Hasil COP 26 Mengecewakan
Hasil pertemuan COP 26 dinilai mengecewakan karena tak tegas urusan penghapusan batubara. Meski banyak yang kecewa, setidaknya ada niat untuk mulai mengurangi penggunaan batubara.
NEW YORK, SABTU —Kesepakatan yang dihasilkan dari konferensi iklim COP 26 tidak memuaskan, bahkan dinilai masih menyisakan banyak pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres memperingatkan, hasil COP 26 itu tidak cukup memperhatikan bencana iklim yang akan datang. Sementara remaja aktivis lingkungan Greta Thunberg terang-terangan menolak hasil COP 26 dan menilainya hanya basa-basi.
Baca Juga: Soal Uang, Tambang, dan Waktu di COP26
”Planet kita yang rapuh ini terancam. Kita masih menghadapi ancaman bencana iklim,” kata Sekjen PBB Antonio Guterres, Sabtu (13/11/2021), yang mengajak anak muda, masyarakat pribumi, dan para perempuan pemimpin untuk berkampanye #ClimateAction.
Komentar Thurberg di media sosial Twitter lebih keras dan terus terang tanpa basa-basi. ”#COP26 sudah berakhir. Begini kesimpulan singkatnya: Blah, blah, blah. Pekerjaan yang sebenarnya ada di luar dinding PBB. Kami tidak akan pernah menyerah,” tulisnya.
Selama konferensi berlangsung, Thunberg dan sejumlah aktivis mengecam para pemimpin dunia yang tidak memenuhi janji dan komitmennya. Meski hasilnya tak sesuai harapan, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson tetap optimistis. Baginya, kesepakatan yang dicapai di COP 26 merupakan kemajuan luar biasa karena untuk pertama kalinya ada kesepakatan internasional untuk mengurangi batubara dan peta jalan untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat celsius.
Baca Juga: Naskah Resolusi COP 26 Berubah, Dinilai Kurang Tegas
Pernyataan tertulis Komisi Eropa menyebutkan kesepakatan COP 26 itu tetap menggunakan target-target yang sudah disepakati dalam perjanjian iklim Paris 2015. Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen mengatakan, delegasi yang hadir dalam COP 26 itu berhasil membuat kemajuan dalam hal komitmen mengurangi bahaya emisi dan mengumpulkan dana hingga 100 miliar dollar AS per tahun untuk membantu negara-negara berkembang dan rentan. ”Kita tidak punya waktu untuk bersantai. Masih banyak yang harus kita lalukan,” ujarnya.
Selama negosiasi terakhir, China dan India masih berkeras bahwa bahasa—dalam teks hasil keputusan akhir COP 26—tentang bahan bakar fosil harus diperlunak. India, misalnya, mendesak mengubah teks ”menghapus secara bertahap” menjadi ”mengurangi secara bertahap” pembangkit listrik tenaga barubara.
Dalam beberapa hari terakhir, Pemerintah Australia juga malah sudah berjanji akan menjual batubara selama beberapa dekade mendatang. Meski demikian, mantan Perdana Menteri Australia Kevin Rudd yang kini Presiden Masyarakat Asia tetap optimistis. ”Meski dalam teks resmi hasil COP 26 itu susah membatasi batubara, para pemimpin dunia sudah jelas sepakat batubara akan tinggal kenangan,” ujarnya.
Dana khusus
Hasil COP 26 yang disebut Pakta Iklim Glasgow, yang mendapat perlawanan dari Amerika Serikat, Uni Eropa, dan beberapa negara kaya lain, ini tidak berhasil menyepakati pengalokasian dana khusus bagi negara-negara yang rentan bencana. Guinea yang mewakili kelompok negara berkembang sangat kecewa dengan keputusan itu. Negara-negara pulau kecil, seperti Kepulauan Marshall, Fiji, Antigua, dan Barbuda, juga kecewa karena mereka yang paling berisiko tenggelam jika permukaan air laut naik.
Namun, penasihat di Jaringan Internasional Aksi Iklim, Harjeet Singh, menilai hasil pertemuan Glasgow memang mengecewakan, tetapi setidaknya berbagai negara mengetahui dan mengakui kenaikan biaya kerusakan dan kehilangan akibat bencana di negara-negara berkembang. ”Perubahan iklim sudah akan akan terus merusak seiring dengan naiknya suhu dan ini mengancam lingkungan, ekonomi, dan sosial,” ujarnya.
Baca Juga: Negara Miskin Desak Kompensasi Negara Kaya Terkait Dampak Perubahan Iklim
Meski demikian, Singh juga menyesali keputusan tidak mengalokasikan dana khusus itu karena ini berarti tidak akan bisa tercapai juga target yang dikehendaki dalam waktu cepat. Kesepakatan Glasgow menyepakati dana untuk Jaringan Santiago, lembaga yang fokus mengembangkan keahlian teknis menangani kerugian dan kerusakan akibat bencana. Salah satunya seperti membantu negara memikirkan strategi memindahkan masyarakat dari garis-garis pantai yang terancam.
Presiden Institut Sumber Daya Dunia, lembaga kajian di AS, Ani Dasgupta, menilai COP 26 akhirnya menempatkan isu kerugian dan kerusakan dalam isu-isu yang penting dibahas. Setidaknya isu itu sekarang dibahas. Setelah dibahas, sebaiknya segera diaplikasikan kepada negara-negara yang terancam. AS dan Australia, khususnya, sepakat membuat dana baru untuk kerugian dan kerusakan. Kedua negara itu selama ini menolak kemungkinan perlunya negara-negara industri dengan tingkat polusi karbon yang tinggi memberikan kompensisasi kepada negara lain atas kerusakan yang ditimbulkan.
Utusan Khusus Iklim AS John Kerry menjelaskan, saat ini sedang dibahas berbagai usulan ide mengenai cara membiayai kerugian dan kerusakan, termasuk pajak baru untuk penjualan bahan bakar fosil atau bahan bakar untuk penerbangan.
Baca Juga: Negara Kepulauan Menuntut Pengucuran Dana Penanganan Dampak Perubahan Iklim
Meski tidak disepakati dana khusus kerugian dan kerusakan, negara-negara berkembang menyambut baik kesepakatan membangun dinding laut lebih tinggi untuk mencegah banjir, mendorong proyek tangkapan air hujan untuk irigasi, dan mengubah pertanian menjadi jenis pertanian yang tahan musim kering. Negara-negara peserta COP 26 juga menyepakati membuat laporan pelaksanaan upaya pencapaian target-target selama 2 tahun sekali. Kesepakatan soal itu sebenarnya sudah ada sejak Kesepakatan Paris 2015, tetapi belum ada tindak lanjutnya.
Ada juga kemajuan dalam menetapkan target yang jelas untuk pendanaan adaptasi. Pada 2019, terkumpul 20 miliar dollar AS. Pakta Glasgow mendorong negara-negara kaya untuk segera menaikkan pembiayaan adaptasinya setidaknya dua kali lipat. Selama konferensi pun, sejumlah negara kaya memberikan janji-janji baru akan memberikan 960 juta dollar AS yang diberikan kepada PBB untuk membantu negara-negara rentan beradaptasi dengan perubahan iklim.
Meski demikian, jumlah komitmen itu masih jauh di bawah harapan karena setiap tahun negara-negara berkembang diperkirakan membutuhkan 70 miliar dollar AS. Bahkan, menurut PBB, pada 2030, kebutuhannya bisa mencapai 300 miliar dollar AS.
Baca Juga: 10 Persen Warga Terkaya di Dunia Rakus Karbon
Direktur Eksekutif Greenpeace International Jennifer Morgan mengaku cukup lega karena negara-negara maju akhirnya mulai merespons permintaan negara-negara berkembang untuk membiayai dan membantu menangani kenaikan suhu bumi.
Batubara
India yang masih sangat bergantung pada batubara dan masih menggenjot produksi batubara meminta ada perubahan teks dalam hasil COP 26. India mendesak mengubah teks ”menghapus secara bertahap” menjadi ”mengurangi secara bertahap” pembangkit listrik tenaga baru bara. India juga bersikeras ada ”dukungan bagi negara paling miskin dan paling rentan” untuk mencapai transisi yang adil dari bahan bakar fosil. Negara-negara Eropa dan negara pulau-pulau kecil yang paling terancam oleh pemanasan global memprotes usulan India itu.
Perdebatan berkisar pada apakah pertemuan ini akan tetap bisa mempertahankan target-target ambisius Kesepakatan Paris 2015. Ketua COP 26 Alok Sharma mengatakan, target menahan pemanasan global 1,5 derajat celsius sepertinya sulit tercapai meski bukan berarti tak mungkin. Jika target pengurangan emisi nasional saat ini bisa tercapai, suhu masih bisa mencapai sekitar 2,4 derajat celsius di atas batas ketika zaman praindustrial.
Jika ini terjadi, kalangan ilmuwan khawatir akan terjadi gagal panen di mana-mana, migrasi besar-besaran, dan cuaca esktrem. Oleh karena itu, butuh pengurangan emisi yang lebih besar. Selain itu, diperlukan juga keputusan lebih kuat terkait hal itu. (REUTERS/AFP/AP)