang di kedua provinsi itu tidak dianggap intrusi. Baru jika pesawat China melewati garis batas di Selat Taiwan masuk sebagai ancaman keamanan.
Sebelum Taiwan, lanjut Mulvaney, China kerap melakukan intrusi ke Jepang. Puncaknya ialah di tahun 2016 ketika 851 pesawat China memasuki ADIZ Jepang. Dugaannya, ini untuk mencegah angkatan udara Jepang memiliki waktu latihan yang produktif. Apabila pilot-pilot militer Jepang sering secara mendaddak meninggalkan pos mereka demi mengusir pesawat-pesawat China, mereka tidak bisa sering berlatih dan menjaga stamina. Otomatis, ini mengurangi daya pertahanan negara.
Intrusi China ke Taiwan meningkat pada bulan Agustus ketika Menteri Kesehatan AS Alex Azar berkunjung ke Taiwan. Ini adalah pejabat tertinggi di pemerintahan AS yang singgah ke Taiwan sejak tahun 1979 ketika AS resmi mengakui prinsip Satu China. Kementerian Pertahanan Taiwan mencatat di tahun 2020 ada 1.710 pesawat militer China memasuki ADIZ mereka dan 49 di antaranya terbang di dekat wilayah geografis Taiwan. Rata-rata, setiap hari ada 30 pesawat militer China memasuki ADIZ Taiwan, mayoritas di sebelah barat daya.
Pada 2021, data hingga bulan November mengungkapkan ada 985 intrusi pesawat militer China ke ADIZ Taiwan. Tidak hanya jumlah pesawatnya yang banyak, tetapi ragamnya juga. Selain jet tempur, antara lain juga ada pesawat pengebom, pesawat antikapal selam, pesawat pengintai, dan pesawat pengisi bahan bakar.
”Ada beberapa kemungkinan alasan intrusi itu selain berusaha mengurangi waktu latihan AU Taiwan. Untuk melihat perkembangan wilayah di Taiwan, misalnya, dan menguji sistem pertahanan mereka,” kata Mulvaney.
Pendiri Policy People sekaligus wartawan media Taiwan News, Liam Gibson, mengatakan, dari hasil survey yang dilakukan oleh Brookings, sebanyak 79 persen penduduk Taiwan menyadari meningkatnya intrusi dari China. Peristiwa yang terbesar terjadi pada 10 Oktober lalu ketika Taiwan merayakan ulang tahun ke-110. Masyarakat menilai ini upaya China untuk mendiskreditkan wibawa Taiwan sebagai entitas merdeka dan memberi tekanan kepada Presiden Tsai Ing-wen.
”Memang Taiwan mengembangkan persenjataan sendiri, seperti ada kapal selam yang berpatroli di Selat Taiwan. Tetapi, bukan alutsista yang ditakuti oleh China, melainkan semakin banyak negara dan kawasan global yang membuka hubungan dengan Taiwan dan menyatakan dukungan terhadap demokrasi di Taiwan,” papar Gibson.
Menurut Mulvaney, ASEAN dan negara-negara anggotanya bisa menekan China dengan rutin mengajukan keluhan terkait intrusi di ADIZ ataupun perairan mereka. Potes ini juga harus diangkat ke berbagai forum di Indo-Pasifik dan Asia-Pasifik. Adanya protes rutin ini akan mencegah China mengembangkan narasi mereka mengenai batas-batas wilayah versi sendiri.
Sementara itu, dosen hubungan internasional Universitas Pertamina Ian Montratama berpendapat skeptis ASEAN bisa melakukan protes keras. Alasannya karena persoalan intrusi udara maupun maritim di Laut China Selatan hanya dialami oleh beberapa anggotanya, sehingga ini tidak menjadi prioritas bagi negara-negara yang tidak menghadapi masalah tersebut.
”ASEAN melalui konsensus biasanya akan fokus kepada pencegahan konflik terbuka. Khusus soal perbatasan wilayah, hukum internasional hanya mengakui jika keluhan diajukan oleh negara-negara yang bersangkutan, bukan organisasi kewilayahan,” ujarnya.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam wawancara eksklusif dengan Kompas pekan lalu mengatakan bahwa rivalitas di kawasan semakin tinggi. Indonesia memiliki kesempatan sebagai kekuatan terbesar di ASEAN dan menjabat Ketua G-20 periode Desember 2021-November 2022. Tidak hanya kestabilan kawasan yang diperjuangkan, tetapi mencegah terjadinya perlombaan senjata. Menurut dia, ada berbagai cara kolaborasi yang bisa dilakukan. Semua bergantung dengan pihak yang diajak bekerja sama. (DNE)