Lemahnya peraturan, minimnya perlindungan dalam proses perekrutan tenaga kerja asing, serta maraknya konflik di banyak negara menjadi ”kesempatan” bagi kejahatan berupa perdagangan orang.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
PUTRAJAYA, SENIN — Pemerintah Malaysia berjanji menindaklanjuti laporan Kementerian Dalam Negeri Amerika Serikat tentang adanya tindak pidana perdagangan orang atau TPPO dalam sistem perekrutan tenaga kerja asing. Malaysia akan meninjau kembali metode pembayaran biaya bekerja di negara tersebut dan menelisik apabila ada anak-anak yang dipekerjakan secara ilegal.
”Kami akan melakukan penyelidikan mengenai penemuan kasus kerja paksa seperti dalam laporan TIP (trafficking in persons) dari AS. Penyelidikan dimulai dari para agen penyalur tenaga kerja asing (TKA) di Malaysia, baru kemudian ke negara asal para TKA,” kata Menteri Sumber Daya Manusia Malaysia Saravanan Murugan, Senin (5/7/2021).
Menurut dia, Pemerintah Malaysia selama Mei-Juli telah menerima 4.636 keluhan dari TKA melalui kanal aduan resmi yang bisa diakses melalui aplikasi di telepon pintar. Sebanyak 3.502 keluhan tersebut sedang ditanggapi. Mayoritas melaporkan kekerasan dalam lingkungan kerja.
Secara legal, Malaysia memiliki 2 juta TKA yang bekerja di perkebunan sawit, pabrik, dan sektor jasa. Mereka berasal, antara lain, dari Indonesia, India, Bangladesh, dan Nepal. Akan tetapi, jumlah sebenarnya diduga jauh lebih besar mengingat banyak pekerja asal Indonesia memasuki Malaysia secara ilegal. Selain itu, ada pula sejumlah pengungsi yang juga bekerja di negara ini tanpa tercatat oleh aparat berwenang.
Salah satu tuduhan yang dibebankan kepada Malaysia ialah TKA banyak terjerat utang dengan agen penyalurnya. Akibatnya, para TKA ini sebenarnya menjadi pekerja paksa karena upah mereka habis untuk mencicil utang tersebut.
”Kami akan memeriksa apabila ada agen-agen yang nakal dan menjerat TKA dengan biaya pengurusan izin kerja di luar ketentuan aturan Malaysia. Di akhir tahun ini, Malaysia juga akan menerbitkan rencana aksi nasional untuk penanganan pekerja usia anak,” kata Murugan.
Dilansir dari laman Malay Mail, Komisi Hak Asasi Manusia Malaysia (Suhakam) berpendapat, penyelidikan dari satu kementerian saja tidak cukup. Mereka meminta Kerajaan Malaysia membuat satuan tugas khusus yang menangani masalah ini. Satuan tugas ini pula yang akan memantau pelaksanaan berbagai aturan serta pembenahan atas masalah di lapangan oleh agen penyalur TKA, tempat kerja, ataupun pemerintah daerah.
Di samping itu, Suhakam menekankan bahwa undang-undang mengenai TPPO yang dibuat pada 2007 juga harus diperbaiki. Definisi TPPO dalam aturan ini belum mencakup pekerja paksa dan penipuan yang mengakibatkan jeratan utang. Pasal mengenai sanksi tegas bagi para pelaku juga harus ditambahkan.
Masalah serius
Laporan TIP dikeluarkan oleh Direktorat Penanganan TPPO Kementerian Dalam Negeri AS. Mereka membagi negara-negara ke dalam tiga kelompok. Tingkat Satu ialah negara-negara dengan kebijakan dan praktik perlindungan yang baik terhadap tenaga kerja lokal ataupun asing. Tingkat Dua adalah negara-negara yang aturan ataupun praktiknya belum sesuai dengan standar internasional, tetapi sudah menunjukkan usaha ke arah itu. Tingkat Tiga adalah negara-negara dengan masalah kekerasan terhadap tenaga kerja, termasuk TPPO.
Dalam laporan TIP itu, Malaysia turun derajat dari Tingkat Dua ke Tingkat Tiga. Di tingkat ini ada 17 negara dengan masalah TPPO, seperti pekerja anak dan prajurit anak yang serius, antara lain, Korea Utara, Afghanistan, Myanmar, China, Rusia, Eritrea, Iran, dan Kuba. Sementara itu, Selandia Baru, Norwegia, Swiss, dan Israel turun dari Tingkat Satu ke Tingkat Dua karena mereka dinilai tidak memiliki aturan tegas pemidanaan pelaku TPPO. Indonesia berada di Tingkat Dua.
”Sejak pandemi Covid-19 terjadi, kami melihat pola TPPO semakin banyak juga karena jumlah rakyat miskin bertambah. Saat ini, korban TPPO memang mayoritas perempuan, tetapi laki-laki korban juga ada peningkatan. Demikian pula dengan prajurit anak di sejumlah negara yang memiliki eskalasi konflik, baik internal maupun eksternal,” kata Pelaksana Tugas Direktur Penindakan TPPO Kemendagri AS, yang mengepalai penyusunan laporan TIP, Kari Johnstone.
Sejumlah pihak yang dimasukkan ke Tingkat Tiga mengajukan protes kepada AS. China, misalnya, dalam laporan TIP disebut menerapkan sistem kerja paksa di perkebunan kapas bagi warga dari kelompok etnis Uighur. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin menyangkal semua tuduhan tersebut dan menyebutnya mengada-ada.
Sementara itu, Pemerintah Thailand juga mengajukan protes meskipun tidak sekeras China. Thailand oleh laporan TIP dipermasalahkan karena tercatat adanya pekerja di sektor pariwisata dan kecantikan yang dilacurkan. Menurut rilis dari Pemerintah Thailand, laporan tersebut terlalu berpandangan Amerika-sentris dan tidak memahami situasi di Thailand. (AP/AFP/REUTERS)