Sindikat Perdagangan Orang di Kapal China Diungkap
Polda Kepulauan Riau menangkap tiga tersangka terkait dugaan tindak pidana perdagangan orang di kapal ikan berbendera China. Mereka merupakan bagian dari sindikat internasional yang sudah beraksi selama empat tahun.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Polda Kepulauan Riau menangkap tiga tersangka terkait dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di kapal ikan berbendera China. Mereka merupakan bagian dari sindikat internasional yang sudah beraksi selama empat tahun. Korbannya diperkirakan mencapai ratusan orang.
Sebelumnya, warga negara Indonesia (WNI) yang bekerja sebagai anak buah di kapal ikan berbendera China, Lu Qing Yuan Yu 901, melompat ke Selat Malaka pada 5 Juni lalu. Mereka nekat melarikan diri dengan terjun ke laut karena tidak tahan selama tujuh bulan dipaksa bekerja dan disiksa di kapal tersebut.
Dua anak buah kapal (ABK) Lu Qing Yuan Yu yang terjun ke laut itu adalah Reynalfi Sianturi (22) asal Sumatera Utara dan Andri Juniansyah asal Nusa Tenggara Barat. Reynalfi diberangkatkan oleh agen dari PT Mandiri Tunggal Bahari (MTB), sedangkan Andri diberangkatkan oleh agen dari PT Duta Putra Grup (DPG).
Kepala Bidang Humas Polda Kepri Komisaris Besar Harry Goldenhardt, Senin (15/6/2020), mengatakan, tersangka SF yang berperan sebagai perekrut calon pekerja ditangkap di Bogor pada 11 Juni. Sehari berselang, polisi menangkap dua tersangka lain, yaitu HA di Jakarta Utara dan NH di Bekasi.
Tersangka HA bertugas mengurus buku pelaut, paspor, dan sertifikat Basic Safety Training (BST) yang diperlukan untuk memberangkatkan calon ABK yang akan bekerja di kapal ikan asing. Sementara tersangka NH berperan menjadi penghubung dengan otak sindikat, yaitu W, yang merupakan warga negara Singapura.
”Dari pemeriksaan terhadap HA, ternyata ada peran empat tersangka lain dalam pembuatan sejumlah dokumen tersebut. Saat ini, empat tersangka itu tengah disidik oleh Polres Jakarta Utara,” kata Harry.
Ia menuturkan, direksi perusahaan yang merekrut Reynalfi, yaitu PT MTB, telah diringkus Polda Jawa Tengah pada 18 Mei lalu. Perusahaan itu terlibat dalam pemberangkatan sejumlah awak kapal FV Fu Yuan Yu 1218 dan Lu Qing Yuan Yu 623. Dua awak kapal tersebut, yaitu Taufik Ubaidillah di kapal FV Fu Yuan Yu 1218 dan Herdianto di kapal Lu Qing Yuan Yu 623, meninggal dan jenazahnya dilarung ke laut pada 23 November 2019 dan 16 Januari 2020.
Mereka berjanji akan menempatkan korban di Korea Selatan untuk bekerja di pabrik manufaktur dengan upah Rp 45 juta per bulan.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Kepri Komisaris Besar Arie Dharmanto mengatakan, modus yang dilakukan para tersangka untuk merekrut korban selalu sama. Awalnya, mereka berjanji akan menempatkan korban di Korea Selatan untuk bekerja di pabrik manufaktur dengan upah Rp 45 juta per bulan.
Setelah korban membayar biaya pengurusan dokumen sebesar Rp 50 juta, mereka akan memberangkatkan korban dari Jakarta menuju Singapura. Di ”Negeri Singa”, korban dimasukkan ke dalam kapal yang katanya akan menuju Korea Selatan. Namun, setelah 12 hari perjalanan, mereka akan dipaksa bekerja sebagai awak kapal ikan asing.
”Para tersangka mengaku sudah hampir empat tahun beraksi, tetapi untuk jumlah (korbannya) harus kami pastikan lagi. Tersangka baru saja ditangkap dan interogasi masih perlu pendalaman lagi,” ujar Arie.
Sekarang, masih ada 10 WNI di kapal Lu Qing Yuan Yu 901. Reynalfi dan Andri mengatakan, saat mereka terjun ke laut 10 hari lalu, kapal itu tengah berada dalam perjalanan dari Laut Arab menuju China.
Arie mengatakan sudah berkoordinasi dengan sejumlah lembaga internasional untuk memastikan keberadaan Lu Qing Yuan Yu 901. Namun, lokasi kapal itu belum dapat terdeteksi karena sistem identifikasi otomatis (AIS) kapal itu sengaja dimatikan untuk mengaburkan keberadaannya dari pelacakan petugas.
Dalam seminar daring yang diselenggarakan Destructive Fishing Watch (DFW) pada 10 Juni lalu, Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia di Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha mengatakan, kasus yang mengusik rasa kemanusiaan itu merupakan puncak gunung es. Dalam catatan Kemlu, pada 2019 saja ada 1.095 kasus terkait dengan pelaut Indonesia di luar negeri.