Dekarbonisasi Butuh Aksi Nyata, Bukan Sekadar Kesepakatan
Perlu lebih dari sekadar kesepakatan yang dicapai dalam KTT Perubahan Iklim ke-26 atau COP 26. Harus ada rencana aksi nyata beserta rencana turunan untuk setiap negara. Krisis iklim tak bisa lagi ditunda untuk ditangani.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
LONDON, KAMIS — Perlu lebih dari sekadar kesepakatan yang dicapai dalam Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim ke-26 atau COP 26 yang akan diadakan di Glasgow, Skotlandia, mulai 30 Oktober 2021. Harus ada rencana aksi nyata beserta rencana turunan untuk setiap negara. Krisis iklim tidak bisa lagi ditunda untuk ditangani.
Dunia di ambang kerusakan parah yang tidak akan bisa diperbaiki apabila suhu naik 1,5 derajat celsius saja. Secara umum, seluruh negara menyepakati penurunan emisi sebagai cara tercepat untuk mencegah pemanasan global. Namun, rencana yang konkret belum terkuak.
”Kami butuh semua pemerintah mengungkapkan rencana aksi di semua sektor. Jangan cuma berjanji menurunkan emisi. Buka tindakan jelas untuk sektor industri, pertanian, transportasi, dan lain-lain,” kata Patrick Vallance, Kepala Dewan Penasihat Ilmiah Pemerintah Inggris di London, Rabu (27/10/2021).
Vallance merupakan salah satu dari 38 penasihat ilmiah untuk pemerintah dari sejumlah negara yang meminta tindakan nyata pemerintah. Para penasihat ini antara lain bekerja untuk Pemerintah Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Australia, Meksiko, Argentina, Maroko, India, Mauritius, dan Kosta Rika.
Menurut Vallance, harus ada pembukaan kolaborasi internasional berskala besar. Masalah emisi bukan lagi masalah spesifik di satu negara. Perekonomian global membuat setiap negara saling tergantung. Kebijakan yang terjadi di satu wilayah akan berdampak di wilayah lain.
Contohnya, para penasihat ilmiah ini memaparkan, pengurangan emisi berarti mengurangi energi fosil, mengurangi perjalanan dengan pesawat, menurunkan konsumsi daging, dan menambah kendaraan ramah lingkungan. Ini adalah rantai produski, konsumsi, dan distribusi global. Oleh sebab itu, harus ada kajian dan kerja sama global untuk menetapkan dan menerapkan tindakan.
Pendapat serupa diutarakan oleh Menteri Lingkungan Hidup India Bhupender Yadav. India merupakan negara penghasil emisi terbesar ketiga setelah AS dan China. Menurut dia, dekarbonisasi tidak bisa dibebankan kepada negara-negara berkembang, sementara negara maju terus berproduksi seperti biasa.
Kementerian Lingkungan Hidup India menghitung, setiap warga negara itu menghasilkan 1,9 ton karbon per tahun. Jumlah ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara dan kawasan maju seperti AS yang menghasilkan 18 ton karbon per kapita per tahun, atau Uni Eropa yang mencapai 7,1 ton karbon, dan China sebanyak 8,4 ton karbon.
”Harus ada investasi lintas negara dan sektor karena ini tidak bisa ditanggapi hanya dengan menutup keran karbon negara berkembang, sementara tidak ada investasi teknologinya,” tutur Yadav.
Bank Dunia juga mengumumkan akan menyisihkan 35 persen dana untuk investasi mitigasi krisis iklim. Berdasarkan hasil kajian mereka, pada 2050, sebanyak 38,5 juta penduduk di Afrika Timur yang terdiri dari Kenya, Uganda, Burundi, Rwanda, dan Tanzania terancam kemarau parah yang akan membuat mereka kehilangan tempat tinggal dan nafkah.
Kurangi batubara
Sementara itu, lembaga penelitian lingkungan hidup berbasis di Inggris, Transition Zero, mengeluarkan laporan hasil kajian. Mereka menerangkan, apabila dunia ingin mencapai nihil karbon pada 2050, sebanyak 1.000 gigawatt listrik yang diproduksi menggunakan energi batubara harus dihentikan.
Mereka menghitung, di dunia ada 2.000 gigawatt listrik yang dihasilkan dari pembangkit listrik bertenaga batubara. Menghentikan 1.000 gigawatt berarti menutup setidaknya 3.000 unit pembangkit listrik.
Lembaga penelitian berbeda, Crabon Tracker, mengungkapkan bahwa 80 persen emisi batubara global dihasilkan oleh China, India, Jepang, Indonesia, dan Vietnam. Separuh dari pembangkit listrik bertenaga batubara ada di China.
Sebanyak 56,8 persen listrik China pada tahun 2020 dihasilkan dari batubara. Jumlah ini sudah berkurang dari tahun 2005, yakni 72,4 persen. Meski begitu, emisi yang dihasilkan masih banyak. Pemerintah China beberapa bulan lalu mengumumkan akan terus menggenjot produksi listrik demi peningkatan ekonomi. Mereka baru akan mengurangi emisi pada 2025.
Pada saat yang sama, China tengah menghadapi krisis energi. Mereka harus menjamin ketersediaan listrik untuk musim dingin yang akan datang. Jika tidak, masyarakat bisa beku kedinginan. Padahal, stok batubara mereka kian berkurang.
”Ada hikmah dari situasi ini karena Pemerintah China termasuk giat mencari sumber-sumber energi terbarukan. Mereka mengerti tidak bisa lama-lama bergantung pada energi fosil,” kata Matt Gray, Direktur Transition Zero. (AFP/REUTERS)