Indo-Pasifik Jadi Magnet Kepentingan Politik-Ekonomi Global
Indo-Pasifik menjadi magnet berbagai kepentingan politik-ekonomi global. Benturan kepentingan rawan terjadi. Di sisi lain, nilai strategis kawasan juga meningkat.
Oleh
kris mada
·4 menit baca
LONDON, KAMIS — Kawasan Indo-Pasifik semakin menjadi pusaran kepentingan berbagai pihak. Bahkan, belakangan, sejumlah negara kuat dan kaya dari luar kawasan pun ikut masuk. Isu Taiwan dan sengketa Laut China Selatan secara bergantian menjadi platform pergolakan.
Situasi mutakhir berawal dari ketegangan antara China dan Taiwan yang bereskalasi dengan pengerahan pesawat tempur. Agregasinya adalah pidato Presiden China Xi Jinping per 9 Oktober 2021 yang menegaskan akan melakukan reunifikasi dengan Taiwan. Sehari kemudian, Presiden Taiwan Tsai Ing-wen menegaskan, Taiwan tidak akan tunduk.
Sejak awal, situasi sudah kompleks dengan adanya Amerika Serikat (AS) dan sejumlah negara Eropa yang ikut terlibat. Negara-negara itu, dalam ukurannya masing-masing, juga mengerahkan armada militernya.
Menteri Pertahanan Perancis Florence Parly melalui pernyataan, Rabu (13/10/2021) waktu Paris atau Kamis dini hari WIB, membenarkan adanya pengerahan kapal perang Perancis ke Selat Taiwan. Langkah itu sebagai wujud dukungan Paris atas status quo Taiwan.
Sebelum Perancis, sejumlah negara Eropa telah lebih dulu mengirim kapal perang ke sekitar Taiwan, yakni Belanda, Inggris, dan Jerman. Bahkan, pekan lalu, kapal Belanda dan Inggris bergabung dalam latihan militer bersama AS dan Australia di perairan dekat Taiwan.
Beijing menanggapinya dengan mengerahkan hampir 150 pesawat tempur ke dekat Taiwan. Belum pernah China mengerahkan pesawat tempur sebanyak itu dalam waktu singkat ke dekat Taiwan.
Dalam wawancara khusus dengan Kompas, Rabu (13/10/2021), Duta Besar AS untuk Indonesia Sung Y Kim menegaskan, kehadiran AS dan sekutunya di Indo-Pasifik tidak bermaksud untuk memusuhi siapa pun. Justru Washington berusaha mendorong stabilitas dan keamanan kawasan. ”Tanpa keamanan, tidak ada kesejahteraan,” ujarnya.
AS, menurut Kim, hanya berusaha memastikan ketertiban dan kepatuhan terhadap hukum internasional bisa tercipta di kawasan. Semua pihak berkepentingan pada stabilitas berbasis penghormatan terhadap hukum internasional di kawasan.
Wakil Menteri Luar Negeri China Le Yucheng mengatakan, Beijing-Washington punya satuan tugas bersama untuk membahas hubungan bilateral AS-China. Para pejabat tinggi kedua negara juga terus menjaga komunikasi.
Ia menyinggung fakta bahwa Presiden AS Joe Biden dan Presiden Xi Jinping sudah dua kali berbincang melalui telepon. Mereka juga dijadwalkan berbincang melalui telekonferensi video sebelum akhir 2021.
Rencana ini disepakati dalam pertemuan Penasihat Keamanan Nasional AS Jack Sullivan dengan Kepala Kebijakan Luar Negeri pada Politbiro Partai Komunis China, Yang Jiechi, awal Oktober 2021 di Zurich, Swiss.
Upaya komunikasi juga dilakukan di tingkat panglima militer. Kepala Staf Gabungan AS Jenderal Mark Milley dan Kepala Staf Gabungan China Li Zuocheng juga bolak-balik berkomunikasi. Lewat beberapa telepon itu, Milley meyakinkan Li Zuocheng bahwa AS tidak berniat menyerbu China.
Pakar politik luar negeri China di Institute of Strategic and International Studies (ISIS) Malaysia, Angelina Tan, mengatakan, ketegangan telah menjadi bagian keseharian di kawasan. Kondisi ini menyulitkan negara-negara di kawasan.
Namun, di sisi lain, Tan berpendapat, kondisi tersebut juga menawarkan kesempatan kepada negara-negara di kawasan untuk menunjukkan kemampuan mengelola konflik dan menjaga stabilitas kawasan. ”Persaingan AS-China telah menaikkan nilai strategis Asia Tenggara,” kata Tan.
Sepanjang 2021, para pejabat tinggi Beijing-Washington bolak-balik bertandang ke Asia Tenggara. Demikian pula sebaliknya, mereka beberapa kali mengundang para pejabat tinggi Asia Tenggara. ”Di tengah pandemi, Beijing dan Washington sama-sama bersemangat meningkatkan upaya diplomasi di kawasan,” katanya.
Wakil Menteri Luar Negeri RI Mahendra Siregar mengatakan, semua pihak perlu terus mengupayakan dialog dan kerja sama di kawasan. Sebab, ada banyak ancaman nyata di kawasan dan butuh kerja sama semua pihak untuk mengatasi kondisi itu. Salah satu ancaman bagi negara-negara di sekitar Laut China Selatan adalah kenaikan suhu dan permukaan laut akibat perubahan iklim. Ini bisa mengganggu keamanan pangan bangsa-bangsa di kawasan.
Sekarang, militer semua pihak merasa tidak siap untuk konflik terkait Taiwan. Masalahnya, itu tidak tergantung mereka (militer). Tergantung para politisi.
Pakar pertahanan di International Institute for Strategic Studies, Henry Boyd, mengatakan, militer tidak siap jika sampai terjadi perang gara-gara Taiwan. ”Sekarang, militer semua pihak merasa tidak siap untuk konflik terkait Taiwan. Masalahnya, itu tidak tergantung mereka (militer). Tergantung para politisi,” ujarnya.
Kemajuan persenjataan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) dalam 25 tahun terakhir telah memangkas keunggulan militer AS atas China. Namun, PLA belum pernah teruji lewat perang nyata, berbeda dengan AS dan sekutunya yang terus terlibat dalam berbagai perang. AS dan sekutunya masih unggul secara teknologi dan anggaran. (AP/AFP/REUTERS)