Lembaga Layanan Berbenah Menghadapi Tingginya Kasus Perdagangan Manusia
Lembaga penyedia layanan pencegahan maupun penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang atau TPPO harus terus meningkatkan kapasitasnya guna menekan laju kasus perdagangan orang.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Masih tingginya kasus perdagangan manusia membuat lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di isu ini harus terus berbenah. Pembenahan ini mulai dari kapasitas sumber daya manusianya hingga tingkat pelayanan kepada korban.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat tindak pidana perdagangan orang atau TPPO pada perempuan dan anak sebanyak 351 kasus pada 2020. Sementara tahun sebelumnya sebanyak 216 kasus. Peningkatan ini terjadi karena bertambahnya angka kemiskinan dan pengangguran akibat pandemi Covid-19 (Kompas, 9 Februari 2021).
Yayasan Kusuma Bongas yang bergiat di Indramayu, Jawa Barat, menyikapi masih tingginya kasus TPPO ini dengan mengevaluasi layanannya. Salah satu hasil evaluasi yang masih perlu ditingkatkan adalah perluasan jangkauan informasi terkait perdagangan manusia kepada masyarakat.
Yayasan ini mengadakan survei terhadap kinerja mereka selama sepuluh tahun terakhir, melalui kuesioner daring pada 20 Februari hingga 9 Maret 2021. Survei menjangkau 109 responden, terdiri dari 83 penerima layanan dan 26 donatur atau pemangku kepentingan.
Hasil survei dipaparkan oleh Samsu Rian, pegiat dari Yayasan Kusuma Bongas dalam diskusi daring "Strategi Peningkatan Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang Melalui Evaluasi Kepuasan Pelayanan", Selasa (30/3/2021). Diskusi antara lain dihadiri perwakilan Dinas Sosial Indramayu, korban perdagangan orang, perwakilan Politeknik Kesejahteraan Sosial Bandung, dan lembaga swadaya masyarakat maupun pegiat di isu ini.
Sebanyak 98 persen penerima layanan menyatakan puas, dan dua persen sisanya tidak puas. Meski tingkat kepuasan tinggi, penerima layanan menyarankan yayasan untuk memperluas jangkauan informasi, menyediakan program yang bermanfaat jangka panjang dan tepat sasaran, serta peningkatan kemampuan staf.
Sama halnya dengan donatur atau pemangku kepentingan. Meskipun 100 persen puas dengan layanan yayasan, mereka menyarankan peningkatan kapasitas pendampingan korban, pengembangan kualitas dan kuantitas staf, pengembangan program berbasis masyarakat, memperluas area layanan, serta peningkatan sarana dan prasarana.
Dalam diskusi itu, Moch Zaenal Hakim, Ketua Progran Studi Rehabilitasi Sosial Politeknik Kesejahteraan Sosial Bandung menyebutkan, lembaga layanan harus mengatasi ketidakpuasan penerima layanan dan merespon kebutuhan peningkatan pelayanan. Caranya dengan peningkatan enam standar pelayanan lembaga kesejahteraan sosial, yakni program, proses layanan, manajemen, sumber daya manusia, sarana dan prasaranan, dan hasil layanan.
"Program misalnya, punya tujuan spesifik, berbasis keluarga, mencakup masyarakat lebih luas, dan melibatkan pihak lain dalam pelaksanaan," kata Zaenal.
Untuk sumber daya manusia, ia menyarankan pengkategorian berdasarkan profesional dan penunjang atau pendukung, seperti pekerja sosial dan tenaga kesejahteraan sosial. Dengan demikian pengembangan layanan akan sesuai dengan kebutuhan lembaga.
Zaenal pun menyarankan agar lembaga layanan bagi korban perdagangan manusia juga harus mempunyai standar baku untuk proses layanan. Hal itu mulai dari penerimaan, identifikasi dan asesmen, perencanaan pelayanan, pelaksanaan pelayanan, hingga evaluasi dan terminasi atau akhir layanan.
Sementara itu korban TPPO asal Indramayu menuturkan mereka mudah teperdaya oleh jaringan TPPO yang biasanya berkedok agen pencari kerja itu karena iming-iming gaji yang besar. Apalagi pengetahuan dan keterampilan mereka terbatas.
Data Badan Pusat Statistik pada tahun 2020 menunjukkan terdapat 12,3 persen penduduk miskin di Indramayu. Adapun rata-rata lama sekolah masih terbatas 6,3 tahun atau hanya lulus sekolah dasar.
Sulastri, korban TPPO asal Indramayu yang dibantu oleh Yayasan Kusuma Bongas ini menuturkan, umumnya para korban tidak berdaya karena berada dalam pengawasan dan diintimidasi oleh pelaku TPPO.
Sulastri, korban TPPO asal Indramayu yang dibantu oleh Yayasan Kusuma Bongas ini menuturkan, umumnya para korban tidak berdaya karena berada dalam pengawasan dan diintimidasi oleh pelaku TPPO. Pelaku juga menakut-nakuti kalau korban bebas dengan membayar tebusan Rp 10 juta.
"Supaya kami (warga) tidak tertipu oleh jaringan TPPO, tolong bantu kami dengan latihan keterampilan dan lainnya," ucap Sulastri.
Adapun selama 2020, Dinas Sosial Indramayu membantu kepulangan 18 korban TPPO. Pada tahun 2021 ini, sudah ada 4 korban yang dibantu kepulangannya.
Atu Ikaputri, Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial Indramayu menuturkan bahwa dinas sosial memfasilitasi para korban untuk pelatihan keterampilan. Dinas juga bekerja sama dengan lembaya swadaya masyarakat supaya semakin banyak korban maupun warga terbantu.
"Kami (dinas sosial) tidak bisa memberikan modal. Kami sesuai aturan memfasilitasi pelatihan. Kami harapkan warga tidak teperdaya jaringan TPPO," ujar Ikaputri.