Naskah Resolusi COP 26 Berubah, Dinilai Kurang Tegas
Dengan resolusi yang sekarang, target penurunan suhu Bumi tetap bisa tercapai. Namun, upayanya akan membuat penduduk dunia terengah-engah.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
AP/NATACHA PISARENKO
Hamparan es yang membentuk berbagai formasi pada gletser Perito Moreno dengan latar belakang pegunungan di Taman Nasional Los Glaciares, Argentina, Senin (1/11/2021). KTT Perubahan Iklim dalam dua minggu ini membahas isu pemanasan global.
GLASGOW, JUMAT — Hasil Konferensi Tingkat Tinggi Ke-26 tentang Perubahan Iklim (COP 26) yang diadakan di Glasgow, Skotlandia, telah keluar pada Jumat (12/11/2021). Intinya masih sama, tetapi beberapa kalimat berubah menjadi lebih lunak sehingga dikhawatirkan penerapan di tiap-tiap negara tidak tercapai.
Sebelumnya, naskah resolusi COP 26 mewajibkan semua negara untuk berkomitmen menurunkan emisi demi mencapai target dekarbonisasi pada 2050. Negara-negara kaya juga didorong menargetkan pada tahun 2030 sudah tidak lagi memakai energi fosil dan mengganti kendaraan bermotor dengan bertenaga listrik atau energi ramah lingkungan lainnya.
Naskah resolusi terbaru menyebutkan bahwa target penurunan emisi disesuaikan dengan kemampuan setiap negara. Ada negara yang bisa melakukannya secara drastis, ada pula yang butuh waktu lebih lama dan metode bertahap. Perbedaan paling mencolok terkait penggunaan energi fosil. Sebelumnya, naskah resolusi meminta agar per tahun 2030 tidak ada lagi pemakaian energi fosil, terutama batubara. Pada naskah baru tertulis penghentian pemakaian energi fosil yang tidak disertai teknologi berkelanjutan.
Contoh teknologi berkelanjutan ini ialah penangkapan dan penyimpanan karbon. Negara-negara penghasil dan pemakai energi karbon terbesar dunia, seperti Arab Saudi yang merupakan penghasil minyak nomor satu, berusaha melobi COP 26 agar bisa terus memproduksi minyak. Mereka berjanji menerapkan teknologi penangkapan karbon guna menurunkan emisi selama produksi. Artinya, pemakaian batubara, minyak, dan gas diperbolehkan selama setiap negara dan perusahaan menggunakan teknologi yang meminimalisasi pencemaran serta pelepasan emisi ke atmosfer.
”Semua ini masih sesuai dengan target kita di Kesepakatan Paris tahun 2015, yaitu menurunkan suhu Bumi sebanyak 1,5-2 derajat celsius selama lima tahun ke depan,” kata Presiden COP Alok Sharma.
Spanduk bernada protes terlihat di sebuah bangunan di Glasgow, Skotlandia, 5 November 2021, saat berlangsung KTT Ke-26 tentang Perubahan Iklim (COP 26).
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres mengatakan, dengan resolusi ini, target penurunan suhu Bumi mungkin bisa dicapai. Akan tetapi, upayanya akan membuat Bumi dan penduduknya terengah-engah karena mitigasi bencana yang dilakukan tidak maksimal. Apabila suhu Bumi meningkat, kerusakan alam yang terjadi tidak akan bisa diperbaiki karena gletser-gletser meleleh, suhu laut meningkat, dan terjadi kepunahan keanekaragaman hayati yang mengakibatkan krisis pangan dan tempat tinggal.
”Ini bukan kemajuan namanya. Apalagi, negara-negara maju belum juga memenuhi janji mereka menyumbang 100 miliar dollar AS untuk membantu percepatan teknologi dan program dekarbonisasi di negara-negara miskin,” kata pegiat lingkungan dari Uganda, Vanessa Nakate.
Dalam Kesepakatan Paris 2015, negara-negara maju berkomitmen memberi 100 miliar dollar AS kepada negara-negara berkembang dan miskin pada tahun 2020. Akan tetapi, setelah itu mereka mengumumkan dana itu tidak akan bisa turun sebelum tahun 2023.
Selain itu, konsep pemberian dana dipahami negara maju seperti memberi hadiah, yaitu negara berkembang atau miskin harus berhasil dulu menurunkan emisi, baru diberi dana. Padahal, semestinya negara maju terlibat mengembangkan program dan berinvestasi di teknologi pengurangan emisi. Apalagi, negara-negara berkembang dan miskin menjadi lokasi pabrik-pabrik yang dimodali negara maju.
Berharap ke perkotaan
Kompas/Wawan H Prabowo
Para jurnalis menjajal bus listrik Transjakarta X Higer Berpelanggan dari Terminal Blok M menuju Balai Kota DKI Jakarta, Jumat (17/9/2021). PT Transportasi Jakarta mengajak masyarakat untuk menguji bus listrik Transjakarta X Higer Berpelanggan dengan rute Blok M-Balai Kota DKI Jakarta.
Meskipun dari segi kebijakan nasional dan internasional mengecewakan, dunia jangan patah arang dulu. Majalah Time melaporkan, mulai banyak kota yang mengambil langkah lebih maju daripada pemerintah pusat. Misalnya, kota London (Inggris), Paris (Perancis), dan Bogota (Kolombia) yang selama pandemi mulai mengurangi jumlah kendaraan bermotor di jalanan.
Wali Kota Austin, Negara Bagian Texas, AS, Steve Adler, mengungkapkan, sebanyak 46 persen listrik di kotanya sudah dihasilkan oleh energi panas matahari. Ini dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan capaian nasional AS yang baru 21 persen listriknya dari tenaga surya.
”Kami juga mengarahkan investasi kepada angkutan umum listrik supaya warga semakin jarang memakai kendaraan pribadi,” ucapnya.
Sementara itu, dilansir dari media PBS, pemerintah ibu kota Finlandia, Helsinki, mengeluarkan aturan agar semua acara jamuan makan, baik oleh pemerintah maupun swasta, tidak mengandung menu daging. Hal ini karena daging merah harus diimpor. Guna mengurangi jejak karbon, pemerintah kota menganjurkan restoran dan hotel memperbanyak menu sayuran dan ikan yang diproduksi secara lokal. (AFP/AP)
