COP 26, Harapan Terakhir untuk Menyelamatkan Kehidupan
Para pemimpin negara di dunia diharapkan tidak kembali melewatkan peluang membentuk respons global terhadap krisis iklim di COP 26 Glasgow tahun ini.

Seorang aktivis memegang poster terkait penyelenggaraan COP 26 dalam sebuah aksi damai yang digelar di dekat tempat penyelenggaraan konferensi perubahan iklim dunia di Glasgow, Skotlandia, Sabtu (30/10/2021).
Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (COP) 26 di Glasgow, Skotlandia, menjadi harapan terakhir untuk menjaga asa membatasi pemanasan global tidak lebih 1,5 derajat celsius. Kegagalan menekan laju memanasnya bumi bakal membawa bencana besar bagi kemanusiaan, bahkan mengancam keberlangsungan hidup spesies kita.
Pertemuan yang akan berlangsung hingga 12 November mendatang ini dibuka dengan laporan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) pada Minggu (31/10/2021) yang menyatakan bahwa suhu bumi dari tahun 2015 hingga 2021 berada di jalur menuju tujuh rekor terpanas dalam sejarah.
Kenaikan permukaan laut global juga dipercepat sejak tahun 2013 hingga mencapai titik tertinggi baru pada tahun 2021, disertai berlanjutnya pemanasan dan pengasaman laut.
Suhu rata-rata global tahun 2021, berdasarkan data Januari hingga September, telah mencapai sekitar 1,09 derajat celsius di atas rata-rata tahun 1850-1900. Sementara rata-rata kenaikan muka air laut global adalah 2,1 mm per tahun antara 1993 dan 2002, lalu menjadi 4,4 mm per tahun antara 2013 dan 2021, meningkat dua kali lipat di antara periode tersebut. Ini sebagian besar disebabkan oleh hilangnya massa es di kutub yang dipercepat oleh melelehnya gletser dan lapisan es lautan.
Para ilmuwan telah menunjukkan fakta jelas. Sekarang para pemimpin harus bertindak. Kita harus bertindak sekarang—dengan ambisi dan solidaritas—untuk menjaga masa depan kita dan menyelamatkan umat manusia
Sederet fenomena cuaca ekstrem juga terjadi sepanjang 2021. ”Hujan—bukannya turun salju—untuk pertama kalinya tercatat di puncak lapisan es Greenland. Gletser Kanada mengalami pencairan yang cepat. Gelombang panas di Kanada dan bagian-bagian yang berdekatan di AS mendorong suhu hingga hampir 50 derajat celsius di sebuah desa di British Columbia. Suhu di Death Valley, California, mencapai 54,4 derajat celsius, sementara banyak bagian Mediterania mengalami rekor suhu. Panas yang luar biasa sering disertai dengan kebakaran yang dahsyat,” kata Sekretaris Jenderal WMO Petteri Taalas saat meluncurkan laporan ini.
Pada titik sebaliknya, kondisi dingin yang tidak normal memengaruhi banyak bagian AS bagian tengah dan Meksiko utara pada pertengahan Februari. Dampak paling parah terjadi di Texas yang umumnya mengalami suhu terendah setidaknya sejak 1989.
Baca juga: Suhu Benua Asia Terpanas di Tahun 2020, Penurunan Emisi Mendesak Dilakukan
Sementara itu, di Asia, curah hujan selama berbulan-bulan turun dalam hitungan jam di China dan beberapa bagian Eropa mengalami banjir parah yang merenggut puluhan korban jiwa dan miliaran kerugian ekonomi. ”Tahun kedua berturut-turut kekeringan di subtropis Amerika Selatan mengurangi aliran sungai besar dan memukul pertanian, transportasi, dan produksi energi,” kata Taalas.
Dia mengingatkan, kejadian ekstrem telah menjadi norma baru saat ini. ”Ada banyak bukti ilmiah bahwa beberapa kejadian ini karena jejak perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia,” sebut Taalas.
Deretan fenomena itu yang diikuti bencana menampilkan secara vulgar bahwa Bumi kita semakin tidak ramah bagi kehidupan.

Orang-orang menyegarkan diri dengan kipas angin yang menyemprotkan air di Colosseum, Kota Roma, Italia. Gelombang panas di sejumlah kota di Italia diperkirakan akan berlangsung hingga akhir pekan depan dengan suhu lebih dari 40 derajat celsius.
Urgensi COP 26
”Laporan WMO State of the Global Climate 2021 ini diambil dari bukti ilmiah terbaru untuk menunjukkan bagaimana planet kita telah berubah di depan mata kita: dari kedalaman laut hingga puncak gunung, dari gletser yang mencair hingga peristiwa cuaca ekstrem yang tak henti-hentinya, ekosistem dan komunitas di seluruh dunia sedang hancur,” tutur Sekretaris Jenderal PBB António Guterres melalui pernyataan video menyambut laporan ini.
Dengan situasi ini, Guterres berharap, COP 26 harus menjadi titik balik bagi manusia dan planet ini. ”Para ilmuwan telah menunjukkan fakta jelas. Sekarang para pemimpin harus bertindak. Kita harus bertindak sekarang—dengan ambisi dan solidaritas—untuk menjaga masa depan kita dan menyelamatkan umat manusia,” tuturnya.
Melalui tayangan daring, suara Guterres terdengar lebih parau dibandingkan dengan saat menutup COP 25 di Madrid, Spanyol, Sabtu (14/12/2019). Dua tahun silam, Guterres telah menyampaikan kekecewaannya atas hasil puncak pertemuan iklim yang dianggap melewatkan peluang mengatasi pemanasan global. ”Saya kecewa dengan hasil COP 25. Komunitas internasional kehilangan kesempatan penting menunjukkan peningkatan ambisi pada mitigasi, adaptasi, dan keuangan mengatasi krisis iklim,” ujarnya (Kompas, 16/12/2021).
Negosiasi iklim di Madrid memang gagal menghasilkan langkah signifikan. Draf akhir yang dibuat hanya mendukung deklarasi ”kebutuhan mendesak” menutup kesenjangan janji emisi dan tujuan penurunan suhu sesuai Kesepakatan Paris 2015 tanpa kejelasan mekanisme dan pendanaan. Dalam sidang penutupan, perwakilan negara-negara besar, menolak meningkatkan upaya memerangi pemanasan global.
Padahal, Kesepakatan Paris telah menetapkan tujuan bersama menghindari kenaikan suhu lebih dari 1,5 derajat celsius akhir abad ini. Saat ini dunia ada di jalur menuju kenaikan 3-4 derajat celsius akhir abad ini sehingga ancaman kenaikan permukaan laut dan badai meningkat. Jadi, pertemuan iklim di Madrid awalnya diharapkan menaikkan target global menekan emisi demi mencegah kenaikan suhu di atas 3 derajat celsius.

Perairan yang berpotensi terdampak kenaikan muka laut ektsrem akibat pemanasan global. Indonesia termasuk paling rentan.
Sejumlah negara memang meningkatkan target untuk mengurangi emisi (NDC) pada tahun 2020–2021. Namun, menurut laporan Climate Action Tracker (CAT), peningkatan target itu tidak signifikan, hanya mempersempit kesenjangan emisi yang dibutuhkan untuk menjaga kenaikan suhu 1,5 derajat celsius sekitar 4 GtCO2e atau hingga 15 persen.
Hal ini karena mayoritas negara emiter terbesar G-20, yang mencakup 19 negara, termasuk Indonesia, dan Uni Eropa dan membentuk lebih dari 80 persen dari PDB dunia dan 60 persen dari populasi global, telah gagal memenuhi kewajiban mereka, menurut analisis tersebut.
Baca juga: Tak Maksimal di KTT G-20, Isu Iklim Jadi Beban Berat di COP 26
Hanya negara kecil di Afrika, Gambia, yang memiliki rencana penurunan emisi ”sesuai” dengan Perjanjian Paris, sedangkan Inggris adalah satu-satunya negara G-20 di antara mereka yang memiliki rencana ”hampir cukup”. Kesimpulan CAT ini diambil berdasarkan target mitigasi negara, kebijakan, dan aksi iklim.
”Sementara orang-orang menderita akibat dampak perubahan iklim yang semakin parah dan sering terjadi di seluruh dunia dan IPCC sekali lagi dengan jelas menunjukkan kelayakan dan urgensi mitigasi perubahan iklim, tindakan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca terus tertinggal dari apa yang dibutuhkan–di hampir semua negara dan sektor,” kata laporan itu.
Sekalipun kesenjangan antara target dan tindakan ini masih sangat jauh, Presiden COP 26 Alok Sharma, dalam sambutan pembukaan mengingatkan, negosiasi iklim kali ini adalah ”harapan terakhir dan terbaik” untuk mempertahankan tujuan membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celsius.

Seorang partisipan berjalan melewati poster COP 26 di hari pertama konferensi perubahan iklim itu digelar di Glasgow, Skotlandia, Minggu (31/10/2021).
Selama hampir tiga dekade, pemerintah di dunia telah bertemu hampir setiap tahun untuk membentuk respons global terhadap darurat iklim. Di bawah Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) 1992, setiap negara di bumi terikat pada perjanjian untuk ”menghindari perubahan iklim yang berbahaya” dan menemukan cara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca secara global dengan cara yang adil. Tahun ini adalah iterasi ke-26, ditunda setahun karena pandemi Covid-19.
COP 26 kali ini memang sangat genting karena negosiasi sebelumnya menyisakan banyak detail penting yang harus diselesaikan. Selain komitmen bersama menurunkan emisi, bagian krusial dari negosiasi kali ini termasuk pendanaan iklim, penghapusan batu bara secara bertahap, dan solusi berbasis alam.
Baca juga: Hasil KTT Iklim Glasgow Dinilai Sulit Samai Kesepakatan Paris 2015
Pendanaan iklim adalah uang yang dijanjikan akan diberikan kepada negara-negara miskin dari sumber publik dan swasta negara kaya untuk membantu mereka mengurangi emisi dan mengatasi dampak cuaca ekstrem. Sesuai COP Kopenhagen pada 2009, negara-negara miskin dijanjikan akan menerima 100 miliar per tahun pada tahun 2020, tetapi gagal dijalankan.
Selain itu, dalam COP 26 kali ini, negara-negara juga bakal mencari solusi atas mandeknya isu perdagangan karbon yang pertama kali diperkenalkan pada pembicaraan dalam Protokol Kyoto tahun 1997. Perdagangan karbon juga termasuk dalam Pasal 6 Kesepakatan Paris, tetapi konflik tentang bagaimana menerapkannya tidak pernah terselesaikan.
Akankah COP 26 kali ini memberi kabar baik atau sebaliknya mengulang deretan kebuntuan?