Suhu Benua Asia Terpanas di Tahun 2020, Penurunan Emisi Mendesak Dilakukan
Krisis iklim mendera Benua Asia. Suhu udara meningkat dan memicu beragam bencana. Perlu upaya serius menahan peningkatan emisi.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
GENEVA, SELASA — Organisasi Meteorologi Dunia atau WMO yang berada di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan laporan berjudul ”Keadaan Iklim di Asia” secara daring pada Selasa (26/10/2021). Terungkap bahwa tahun 2020 merupakan tahun terpanas di Benua Asia. ”Gambaran” kawasan itu tampak makin buruk apabila ditambah dengan berbagai fenomena cuaca esktrem yang berakibat kepada bencana alam, kehilangan tempat tinggal, kekurangan gizi, dan kemiskinan akibat krisis iklim.
”Tidak satu pun wilayah di Benua Asia yang tidak terdampak krisis iklim dan suhu terpanas ini. Kerusakan lingkungan, ancaman ketahanan air dan pangan, serta peningkatan risiko kesehatan sudah di depan mata,” kata Direktur WMO Petteri Taalas.
Kajian WMO mengatakan bahwa suhu di Benua Asia meningkat 1,39 derajat celsius apabila dibandingkan dengan periode 1991-2010. Sebagai gambaran, wilayah Lingkar Arktika di Verkhoyansk, Rusia, pada 2020 suhunya mencapai 38 derajat celsius.
Panasnya suhu meningkatkan kelembaban yang membuat terbentuknya awan-awan hujan. Akibatnya, muncul hujan deras, bahkan badai yang mengakibatkan banjir. Tercatat sepanjang tahun 2020 ada 50 juta penduduk Asia terkena banjir dengan korban tewas 5.000 orang.
Salah satu contoh banjir besar di tahun lalu ialah akibat topan Ampan yang terjadi di India dan Bangladesh pada Mei 2020. Sebanyak 2,3 juta penduduk India dan 2,5 juta warga Bangladesh terpaksa mengungsi. Ini mendatangkan masalah baru, seperti kekurangan gizi akibat minimnya pangan layak, ketiadaan hunian bersih dan sehat, serta masalah sosial akibat eksodus manusia besar-besaran.
Walaupun demikian, WMO mencatat bahwa kejadian pada 2020 secara statistik lebih baik dibandingkan satu dekade lalu. Setidaknya 20 tahun lalu, sebanyak 158 juta penduduk Benua Asia terkena banjir dan total korban jiwa ada 15.500 orang.
Negara-negara Asia sudah banyak yang mulai menerapkan sistem peringatan dini sehingga membantu mengurangi korban jiwa dan materi. Akan tetapi, peringatan dini adalah penanganan rekatif, bukan menyelesaikan akar permasalahan, yaitu masalah emisi.
Kekurangan gizi juga merupakan salah satu akibat dari krisis iklim. Laporan WMO mengatakan bahwa kasus malnutrisi di Asia Tenggara naik 6 persen menjadi 48,8 juta orang dan di Asia Selatan naik 20 persen menjadi 305,7 juta orang.
Tidak hanya itu, negara-negara juga mengalami kerugian yang signifikan. China mengalami kerugian terbesar, yaitu 238 miliar dollar AS. Jumlah ini diikuti oleh India (87 miliar dollar AS), Jepang (83 miliar dollar AS), dan Korea Selatan (24 miliar dollar AS). Kerugian juga bisa dihitung dengan cara membandingkan rata-rata per tahun dengan pendapatan domestik bruto (PDB). Misalnya, Tajikistan mengalami kerugian 7,9 persen dari PDB dan Kamboja rugi 5,9 persen dari PDB.
Taalas mengingatkan bahwa kerugian ini akan terus bertambah mengingat pemanasan global akan mengakibatkan lelehan gletser. Benua Asia memiliki gletser yang berada di Pegunungan Himalaya dengan luas 100.000 kilometer persegi. Jika tidak ada tindakan menurunkan suhu bumi secara signifikan, pada 2050 sebanyak 20-40 persen dari gletser ini akan meleleh dan 750 juta penduduk Asia merasakan dampak langsung.
Perlu kebijakan yang jelas dan tegas bagi negara-negara Asia untuk menurunkan emisi masing-masing. Berdasarkan data lembaga swadaya masyarakat Carbon Tracker, 80 persen emisi akibat batubara global berasal dari China, India, Vietnam, Jepang, dan Indonesia. Indonesia, misalnya, telah mendeklarasikan akan menurunkan 26 persen emisi atas upaya sendiri dan 41 persen dengan bantuan dunia internasional.
Namun, deklarasi ini masih bersifat ambigu. Salah satu contohnya yang terjadi di Vietnam. Negara ini mengatakan hendak menurunkan 9 persen emisi atas upaya sendiri dan 26 persen dengan campur tangan internasional. Kenyataannya, Pemerintah Vietnam telah mengesahkan rencana peningkatan listrik bertenaga batubara hingga tahun 2030.
Setengah dari listrik di Vietnam disuplai pembangkit listrik bertenaga batubara. Berkat batubara pula ekonomi Vietnam bisa melonjak drastis. PDB mereka di tahun 2020 mencapai 271 miliar dollar AS atau 43 kali lipat PDB di tahun 1990. Listrik bertenaga batubara ini memungkinkan Vietnam membangun berbagai pabrik yang menarik investor asing.
”Penanam modal di pembangkit listrik bertenaga batubara ini banyak dari Jepang, Korea Selatan, bahkan AS. Negara-negara maju yang telah lama menggaungkan dekarbonisasi. Masyarakat harus bisa mendorong agar investor beralih menanam modal ke pembangkit listrik bertenaga energi terbarukan yang sekarang baru 12 persen dari penghasil listrik nasional,” kata Tran Dinh Sinh yang menjabat sebagai Wakil Direktur GreenID, sebuah LSM lingkungan yang berbasis di Hanoi, kepada harian South China Morning Post.
Secara kawasan, Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) mengumumkan pada Pekan Energi Internasional Singapura bahwa akan mengembangkan pembangkit listrik bersama yang bersumber dari energi bersih. Sekretaris Jenderal ASEAN Lim Jock Hoi mengatakan, ini merupakan bagian dari program ketahanan energi kawasan. Niat pembangkit listrik bersama ini sebenarnya sudah diutarakan sejak tahun 1999.
Menurut Lim, uji coba akan dimulai pada 2022. Tahap awal ialah integrasi listrik bersih Malaysia, Singapura, Thailand, dan Laos. Targetnya, per tahun 2025 sebanyak 23 persen listrik di ASEAN dihasilkan oleh sumber-sumber terbarukan, seperti angin, ombak, dan sinar matahari. Butuh investasi sebesar 367 miliar dollar AS untuk mewujudkannya. (AFP/REUTERS)