Soal Komitmen Iklim, Keberimbangan Jadi Posisi Pemerintah
Komitmen iklim merupakan tantangan yang kompleks. Bagi semua negara, keberlanjutan pembangunan dan pelestarian alam menjadi dua kutub yang tidak mudah disandingkan dan berjalan beriringan.
Oleh
Kris Mada, Ahmad Arif
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komitmen iklim harus dan hanya bisa berjalan efektif jika seiring dengan kemajuan sosial dan pembangunan. Oleh karena itu, berbagai komitmen mesti dijalankan dalam skema yang kontekstual, berkeadilan, dan berkelanjutan. Konsep keberimbangan ini menjadi posisi Pemerintah Indonesia.
”Ini sejalan dengan strategi pembangunan kita dan sesuai Sustainable Development Goals. Tidak dipertentangkan (pembangunan dan lingkungan). Kalau dipertentangkan, pasti gagal, tidak hanya di negara berkembang, tetapi juga di negara maju,” kata Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar, di Jakarta, Kamis (4/11/2021).
Saat ini, Indonesia berada di urutan ke-6 negara penyumbang emisi karbon terbesar di dunia. Sebanyak 60 persen produksi emisi karbon di Indonesia berasal dari sektor kehutanan dan pemanfataan lahan. Adapun 30 persen disumbang oleh energi. Sisanya berasal dari industri, sampah rumah tangga, dan lain sebagainya.
Produksi emisi karbon menjadi penyebab utama pemanasan global yang menyebabkan perubahan iklim. Jika suhu Bumi naik rata-rata di atas 1,5 derajat celsius dari masa sebelum Revolusi Industri di 1830-an, berbagai bencana akan terjadi.
Oleh karena itu, semua negara bertangung jawab dan terikat komitmen bersama untuk mengurangi produksi emisi karbon. Melalui Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim di Glasgow, Skotlandia, 31 Oktober-12 November 2021, negara-negara diharapkan memperbarui komitmen lamanya secara lebih progresif sekaligus realistis.
Komitmen Indonesia pada pemanfaatan hutan dan lahan secara berimbang dituangkan dalam Pertemuan Para Pemimpin tentang Pemanfaatan Hutan dan Lahan di sela-sela KTT tentang Perubahan Iklim di Glasgow.
Deklarasi yang dihasilkan dari pertemuan itu, menurut Mahendra, menekankan pemanfaatan hutan secara berimbang. Artinya, Indonesia bersama 104 negara penanda tangan deklarasi tetap bisa memanfaatkan hutan secara berkelanjutan sesuai peruntukannya. Konsep ini berbeda dengan penghentian deforestasi yang sama sekali melarang penggunaan hutan untuk alasan apa pun.
Hal ini disampaikan Mahendra untuk meluruskan klaim dari Menteri Iklim dan Lingkungan Inggris Zac Goldsmith. Goldsmith mengklaim penghentian deforestasi ditargetkan pada 2030.
Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya melalui media sosialnya menyatakan, Indonesia berkomitmen mengendalikan emisi dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan. Pada 2030, Indonesia menargetkan emisi yang diserap lebih banyak dibandingkan yang dihasilkan dari sektor kehutanan.
Indonesia, menurut Siti, akan meneruskan pembangunan. Sebab, penghentian pembangunan atas nama deforestasi melawan amanat konstitusi. Indonesia tetap harus memanfaatkan hutan. Di Kalimantan dan Sumatera, banyak jalan harus melewati kawasan hutan. Jika hutan tidak boleh dimanfaatkan, ada puluhan ribu desa terisolasi.
Sementara soal batubara, Pemerintah Indonesia awalnya menargetkan penghentian penggunaan bahan bakar fosil itu sebagai bahan bakar pembangkit listrik pada 2056. Namun, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, pekan lalu, mengatakan kepada parlemen Inggris bahwa Presiden Joko Widodo telah berencana memajukan target menjadi 2040.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, pemenuhan target 2040 itu tergantung pada bantuan keuangan dari lembaga multilateral, sektor swasta, dan negara-negara maju. ”Itulah yang sekarang menjadi inti isu dan saya sekarang sebagai Menteri Keuangan menghitung apa artinya pensiun batubara lebih awal. Berapa biaya kita,” kata Sri Mulyani.
Indonesia, menurut Sri Mulyani, membutuhkan dukungan internasional untuk memastikan listrik tetap terjangkau ketika beralih ke sumber terbarukan. Perhitungan sementara, kebutuhannya mencapai 10 miliar dollar Amerika Serikat (AS) hingga 23 miliar dollar AS guna memberi subsidi proyek pembangkit listrik terbarukan hingga 2030.
”Jika semua harus dibiayai dari uang pembayar pajak saya, itu tidak akan berhasil. Jadi, sekarang pertanyaannya adalah apa yang bisa dilakukan dunia untuk membantu Indonesia,” katanya.
Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara Tata Mustasya mengharapkan Pemerintah Indonesia menuangkan rencana transisi energi batubara dalam berbagai produk kebijakan dan mengimplementasikannya dengan peta jalan yang jelas. ”Pengumuman (dari target 2056 ke 2040) ini tidak akan berarti apabila berbagai produk kebijakan di level implementasi justru bertolak belakang,” katanya. Menurut Tata, penutupan lebih awal PLTU batubara harus diikuti transisi yang sesungguhnya ke energi bersih dan terbarukan, seperti energi matahari. ”Inisiatif ini tidak boleh membawa rakyat Indonesia kepada solusi semu, seperti energi gas, yang malah bakal menunda transisi,” katanya.
Berikutnya, harus ada upaya menghilangkan berbagai hambatan dan menciptakan insentif bagi pengembangan energi bersih dan terbarukan yang potensinya melimpah di Indonesia. Dengan demikian, penambahan kapasitas dari energi bersih dan terbarukan bisa berjalan seiring dengan penutupan PLTU batubara untuk memastikan akses energi bagi seluruh rakyat Indonesia. ”Transisi ke energi bersih dan terbarukan harus diinisiasi dan dipimpin oleh pemerintah, bukan oleh pasar,” katanya.
Transisi ke energi bersih dan terbarukan harus diinisiasi dan dipimpin oleh pemerintah, bukan oleh pasar.
Pemerintah Indonesia, Tata melanjutkan, juga harus menerapkan tata kelola yang baik melalui transparansi dan pelibatan partisipasi semua pemangku kepentingan dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi mekanisme tersebut. Untuk itu, mekanisme transisi ini juga tidak menjadi bail out dan pencarian rente ekonomi baru bagi pengusaha PLTU batubara.
”Penentuan harga PLTU batubara dalam mekanisme ini harus dilakukan secara transparan sehingga mencegah kelebihan harga yang mengabaikan bahwa PLTU batubara terancam menjadi aset mangkrak dalam 10-15 tahun ke depan dan saat ini berada dalam kondisi kelebihan kapasitas,” katanya.
Selan itu, transisi ini juga harus memasukkan eksternalitas dan biaya pemulihan kerusakan dari operasi PLTU batubara. Mekanisme ini harus menyediakan pembiayaan yang memadai dan berkeadilan untuk pemulihan dampak kesehatan, ekonomi, dan sosial bagi warga terdampak. ”Transisi ini tidak boleh mengabaikan dampak merusak operasi PLTU yang telah dan akan terus terjadi hingga 2040,” katanya. (RAZ/AIK/RAM/AIN)