Melalui Keketuaan G-20, Indonesia Siap Mengelola Rivalitas Kekuatan Dunia
Rivalitas kekuatan besar akibat mentalitas Perang Dingin kian terasa di Asia Tenggara. Sebagai negara terbesar di kawasan, Indonesia bertanggung jawab menjaga kestabilan kawasan agar tak terdampak rivalitas tersebut.
Oleh
kris mada
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Status sebagai Ketua G-20 mulai 1 Desember 2021 akan dimanfaatkan Indonesia, antara lain, untuk mengelola rivalitas kekuatan besar. Bersama sejumlah negara lain, Indonesia juga mendorong pembuatan kesepakatan baru tentang kesiapan menghadapi pandemi pada masa mendatang.
Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi mengatakan, pandemi Covid-19 menunjukkan rivalitas kekuatan-kekuatan global tidak menurun. ”Saat butuh kerja sama kuat, ada rivalitas semakin menajam,” ujarnya dalam wawancara khusus dengan Kompas, Selasa (23/11/2021), di Jakarta.
Rivalitas itu, antara lain, mengeras akibat mentalitas Perang Dingin. Sejumlah pihak, termasuk Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, mengungkap kekhawatiran dampak mentalitas itu pada kerja sama global. Selain rivalitas AS-China, ketegangan kawasan meningkat akibat sengketa di Laut China Selatan, konflik China-Taiwan, kemunculan aliansi militer AUKUS, ketegangan di Semenanjung Korea, dan lain-lain.
Retno mengatakan, rivalitas itu juga terasa di Asia Tenggara. Sebagai negara terbesar di kawasan, Indonesia bertanggung jawab membantu mengelola kestabilan dan kedamaian kawasan agar tak terdampak oleh rivalitas tersebut. Apalagi, Indonesia segera menyandang status sebagai Ketua G-20 periode 2022, lalu Ketua ASEAN periode 2023.
”Ukuran Indonesia membawa tanggung jawab besar yang harus dimainkan, bagaimana menjaga stabilitas dan keamanan kawasan," ujar Retno.
Rivalitas kekuatan besar diakui akan tetap terlihat di antara anggota G-20, organisasi negara pengendali 85 persen produk domestik bruto (PDB) global. Di G-20, tergabung antara lain AS, China, India, Rusia, Australia, Inggris, dan Perancis. Tak mungkin sama sekali menghilangkan perbedaan pandangan. ”Hal terpenting, bagaimana bisa mengelola perbedaan,” kata Retno.
Fokus di G-20
Retno menjelaskan, sebagai Ketua G-20, Indonesia mencoba mengelola rivalitas itu dengan mendorong kerja sama. Bagi Indonesia, kerja sama amat mutlak jika dunia mau keluar dari pandemi dan menjadi lebih kuat. Bersama sejumlah negara, Indonesia tengah menjajaki peluang pembuatan perjanjian internasional tentang kesiapan menghadapi pandemi.
Fokus Indonesia pada usulan perjanjian itu terutama untuk membantu negara-negara berkembang dan kurang berkembang menghadapi potensi pandemi pada masa mendatang. Covid-19 menunjukkan, komunitas internasional tidak siap menghadapi pandemi. Negara-negara berkembang dan kurang berkembang lebih tidak siap lagi.
”Tiga hal yang akan kita jadikan fokus. Pertama, bagaimana memperkuat arsitektur kesehatan global. WHO tetap memegang peran sentral, tetapi ternyata kita tidak siap menghadapi pandemi,” ujar Retno.
”Ada pembicaraan, kemungkinan akan ada satu traktat baru tentang kesiapan menghadapi pandemi. Dalam konteks G-20, ada kerja sama kesehatan dan keuangan untuk membahas pendanaan guna menopang negara-negara berkembang dan berpendapatan rendah.”
”Kedua, transisi energi. Kita ingin kapitalisasi menjadi dua hal: investasi dan teknologi. Bagaimana kita bisa menarik investasi dan transfer teknologi sehingga negara berkembang memiliki kemampuan melakukan transisi energi ke energi baru dan terbarukan. Ketiga, transisi digital. Roh semua itu adalah inklusif, semua terwakili, termasuk perempuan,” ucap Retno.
Ia menegaskan, Presidensi Indonesia di G-20 tidak hanya untuk kepentingan G-20, tetapi juga membawa suara negara-negara berkembang. Hal ini tidak lepas dari status sejarah Indonesia sebagai penggagas Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955 dan Gerakan Non-Blok (GNB).
Selain untuk semua komunitas negara berkembang dan kurang berkembang, Indonesia juga terus fokus untuk membantu sebagian negara tertentu yang membutuhkan. Dalam lingkup Asia Tenggara, misalnya, Indonesia melakukannya untuk rakyat Myanmar. Setiap bertemu sejawatnya para menlu dari negara lain, Retno selalu menanyakan, apa yang bisa mereka lakukan untuk rakyat Myanmar.
”Bagi Indonesia, kesejahteraan dan keamanan rakyat Myanmar adalah nomor satu,” ujar Retno.
Hal prinsip dan mendasar itu terus diterapkan Indonesia dalam langkah diplomasinya. Menurut Retno, langkah ASEAN terkait Myanmar didasarkan pada pandangan bahwa ASEAN adalah keluarga. Dalam keluarga, perlu terus saling menjaga, membantu, dan mengingatkan. ”Ke mana pun, selalu membawa kepentingan rakyat Myanmar,” ujar Retno.
Pemerataan vaksin
Dalam lingkup global dan terkait Covid-19, Indonesia terus menyuarakan pentingnya akses vaksin. Kini, memang aksesnya sudah lebih terbuka bagi semua negara. Namun, Indonesia memandang masih terus mendorong agar negara-negara mampu berbagi cadangan vaksinnya.
”Vaksin adalah isu kemanusiaan,” ujar Retno, yang juga salah satu dari tiga ketua bersama COVAX Advance Market Commitment (AMC) Engagement Group, aliansi internasional untuk pengadaan dan penyaluran vaksin.
Terkait dengan hal itu, Indonesia terus mendorong pemerataan vaksin. Pemerataan vaksinasi akan menguntungkan semua negara. ”Tidak mungkin satu negara bisa aman sendiri,” katanya.
Pandemi telah membuat perbatasan lintas negara ditutup dan baru sebagian dibuka. Selama pandemi Covid-19 belum terkendali, pembatasan gerak lintas negara bisa terus berlanjut dan hal itu akan menyulitkan pemulihan.
”Negara lain tidak mungkin bisa mengonsumsi komoditas impor dan memproduksi komoditas ekspor selama ekonominya belum pulih. Pemulihan dari dampak pandemi menjadi kepentingan hampir semua negara, termasuk Indonesia,” kata Retno.
Bagi Indonesia, menjadi ketua G-20 juga bagian dari upaya mencapai kepentingan nasional. Retno memastikan, manuver Indonesia tidak diarahkan oleh salah satu kekuatan besar. Indonesia tetap teguh pada kepentingan nasionalnya dengan tetap teguh berpegang pada politik bebas aktif.
Secara terpisah, terkait dengan keketuaan G-20, Koordinator Tim Peneliti Isu G-20 Pusat Penelitian Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Emilia Yustiningrum mengatakan, presidensi Indonesia penting karena Indonesia pemain kunci di Asia Tenggara dengan pengaruh yang dipertimbangkan secara global. Keketuaan G-20 menjadi kekuatan Indonesia untuk tampil sebagai penengah di tengah rivalitas kekuatan-kekuatan besar dunia. (DNE/LUK/JOS/SAM)