Derita Uighur di Balik Percepatan Energi Bersih AS
Rantai pasok industri energi terbarukan yang menggunakan panel surya amat bergantung pada Xinjiang. Sebanyak 54 persen kebutuhan polisilikon, bahan utama panel surya, global dipasok dari Xinjiang.
Oleh
kris mada
·4 menit baca
Keinginan menjaga masa depan Bumi mendorong penggunaan energi bersih, termasuk listrik dari tenaga surya, besar-besaran. Ironisnya, biaya produksi energi bisa ditekan, antara lain, karena penggunaan buruh murah dan batu bara secara masif di China. Padahal, para pendukung energi terbarukan bolak-balik menuding batu bara sebagai sumber energi paling kotor.
Badan Energi Internasional menyebutkan, hingga 80 persen pertambahan pembangkit listrik 2020-2030 bersumber dari energi terbarukan. Mayoritas dari 80 persen itu berasal dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).
Di Amerika Serikat (AS), sepanjang 2021 ditargetkan ada tambahan 15,4 gigawatt energi dari PLTS. Sepanjang 2020, AS menambah 11,7 GW dari PLTS. Pada proyek infrastruktur 2 triliun dollar AS yang dicanangkan Presiden AS Joe Biden, Washington ingin memacu penggunaan energi terbarukan dalam 14 tahun mendatang. Ambisi terbaru AS terkait energi terbarukan dicanangkan pada 5 Agustus 2021. Biden, misalnya, menargetkan, separuh mobil yang dijual di AS pada 2030 merupakan mobil listrik.
Sebelum itu Biden berulang kali menekankan pentingnya penggunaan energi terbarukan dan menekan emisi gas rumah kaca. Washington menempatkan PLTS sebagai tulang punggung untuk mencapai target itu. Pemasok panel untuk PLTS AS, antara lain, JinkoSolar. Panel surya buatan JinkoSolar tersebar di sejumlah negara bagian AS.
Dalam penyelidikan CNN dan penelitian sejumlah perguruan tinggi di Eropa, JinkoSolar diketahui sebagai salah satu pelanggan Daqo New Energy Corp. Selain JinkoSolar, klien Daqo, di antaranya LONGi Green Energy Technology, Trina Solar, dan JA Solar.
Bernreuter Research, lembaga pemantau industri, menyebut Daqo salah satu dari lima besar produsen global untuk bahan utama panel surya itu. Selain Daqo, ada tiga perusahaan China yang masuk daftar itu, yakni Tongwei, GCL-Poly, dan Xinte Energy. Selain perusahaan China, Weckner Chemie dari Jerman masuk daftar itu. Kecuali Tongwei, tiga perusahaan China di daftar itu punya pabrik di Xinjiang.
Dalam laporan Global Times, media yang dekat dengan Pemerintah China, terungkap bahwa Beijing menguasai hingga 80 persen pasar panel surya global. China juga menghasilkan hampir 500.000 polisilikon per tahun. Produksi itu setara 78 persen kebutuhan global.
Dari seluruh polisilikon China, 70 persen bahan bakunya ditambang di Xinjiang. Dengan kata lain, 54 persen kebutuhan polisilikon global dipasok dari daerah yang lekat dengan orang Uighur itu. Rantai pasok industri energi terbarukan yang menggunakan panel surya, menurut Bernreuter Research, amat bergantung pada China dan secara khusus pada Xinjiang.
Bernreuter Research menyebutkan, produksi polisilikon di Xinjiang dan seluruh China bisa murah karena energi di China murah. Selain nuklir dan gas bumi, China memanfaatkan batubara secara besar-besaran. Berbagai pihak rutin mengecam China karena terus menjadi konsumen terbesar batubara.
Dari 151 eksajoule listrik batubara yang dikonsumsi dunia pada 2020, 82 eksajoule dihabiskan di China. Setiap eksajoule setara dengan 34 juta ton barubara atau 163 juta barel minyak. Sebagian PLTU batubara China ada di Xinjiang.
Listrik dari PLTU batubara di Xinjiang dan sejumlah provinsi lain di China, antara lain, dipakai di pertambangan bahan baku dan pabrik polisilikon. Pabrik untuk pengolahan polisilikon, yang produk akhirnya termasuk panel surya, juga menggunakan listrik dari batubara.
Bukan hanya energi murah yang membantu industri panel surya sulit disaingi negara lain. CNN menuding, produsen terkait panel surya China mendapat subsidi besar dari pemerintah. Subsidi membuat mereka bisa membuat harga jual.
Daqo dan sejumlah perusahaan yang dituding menyangkal hal itu. Penggunaan teknologi baru membuat produksi panel surya semakin efisien di China. Bahan baku dimanfaatkan seoptimal mungkin. Pabrik di luar China belum sampai ke tahap itu.
Kunci daya saing lain adalah pekerja murah. Para periset di Helena Kennedy Centre for International Justice pada Sheffield Hallam University, Inggris, pernah mengeluarkan laporan soal penambangan bahan baku dan pabrik polisilikon di Xinjiang.
Dalam laporan itu terungkap, pekerja penambangan hanya dibayar 6,5 dollar AS untuk setiap ton silikon yang dihaluskan secara manual. Laporan terpisah dari Goldman Sachs menyebutkan, buruh murah menjadi kunci industri polisilikon China bisa menawarkan panel surya lebih murah dibandingkan dengan negara lain.
Buruh murah menjadi kunci industri polisilikon China bisa menawarkan panel surya lebih murah dibandingkan dengan negara lain.
HKCIJ dan Goldman Sachs sama-sama menyoroti penggunaan orang Uighur di berbagai penambangan bahan baku dan pabrik polisilikon China. Orang Uighur dinyatakan dijadikan pekerja paksa di berbagai lokasi itu.
China membantah tudingan itu, seperti halnya bantahan terhadap tuduhan lain terkait Xinjiang dan Uighur. Dalam pernyataan resminya kepada sejumlah media China dan luar China, Daqo mengakui punya fasilitas di Xinjiang. Namun, tidak sampai 50 orang dari 2.000 karyawan tercatat sebagai orang Uighur.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Hua Chunying, menyebut, tudingan itu sebagai dusta besar. ”Beberapa negara Barat dan kekuatan anti-China terus berusaha menuding ada kerja paksa di industri katun. Sekarang, mereka mengarahkan ke industri panel surya. Mereka mencoba membuat dusta untuk menekan industri dan perusahaan China demi kepentingan mereka mengacau Xinjiang dan menghambat kemajuan China,” tuturnya. (AFP/REUTERS)