Negara Maju Tak Penuhi Janji Dana Iklim, Negara Berkembang Merasa Dikorbankan
Para peserta COP 26 mencatat dengan penuh penyesalan bahwa janji penyediaan dana 100 miliar dollar AS per tahun sejak 2016 sampai 2020 belum dipenuhi oleh negara-negara maju.
GLASGOW, MINGGU — Desakan kepada negara-negara maju untuk membuktikan kontribusi mereka pada mitigasi penyebab dan dampak perubahan iklim semakin kuat. Negara-negara kecil dan berkembang merasa dikorbankan atas nama kepentingan bersama penduduk Bumi.
Desakan tersebut dicantumkan dalam Pakta Iklim Glasgow yang disepakati pada Sabtu (13/11/2021) malam waktu Glasgow, Skotlandia, atau Minggu dini hari WIB. Pakta itu merupakan hasil perundingan selama Konferensi Para Pihak (COP 26) tentang Iklim yang berlangsung sejak 1 November 2021 di Glasgow.
Baca juga: Pakta Iklim Glasgow Tidak Cukup Kuat Menahan Laju Pemanasan Global
Dalam halaman 2 pakta itu, tercantum keprihatinan atas kurangnya dana adaptasi atas dampak perubahan iklim yang semakin memburuk di negara-negara berkembang. Sementara di halaman 5 naskah itu tercantum, para peserta COP mencatat dengan penuh penyesalan bahwa janji penyediaan dana 100 miliar dollar AS per tahun sejak 2016 sampai 2020 belum dipenuhi negara maju. Meski demikian, di sisi lain, pakta itu mengapresiasi janji baru negara-negara maju soal dana mitigasi iklim.
Para perunding COP 26, sebagaimana tercantum di halaman 5 Pakta Iklim Glasgow, mendesak negara-negara maju agar segera memberi kejelasan atas komitmen mereka soal penyediaan dana. Anggaran ini harus tersedia sebelum 2025. Negara maju juga didesak transparan dalam mewujudkan janji mereka.
Penyediaan dana mitigasi merupakan salah satu gugatan dari negara-negara berkembang dan miskin. Sebab, negara-negara maju bisa menikmati kemakmuran saat ini karena selama ratusan tahun melepaskan triliunan ton emisi gas rumah kaca. Emisi itu dihasilkan dari aneka aktivitas yang memungkinkan negara-negara itu bisa kaya seperti sekarang. Gugatan ini antara lain kerap disampaikan Menteri Lingkungan Hidup India Bhupender Yadav.
Baca juga: Hasil COP 26 Mengecewakan
Masih di halaman 5 pakta itu, negara-negara maju juga didesak membagikan teknologi dan pengetahuan kepada negara-negara berkembang untuk kepentingan mitigasi itu. Pembagian diharapkan dilakukan secara sukarela dan tidak membebani negara-negara berkembang. Sebab, kini banyak negara berkembang dan miskin sudah tertekan oleh utang dan dampak pandemi Covid-19.
Kompromi soal batubara
Pakta itu juga menunjukkan kompromi pada batubara. Alih-alih ”penghapusan”, paragraf 36 Pakta Iklim Glasgow menggunakan istilah ”pengurangan” penggunaan batubara. Istilah itu dipakai atas desakan India.
Baca juga: Soal Komitmen Iklim, Keberimbangan Jadi Posisi Pemerintah
Utusan Khusus Amerika Serikat soal Iklim John Kerry mengatakan, permintaan India dipenuhi agar ada kesepakatan di COP 26. Sementara Yadav berpendapat, permintaan New Delhi sesuai dengan kebutuhan negara berkembang. ”Kami berusaha mencapai kesepakatan dan ini masuk akal bagi negara berkembang dan keadilan iklim,” kata Yadav.
Bagi Ketua COP 26 Alok Sharma, target mengendalikan laju pemanasan global di bawah 1,5 derajat celsius masih tetap tercapai. Penandatangan Pakta Iklim Glasgow, 197 negara, diharapkan memaparkan rencana dan capaian mereka dalam COP 27 di Mesir pada 2022. ”Memang ini lemah dan kita hanya bisa hidup kalau membuktikan janji kita,” katanya.
Pakta Iklim Glasgow ditanggapi secara beragam oleh berbagai pihak. ”Langkah penting, walau tidak cukup. Kita harus mempercepat tindakan (pengendalian) iklim untuk menjaga tujuan membatasi kenaikan temperatur global 1,5 derajat celsius,” kata Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres.
Lihat juga: Warga Pertanyakan Komitmen Pemimpin Dunia terhadap Mitigasi Perubahan Iklim
Ia menyebut, COP 26 seharusnya membahas penghentian subsidi energi fosil, penghentian penggunaan batubara, dan penerapan harga karbon. COP 26 juga seharusnya menyepakati pemenuhan janji pendanaan 100 miliar dollar AS per tahun. ”Kita tidak mencapai tujuan-tujuan itu. Walakin, kita punya modal untuk maju,” ujar Guterres.
Kecewa
Salah satu perumus naskah awal Kesepakatan Paris 2015, Laurence Tubiana, mengatakan, ia juga menyebut COP 26 gagal melindungi orang-orang sudah menderita dan rentan dari dampak perubahan iklim. ”Kerugian dan kerusakan harus menjadi prioritas dalam pertemuan selanjutnya,” katanya.
Menteri Lingkungan Hidup Maladewa Aminath Shauna mengatakan, perundingan lanjutan soal perubahan iklim mungkin sudah terlambat bagi negaranya. Maladewa dan banyak negara kepulauan lain terancam kehilangan sebagian wilayahnya karena kenaikan permukaan laut yang dipicu pemanasan global.
Karena itu, Maladewa dan negara kepulauan menilai kesepakatan di Glasgow tidak cukup untuk menyelamatkan bangsa yang rentan terdampak pemanasan global. “Hal yang berimbang bagi pihak lain tidak akan mampu membantu Maladewa beradaptasi. Mungkin, akan terlambat bagi Maladewa,” ujarnya.
Baca juga: Soal Uang, Tambang, dan Waktu di COP 26
Bagi Maladewa, COP 26 bukan soal dialog, apalagi kerugian finansial. Perubahan iklim yang dibahas di COP 26 adalah masalah kelangsungan hidup bagi Maladewa dan negara kepulauan lainnya.
Perunding Antigua-Barbuda, Lia Nicholson, mengaku sangat kecewa dengan Pakta Iklim Glasgow. Sebab, kesepakatan itu merugikan negara kepulauan kecil, seperti Antigua-Barbuda.
Adapun Direktur Power Shift Afrika, Mohamed Adow, menyebut COP 26 mengorbankan negara miskin demi ego negara kaya. ”Hasil (COP 26) menunjukkan bahwa COP digelar di negara kaya dan demi kepentingan negara kaya,” ujar peneliti di Nigeria itu.
Baca juga: Inggris Ajak RI Lebih Ambisius Pangkas Penyebab Perubahan Iklim
Negara-negara miskin dinyatakan terpaksa menerima kekalahan dalam COP 26. Janji baru kembali dibuat kala janji lama tidak kunjung dipenuhi. ”Kami pulang dengan tangan kosong, walau masih berharap pada pertemuan selanjutnya. Mudah-mudahan ke depan ada langkah nyata untuk perubahan iklim, yang diciptakan oleh negara penghasil polusi dan gagal bertanggung jawab,” kata Adow.
Penolakan negara maju
Kegagalan selama COP 26 antara lain ditunjukkan oleh penolakan Amerika Serikat dan sejumlah negara menandatangani Deklarasi Glasgow tentang Emisi Nol Mobil. Deklarasi yang tidak mengikat itu tidak diteken oleh Toyota, Volkswagen, Stellantis, dan Hyundai. Selain AS, deklarasi itu juga tidak ditandatangani oleh Jerman, China, dan Jepang yang dikenal sebagai produsen otomotif global.
Baca juga: 10 Persen Warga Terkaya Dunia Rakus Karbon
Kegagalan lain diungkap dalam laporan bertajuk Fossil Fueled 5. Laporan itu disusun peneliti University of Sussex, Freddie Daley, bersama Fossil Fuel Non-Proliferation Treaty Initiative. Laporan itu menyoroti Inggris, Amerika Serikat, Norwegia, Kanada, dan Australia. Kecuali Australia, negara-negara dalam laporan itu dikenal getol berkampanye soal pengendalian penyebab perubahan iklim.
Daley dan rekannya menemukan, lima negara itu mengucurkan 150 miliar dollar AS untuk proyek-proyek energi fosil selama fase pemulihan dari dampak pandemi Covid-19. Padahal, AS bersama 6 negara lain di G-7 hanya mengucurkan 147 miliar dollar AS untuk proyek energi terbarukan selama fase pemulihan.
Adapun dalam kajian Rainforest Action Network (RAN) edisi 2021 diungkap, 60 bank Amerika, Eropa, dan Asia mengucurkan 3,8 triliun dollar AS pada 2016-2020 kepada aneka proyek industri bahan bakar fosil. Hingga 1,76 triliun dollar AS dari dana itu dikucurkan oleh 12 bank dan lembaga keuangan yang berpusat di AS dan Kanada.
Lembaga AS yang masih terlibat adalah JP Morgan Chase, Wells Fargo, Citi, Bank of America, TD, Morgan Stanley, Goldman Sach, dan US Bank. Adapun lembaga Kanada yang terlibat adalah RBC, Scotiabank, CIBC, dan Bank of Montreal.
Lembaga keuangan Eropa mengucurkan total 1,1 triliun AS. Dana itu antara lain berasal dari Barclays, BNP Paribas, HSBC, ING, Credit Suisse, Deutsche Bank, UBS, Santander, BBVA, dan Rabobank. Dari China dan Jepang, dikucurkan 890 miliar dollar AS untuk aneka proyek energi fosil sejak Kesepakatan Paris 2015 ditandatangani. Dari Jepang ada MUFG, Mizuho, Sumitomo Mitsui Bank Corp, dan Sumi Trust.
Baca juga: Derita Uighur di Balik Percepatan Energi Bersih AS
Sementara Bank of China, ICBC, Agricultural Bank, China Citic, SPD, China Merchants, Ping An, dan sejumlah lembaga keuangan lain di China mengucurkan total 532 miliar dollar AS yang mayoritas untuk batubara. (AFP/REUTERS)