Inggris Ajak RI Lebih Ambisius Pangkas Penyebab Perubahan Iklim
Tanpa bantuan negara maju, negara-negara berkembang dan miskin tak punya pilihan selain mengandalkan sumber energi fosil. Dunia mencatat, negara maju belum memenuhi komitmen pendanaan 100 miliar dollar AS per tahun.
Oleh
kris mada
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Inggris mengajak Indonesia menetapkan komitmen lebih ambisius dalam memangkas penyebab perubahan iklim. Indonesia berperan penting dalam upaya global untuk pengendalian penyebab perubahan iklim.
Duta Besar Inggris untuk Indonesia Owen Jenkins mengatakan, Indonesia penting terutama karena sumber daya alam, status internasional, dan ukurannya. Di sisi lain, Indonesia termasuk yang rentan terdampak perubahan iklim. ”Saya mendorong Indonesia untuk seambisius mungkin di COP ini untuk menyelamatkan planet kita,” ujarnya, Kamis (28/10/ 2021), di Jakarta.
Inggris akan menjadi tuan rumah Konferensi Para Pihak (COP 26) dalam isu iklim pada 1-12 November 2021. COP 26 adalah kesempatan penting bagi komunitas internasional untuk bersepakat menetapkan waktu setiap negara dalam memangkas emisi karbon. Pelepasan karbon menjadi penyebab utama perubahan iklim. Suhu ekstrem, bencana yang lebih kerap, dan daratan yang menyusut akibat kenaikan permukaan air hanya sebagian dari dampak perubahan iklim.
Jenkins mengatakan, komunitas internasional juga perlu bersepakat soal pendanaan untuk mengendalikan penyebab perubahan iklim. Dalam lima tahun ke depan, Inggris menjanjikan 11,8 miliar pound sterling untuk keperluan itu. Setiap tahun, butuh rata-rata 100 miliar dollar AS untuk menekan penyebab perubahan iklim.
Dana itu terutama dipakai untuk membantu negara berkembang mengalihkan sumber energinya. Meski harga energi terbarukan semakin terjangkau, butuh biaya besar untuk peralihan dari energi fosil ke energi terbarukan. Sebab, pembangkit listrik dan aneka benda pengguna energi fosil harus dihentikan penggunaannya. Padahal, pembangkit listrik tenaga fosil menghasilkan lebih dari separuh kebutuhan energi di banyak negara.
Kompensasi
Butuh pula biaya besar untuk merawat hutan dan menanam kembali areal hutan. Meski ada kemajuan teknologi, peran hutan sebagai penyerap emisi karbon tetap penting. Karena itu, negara-negara pemilik hutan menuntut negara-negara industri memberi kompensasi kepada mereka. Sebab, negara-negara pemilik hutan kehilangan kesempatan ekonomi gara-gara tuntutan dunia agar luas hutan mereka tidak dikurangi.
Tuntutan kompensasi itu, antara lain, diajukan Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup India Rameshwar Prasad Gupta. Ia menggugat balik negara maju yang terus meminta negara berkembang dan miskin untuk mengurangi emisi. Padahal, selama ratusan tahun sejak Revolusi Industri abad ke-19, negara maju menghasilkan emisi yang memicu perubahan iklim sekarang.
Negara-negara berkembang dan miskin paling terdampak oleh perubahan iklim. Selain lebih kerap dilanda aneka bencana, negara-negara berkembang juga ditekan untuk tidak memanfaatkan sumber daya alam mereka karena alasan lingkungan. Hal itu menyulitkan negara berkembang meningkatkan kesejahteraan.
Gupta mengatakan, negara-negara maju harus membayar kompensasi dan ganti rugi kepada negara berkembang dan miskin. Ganti rugi itu untuk aneka bencana terkait perubahan iklim. Adapun kompensasi diberikan untuk transisi energi dan kesempatan ekonomi yang hilang karena sumber daya alam tidak bisa dimanfaatkan demi alasan lingkungan.
Gupta menyebut, sampai sekarang India tidak melihat komitmen negara maju. Salah satu indikasinya adalah kebutuhan 100 miliar dollar AS per tahun tidak kunjung dipenuhi negara-negara maju yang menikmati berbagai kegiatan pemicu perubahan iklim selama ratusan tahun terakhir.
Tanpa bantuan negara maju, lanjut Gupta, negara berkembang dan miskin tidak punya pilihan selain mengandalkan sumber energi fosil. Sebab, mereka membutuhkan energi untuk menggerakkan perekonomiannya. ”Negara maju jangan hanya menceramahi negara berkembang tanpa mengakui kesalahan sejarah mereka,” ujarnya.
Dalam kajian World Resource Institute, dibutuhkan 5 triliun dollar AS per tahun sampai 2030 untuk pengendalian penyebab perubahan iklim dan mencapai target emisi karbon nol persen. ”Upaya global untuk memitigasi perubahan iklim sangat kurang,” kata Sophie Boehm, peneliti WRI.
Sementara kelompok kajian lainnya, TransitionZero, menyebut setidaknya 3.000 unit PLTU batubara yang menghasilkan 1.000 gigawatt harus dihentikan operasionalnya pada 2030. Pilihan itu harus dilakukan jika target mitigasi perubahan iklim ingin dicapai.
Jenkins mengatakan, Inggris akan menghentikan penggunaan batubara pada 2025. Ia berharap negara-negara lain juga segera melakukan hal senada.
Ia meyakini, negara seperti Indonesia mempunyai banyak sumber energi terbarukan yang dapat menggantikan sumber energi fosil. Dalam kajian Bappenas, potensi sumber energi terbarukan nasional jauh melebihi kebutuhan energi saat ini. Memang, pengembangannya butuh dana. Karena itu, Jenkins mengajak Indonesia terus menciptakan iklim investasi yang ramah untuk pengembangan energi terbarukan. (AFP/REUTERS)