Penting, Peran Masyarakat dalam Pengungkapan Kasus
Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah. Sindikat perdagangan orang terus beraksi dan sulit terjerat hukum.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah. Sindikat perdagangan orang terus beraksi dan sulit terjerat hukum. Sejauh ini, perlindungan terhadap korban masih sangat lemah, dan aparat penegak hukum banyak yang belum memahami Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Hingga kini kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) terus terjadi, baik di dalam maupun luar negeri. Korbannya berasal dari berbagai daerah, termasuk perempuan dan anak-anak.
”Perdagangan orang menjadi alarm call buat kita semua. Tapi masih ada kawan-kawan di Indonesia belum tahu seberapa parahnya (perdagangan orang). Sempat terangkat kasus Adelina Sau dari Nusa Tenggara Timur dan kasus-kasus pengantin pesanan. Ini semuanya perdagangan orang,” ujar Ketua Jaringan Nasional (Jarnas) Anti TPPO Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, seusai bertemu Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ahmad Taufan Damanik, Rabu (14/8/2019), di Kantor Komnas HAM Jakarta.
Selain Rahayu, hadir juga anggota Komisi Ombudsman RI Ninik Rahayu, Ai Maryati Solihah (Komisioner Bidang Trafficking dan Eksploitasi Anak Komisi Perlindungan Anak Indonesia), dan Thaufiek Zulbahary (Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan)
Meski sudah banyak kasus yang terjadi, menurut Rahayu, hingga kini tidak ada jumlah yang pasti berapa persisnya jumlah korban TPPO di dalam dan luar negeri.
”Data-data masih sangat lemah. Kalau ditanya berapa data korban perdagangan orang, itu sangat sulit kita memberikan angka yang akurat karena yang terjadi di bawah radar. Namanya juga sindikat,” ujar Rahayu yang menyerahkan sejumlah rekomendasi Jarnas Anti TPPO kepada ketua Komnas HAM.
Selain tidak memiliki angka yang pasti, kesadaran berbagai pihak termasuk masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan TPPO juga perlu ditingkatkan karena pengiriman pekerja migran ke luar negeri yang tidak sesuai prosedur pengiriman dan penempatan masih sangat tinggi.
Kesadaran berbagai pihak termasuk masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan TPPO juga perlu ditingkatkan karena pengiriman pekerja migran ke luar negeri yang tidak sesuai prosedur pengiriman dan penempatan masih sangat tinggi.
”Mohon tidak dilupakan juga kasus TPPO yang terjadi dalam negeri, di tempat-tempat yang kita ketahui, seperti Batam, Sulawesi Utara, Bali, dan Papua. Di Papua perempuan-perempuan yang ’dipekerjakan’ untuk melayani pekerja tambang. Itu bukan rahasia lagi, harus diangkat,” tutur Rahayu.
Pengaduan minim
Ninik Rahayu mengatakan, perdagangan orang terjadi hampir setiap bulan, baik saat pemberangkatan pekerja migran ke luar negeri maupun antarwilayah di Indonesia. Bahkan, selama ini dirinya diminta pendapat soal sejumlah kasus TPPO, misalnya kasus sejumlah pekerja migran Indonesia yang diberangkatkan ke Suriah dan dipulangkan dari Timur Tengah dalam kondisi meninggal. Pada Juli lalu, Ninik juga menangani kasus TPPO yang menimpa sejumlah perempuan dengan modus pengantin pesanan ke Tiongkok.
Di dalam negeri, pada Mei 2019, tiga warga Nusa Tenggara Timur diduga dijual sebagai pekerja rumah tangga di Jakarta. ”Pengaduan masyarakat tentang TPPO masih sangat rendah. Kalau diikuti dengan kualitas penegakan hukum yang rendah pula sehingga semakin memperlambat atau menghambat orang yang punya keinginan melaporkan. Lapor saja susah,” ujar Ninik yang menyatakan sampai saat ini tidak ada laporan TPPO yang masuk ke Ombudsman.
Kalaupun ada kasus yang terungkap, itu karena ada yang berani melaporkan ke aparat penegak hukum, tetapi jumlahnya pun tidak banyak. Itu berarti sistem pengaduan kasus TPPO perlu mendapat perhatian dari pemerintah.
Terkait lemahnya perlindungan pekerja migran Indonesia, Jarnas Anti TPPPO mengungkapkan kasus pekerja migran Indonesia asal NTT yang dipulangkan dalam kondisi meninggal terus meningkat. Pada 2016, data Jarnas Anti TPPO terdapat 46 jenazah pekerja migran yang dipulangkan. Sebanyak 42 orang di antaranya proses pengirimannya tidak sesuai prosedur.
Kasus pekerja migran Indonesia asal NTT yang dipulangkan dalam kondisi meninggal terus meningkat.
Pada 2017, jumlah jenazah pekerja migran Indonesia yang dipulangkan 62 orang, 19 di antaranya perempuan. Pada 2018, ada 105 jenazah pekerja migran Indonesia asal NTT dipulangkan. Pada 2019, sampai Agustus ini, sudah ada 74 jenazah pekerja migran dari NTT yang dipulangkan.
Maryati juga mengungkapkan betapa rentannya anak-anak di Indonesia terjerat TPPO. Data KPAI tahun 2018, ada 329 kasus TPPO yang terkait anak-anak. Ketika anak menjadi korban TPPO, anak juga rentan mengalami eksploitasi seksual dan ekonomi.
Sementara itu, Thaufiek mengingatkan pentingnya peran serta masyarakat dalam mencegah dan memberantas TPPO. Karena meskipun ada banyak kasus yang terungkap, jumlah kasus yang sampai ke pengadilan hanya 5-10 persen.