Ketegangan di kawasan Asia Tenggara meningkat. Salah satu pemicunya, konflik di Selat Taiwan. Respons tepat ASEAN sangat penting agar konflik tak bereskalasi.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·5 menit baca
Hubungan antara China dan Taiwan terus memanas. Setelah muncul pakta pertahanan antara Amerika Serikat, Inggris, dan Australia atau AUKUS—aliansi militer untuk menghadang Beijing—China semakin sering memasuki zona identifikasi pertahanan Taiwan dan kerap unjuk kekuatan militer. Tidak lama lagi, ketegangan di Selat Taiwan ini juga akan memengaruhi kawasan Asia Tenggara.
Masalah di Selat Taiwan ini merupakan situasi yang pilin-memilin dari sejarah persaingan politik antara Taiwan—yang menyebut dirinya dengan nama resmi Republik China—dan China—bernama resmi Republik Rakyat China (RRC)— yang kemudian berpadu dengan persaingan politik kawasan serta global antara China dan negara-negara Barat.
Terkait itu, Indonesia dan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) harus mengeluarkan sikap tegas guna memastikan konflik tersebut ataupun dampaknya tidak merembet ke kawasan Asia Tenggara. Sebab, semua negara di kawasan ini menjalin hubungan baik dengan trio negara anggota AUKUS, China, serta Taiwan.
”Ini akan menjadi ujian ketiga bagi ASEAN di tahun 2021,” kata Khanisa Krisman, peneliti isu ASEAN pada Pusat Riset Politik di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), saat dihubungi di Jakarta, Jumat (15/10/2021).
Ujian lain yang dihadapi ASEAN adalah penanganan situasi di Myanmar dan pembentukan AUKUS. Khanisa menjelaskan, sikap ASEAN belum jelas mengenai pembentukan AUKUS ataupun ketegangan di Selat Taiwan.
Terkait AUKUS, pandangan negara-negara ASEAN terbelah. Indonesia secara halus menyatakan keberatan terhadap adanya AUKUS. Bersama Malaysia, Jakarta memandang AUKUS akan memicu perlombaan senjata.
Singapura dan Filipina memiliki pandangan berbeda. Singapura, yang memiliki hubungan lama dengan AS, Australia, dan Inggris, berharap aliansi itu akan mendorong perdamaian dan stabilitas. Adapun Filipina secara terang-terangan mendukung AUKUS karena diharapkan bisa membantu mereka terkait penanganan sengketa dengan China di Laut China Selatan.
Kini, dengan suasana panas di Selat Taiwan, ASEAN juga harus mulai waspada. Pasalnya, negara-negara ASEAN berhubungan baik dengan China dan juga Taiwan.
Secara prinsip, semua anggota ASEAN memang mengakui konsep Satu China, yaitu bahwa Taiwan merupakan bagian dari China. Akan tetapi, secara de facto, walaupun tidak menjalin hubungan diplomatik dengan Taiwan, negara-negara anggota ASEAN memperlakukan Taiwan sebagai entitas yang mandiri dan memiliki hubungan ekonomi yang dekat.
”Bisakah ASEAN menyatakan dengan tegas kepada AUKUS, China, dan Taiwan untuk tidak membawa-bawa masalah mereka kepada ASEAN ataupun kepada setiap anggotanya? Saat ini, agak susah diperkirakan karena ASEAN memiliki kecenderungan lama mengambil keputusan. Mungkin harus menunggu ketika Indonesia menjadi ketua di tahun 2023,” tutur Khanisa.
Beberapa waktu lalu, Wakil Presiden AS Kamala Harris melakukan lawatan ke Vietnam dan Singapura guna mencari dukungan ASEAN dalam bersaing menghadapi China. Kedua negara yang dikunjungi secara resmi itu menyatakan tidak akan memihak, baik kepada AS maupun China.
Sikap seperti itu hendaknya dinyatakan secara tegas oleh ASEAN. Baik AUKUS maupun konflik Selat Taiwan tidak boleh dibawa ke wilayah ASEAN oleh pihak mana pun.
Latar belakang
Masalah di Selat Taiwan bermula pada tahun 1949 ketika Pemerintah Republik China di bawah Presiden Chiang Kai-shek pindah ke Taiwan akibat China daratan dikuasai oleh Partai Komunis di bawah Mao Zedong. Adapun Taiwan merupakan pulau bagian dari China.
Kedua pihak, Chiang dan Mao, sama-sama menyatakan bahwa mereka adalah Pemerintah China yang sesungguhnya. Kepindahan Republik China ke Taiwan pun pada 1949 direncanakan untuk sementara. Ketika itu, Chiang memperkirakan dirinya dan para pengikutnya yang berupa kelompok nasionalis bisa kembali mengambil alih China dari Partai Komunis dalam beberapa tahun.
Seiring berjalannya waktu, kedua wilayah berkembang sendiri-sendiri. Partai Komunis menamai wilayah kekuasaannya dengan Republik Rakyat China. Sementara Republik China tetap berada di wilayah yang secara internasional dikenal dengan nama Taiwan.
Secara diplomatik, ada 15 negara yang mengakui kemerdekaan Taiwan, yaitu Vatikan, Guatemala, Honduras, Haiti, Paraguay, Nikaragua, Belize, Eswatini, Saint Lucia, Saint Vincent-Grenadine, Saint Kitts-Nevis, Kepulauan Marshall, Palau, Tuvalu, dan Nauru.
Selebihnya, negara-negara lain tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Taiwan. Meskipun begitu, dengan kemajuan ekonominya, Taiwan menjadi pemain penting di dunia. Apalagi, Taiwan adalah wilayah nomor satu yang memproduksi semikonduktor. Mereka juga memiliki kedekatan dengan negara-negara Barat karena menganut prinsip demokrasi dan perdagangan bebas.
Sahabat terdekat Taiwan adalah Amerika Serikat yang juga tidak memiliki hubungan diplomatik. Akan tetapi, AS berjanji akan membantu Taiwan apabila terus dirundung keamanannya oleh China. Pemerintah AS tidak pernah mengutarakan secara lugas jika mereka akan membantu dengan menurunkan personel dan persenjataan militer.
Sejauh ini, militer Taiwan sering dilibatkan dalam latihan gabungan dengan tentara AS. Taiwan juga membeli persenjataan dari AS, seperti meriam howitzer dan kapal tempur. Saat ini, Taiwan juga tengah menunggu pengiriman 22 unit jet tempur F-16.
”Pastinya AS akan terus mendukung Taiwan. Pada dasarnya, kami meminta agar situasi di Selat Taiwan bisa diselesaikan secara baik-baik dan damai. Harapannya, status quo tetap terjaga,” kata Ned Price, juru bicara Departemen Luar negeri AS.
Pernyataan Price itu disampaikan menanggapi berbagai aksi China memasuki wilayah pertahanan udara Taiwan. Sepanjang 2020-2021, Kementerian Pertahanan Taiwan mencatat ada 600 jet tempur China memasuki langit Taiwan.
Kegiatan ini kian sering terjadi semenjak pakta AUKUS diumumkan. Presiden China Xi Jinping, sebagai tanggapan terhadap AUKUS, menyatakan bahwa dirinya akan mengupayakan penggabungan Taiwan kembali dengan China secara damai.
”Ini juga kesalahan Taiwan terus berhubungan dengan negara-negara lain dan tidak mempraktikkan pola pemerintahan China, padahal jelas-jelas bagian dari China. Tentunya pemerintah akan memberi pendisiplinan,” kata Ma Xiaoguang, juru bicara Kantor Urusan Taiwan di Kabinet China.
Dalam pidato kenegaraan perayaan Hari Nasional Taiwan di Taipei, Minggu (10/10/2021), Presiden Taiwan Tsai Ing-wen menegaskan, Taiwan adalah wilayah merdeka dan tidak akan pernah menjadi bagian dari China. Ia menyatakan, Taiwan tidak akan tunduk pada tekanan Beijing. Tsai pun tegas mengatakan, Taiwan tetap dalam status quo politik.
Analis militer Institut Kajian Strategis Internasional di Inggris, Henry Boyd, menjelaskan bahwa pola militer Taiwan dan China sama-sama mengandalkan strategi mengulur waktu. Taiwan memiliki kapasitas militer bertahan sampai bantuan dari pihak lain—harapannya AS—datang. Adapun China akan berusaha menghalangi kedatangan pihak lain untuk membantu Taiwan. (AP)