Hasil KTT Iklim Glasgow Dinilai Sulit Samai Kesepakatan Paris 2015
KTT Iklim 31 Oktober-12 November di Glasgow, Skotlandia, menjadi tumpuan harapan dunia untuk memastikan komitmen negara-negara dalam menghindari bencana iklim. Namun, ragam kepentingan jadi tantangannya.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·3 menit baca
LONDON, MINGGU — Hasil Konferensi Tingkat Tinggi Iklim ke-26 atau COP26 mendatang diperkirakan sulit untuk menyamai bobot hasil yang diraih pada Kesepakatan Paris di 2015. Di tengah silang pendapat negara-negara atas perubahan iklim global dan cara meresponsnya, sejumlah pemimpin negara adidaya memilih tidak akan menghadiri forum penting itu.
Pertemuan yang akan digelar pada 31 Oktober-12 November di Glasgow, Skotlandia, adalah konferensi iklim terbesar sejak KTT Paris. Konferensi itu dipandang penting dalam menetapkan target emisi di seluruh dunia untuk memperlambat pemanasan global. Lebih dari 120 pemimpin dunia dan sekitar 25.000 delegasi diharapkan hadir di Glasgow. Namun, dua pemimpin negara besar, yakni Presiden China Xi Jinping dan Presiden Rusia Vladimir Putin, telah menyatakan diri tidak akan hadir dalam forum itu.
Menteri Strategi Bisnis Energi dan Industri Inggris Alok Sharma, yang bertindak sebagai Presiden COP26, seperti dikutip salah satu media Inggris, The Guardian, mengatakan, adalah tugas yang sangat menantang untuk membuat hampir 200 negara di dunia berkomitmen pada target emisi untuk membatasi kenaikan suhu global hingga kurang dari 1,5 derajat di atas tingkat pra-industri.
”Apa yang kami coba lakukan di Glasgow sebenarnya sangat sulit. Hal yang mereka lakukan di Paris itu brilian. Namun, banyak aturan rinci yang tersisa di masa depan. Ini seperti saat kita mengikuti tes di kelas. Masih ada pertanyaan paling sulit tersisa saat waktu telah habis. Ini jelas lebih sulit dibandingkan di Paris di banyak level,” kata Sharma.
Kesepakatan Paris adalah respons kolektif global yang mulai berlaku pada 4 November 2016. Kesepakatan itu berisi komitmen negara-negara secara global untuk mengurangi emisi karbon. Lewat kesepakatan itu, 197 negara setuju untuk membatasi kenaikan suhu bumi di bawah 2 derajat celsius dari era sebelum Revolusi Industri.
Namun, ada sejumlah hal detail yang masih menggantung dalam kesepakatan itu. Kontribusi yang ditentukan secara nasional (NDC) oleh masing-masing negara dalam mengimplementasikan kesepakatan itu, misalnya, dianggap tidak memadai. Oleh sebab itu, penguatan komitmen atas rencana itu menjadi bagian penting dari negosiasi bersama di Glasgow.
”Apa yang kemungkinan besar akan kami sampaikan kepada negara-negara adalah bahwa jika NDC Anda tidak cukup baik. Anda harus kembali ke meja perundingan,” kata Sharma.
Salah satu negara yang dirujuk Sharma adalah China. Saat ini, China merupakan salah satu negara penghasil emisi terbesar di dunia. Menurut Sharma, hubungan China yang relatif bergejolak dengan negara-negara Barat menjadi hambatan guna mencapai kesepakatan. Sharma pun mendesak China mempresentasikan komitmennya.
”Mereka menandatangani komunike pada Juli yang kami negosiasikan di Naples, yakni bahwa semua negara anggota G-20 akan menghasilkan NDC yang ditingkatkan sebelum COP. Saya mengingatkan mereka untuk mewujudkan hal itu,” katanya.
Dari Beijing sebagaimana dilaporkan media Pemerintah China pada Minggu (24/10), Pemerintah China mematok target energi bersih yang ambisius. Presiden Jinping berjanji mencapai target puncak emisi karbon pada 2030 dan mencapai kondisi netral karbon 30 tahun kemudian atau 2060.
China dikritik karena mendorong pembukaan lusinan pembangkit listrik tenaga batubara baru. Beijing juga berupaya meningkatkan produksi batubara menyusul lonjakan harga dan menipisnya pasokan batubara dalam beberapa pekan terakhir. Kurangnya pasokan energi menjadi penyebab pemadaman listrik di negara itu baru-baru ini.
Lewat sasaran ambisiusnya itu, China menargetkan emisi karbon per unit produk domestik bruto (PDB) akan turun lebih dari 65 persen dari posisi di 2005. Adapun total kapasitas terpasang listrik dari sumber tenaga angin dan surya ditargetkan mencapai lebih dari 1.200 gigawatt.
Pedoman tersebut juga menegaskan kembali target emisi karbon per unit PDB sebelumnya, yakni turun 18 persen pada 2025 dari standar di 2020. Pihak berwenang China juga akan mengubah struktur industri dengan cara membatasi proyek-proyek dengan konsumsi energi dan emisi yang tinggi. Skala kapasitas produksi minyak dan gas berbasis batubara negara itu juga akan dikendalikan secara wajar sambil menyerukan pengembangan industri yang rendah karbon. (AP/AFP/REUTERS)