Kebuntuan membayangi negosiasi resolusi akhir KTT tentang Perubahan Iklim. Banyak perbedaan pandangan dan kepentingan negara-negara peserta yang menghambat upaya penanganan perubahan iklim.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
Negosiasi dalam Konferensi Tingkat Tinggi Ke-26 tentang Perubahan Iklim atau COP 26 berlangsung hingga larut pada Jumat (12/11/2021), menjelang batas waktu acara berakhir. Pembicaraan alot terjadi di antara negara-negara peserta, meruncing pada perbedaan pandangan sekaligus kepentingan antara negara kaya dan miskin. Perbedaan itu mengacu pada tiga hal, yakni soal uang, tambang khususnya batubara, dan penentuan waktu.
Menteri Kehutanan dan Perubahan Iklim Gabon Lee White menyatakan, kebuntuan membayangi negosiasi. Ia mengungkapkan, negosiator Amerika Serikat (AS) dengan dukungan Uni Eropa (UE) terlihat berupaya menahan pembicaraan. Saat pembicaraan berlanjut mendekati tengah malam, negara-negara kaya dilaporkan memiliki pandangan yang jauh lebih optimistis.
Silang pendapat makin terbuka pada hari berikutnya. Menurut Mohamed Adow dari Power Shift Africa, negara-negara miskin sangat kecewa dengan kepresidenan Inggris dalam COP kali ini, khususnya soal proses pembuatan rancangan pernyataan akhir. Di mata negara-negara miskin, negosiasi yang terjadi adalah negosiasi dunia kalangan kaya. Adow mengatakan, negara-negara miskin tidak bisa menerima apa yang telah diusulkan.
Dana iklim adalah uang yang dijanjikan akan diberikan kepada negara-negara miskin dari sumber publik dan swasta negara kaya untuk membantu mengurangi emisi dan mengatasi dampak cuaca ekstrem. Dalam catatan Kompas, sesuai COP Copenhagen 2009, negara-negara miskin dijanjikan akan menerima 100 miliar dollar AS per tahun pada 2020. Namun, dana itu gagal dijalankan hingga saat ini. Menteri Lingkungan Kenya Keriako Tobiko mengatakan kepada para delegasi bahwa kegagalan untuk menghormati janji soal pendanaan sangat merusak kepercayaan. ”Untuk saya sendiri, untuk Kenya, kepercayaan kami telah hancur,” katanya.
Jangan sebut mereka negara donor. Mereka pencemar. Mereka berutang uang ini.
Rancangan pernyataan yang diterima para anggota delegasi pada Jumat pagi memang membuat berang negara-negara miskin. Negara-negara kaya menyatakan ”penyesalan mendalam” bahwa dana 100 miliar dollar AS itu belum terpenuhi. Negara-negara miskin mengatakan penyesalan saja tidak cukup. ”Jangan sebut mereka negara donor. Mereka pencemar. Mereka berutang uang ini,” kata Saleemul Huq, pakar ilmu iklim dan kebijakan yang merupakan Direktur Pusat Internasional untuk Perubahan Iklim dan Pembangunan di Bangladesh.
Rancangan tersebut juga mengusulkan pembentukan pos dana kerugian dan kerusakan. Tujuannya untuk membantu negara-negara miskin memanfaatkan sumber bantuan ketika mereka menghadapi dampak perubahan iklim yang menghancurkan. Namun, negara-negara kaya, seperti AS, menentang kewajiban hukum untuk memberikan kompensasi kepada negara-negara miskin itu. Padahal, semua tahu negara-negara kaya secara historis menjadi sumber terbesar emisi gas rumah kaca yang disebabkan aktivitas manusia.
Lebih lunak
Selain itu, rancangan resolusi juga meminta negara-negara mempercepat penghapusan pembangkit listrik bertenaga batubara dan penghentian subsidi yang tidak efisien untuk bahan bakar fosil. Rancangan resolusi akhir lebih lunak kalimatnya dari rancangan sebelumnya yang muncul pada Rabu (10/11). Dalam rancangan Rabu, muncul seruan negara-negara mempercepat penghapusan bertahap sumber energi batubara dan penghentian subsidi untuk bahan bakar fosil.
Utusan Khusus AS untuk Urusan Iklim John Kerry mendukung rancangan resolusi yang paling baru. ”Kami tidak berbicara tentang menghilangkan ’batubara’,” katanya kepada sesama diplomat untuk urusan iklim. Namun, dia menambahkan, subsidi itu harus dihilangkan. Menurut Kerry, dana triliunan dollar AS yang dihabiskan untuk menyubsidi bahan bakar fosil di seluruh dunia sebagai sesuatu di luar nalar dan sia-sia.
Para ilmuwan setuju perlunya mengakhiri penggunaan bahan bakar fosil sesegera mungkin. Hal itu untuk memenuhi tujuan ambisius Kesepakatan Iklim Paris 2015 terkait pembatasan kenaikan suhu Bumi pada 1,5 derajat celsius. Namun, secara eksplisit memasukkan seruan seperti itu dalam deklarasi dirasa sensitif secara politik, termasuk untuk negara-negara seperti Arab Saudi, yang khawatir minyak dan gas akan menjadi sasaran berikutnya. Negara-negara seperti Australia dan India, penghasil emisi terbesar ketiga di dunia, juga telah menolak seruan menghentikan penggunaan batubara dalam waktu dekat.
Isu lain dari rancangan pernyataan yang muncul pada Jumat pagi adalah kekhawatiran negara-negara harus kembali lagi dengan target pengurangan emisi baru. Target baru ini seharusnya mereka ajukan sebelum KTT di Glasgow. Karena janji itu tidak cukup, rancangan tersebut meminta negara-negara mengajukan target lain yang lebih keras pada akhir 2022. Namun, menurut informasi yang diperoleh David Waskow dari World Resources Institute, sejumlah negara, seperti Arab Saudi, menolak keras hal itu. Mantan negosiator Uni Eropa, Kelley Kizzier, mengatakan, perdebatan tentang apakah target emisi harus diperbarui setiap 5 atau 10 tahun muncul dalam KTT Paris 2015. Maka, target yang harus diumumkan setahun lagi adalah masalah besar.
Naskah resolusi terbaru menyebutkan target penurunan emisi disesuaikan dengan kemampuan setiap negara. Ada negara yang bisa melakukannya secara drastis, ada pula yang butuh waktu lebih lama dan metode bertahap. Perbedaan paling mencolok terkait penggunaan energi fosil. Sebelumnya, naskah resolusi meminta agar pada 2030 tidak ada lagi pemakaian energi fosil, terutama batubara. Pada naskah baru tertulis penghentian pemakaian energi fosil yang tidak disertai teknologi berkelanjutan.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres mengatakan, resolusi yang dihasilkan dalam COP 26 mampu menjembatani capaian target penurunan suhu Bumi. Namun, ia mengingatkan mitigasi atas bencana perubahan iklim bisa tidak maksimal dan membuat warga dunia makin terengah-engah. Saat suhu Bumi semakin naik, kerusakan alam yang terjadi tidak akan bisa diperbaiki karena gletser-gletser meleleh dan suhu laut meningkat. Kepunahan keanekaragaman hayati mengakibatkan krisis pangan, tempat tinggal, dan kepunahan manusia itu sendiri. (AP/AFP/REUTERS)