China Telah Jadi Pemenang di Laut China Selatan
China sejatinya sedang terus memperkuat kehadiran militernya di Laut China Selatan untuk pengamanan wilayah yang diklaimnya dan menghadapi Amerika Serikat.
Awal Juni ini Asia Tenggara kembali dikejutkan oleh penerobosan secara sengaja oleh 16 jet tempur militer China, Ilyushin il-76 dan Xian Y-20, ke wilayah udara Kinabalu, Malaysia. Peristiwa itu terjadi lebih dari setahun setelah kapal China, Haiyang Dizhi 8, yang dikawal 10 kapal China lainnya melakukan survei di dalam perairan zona ekonomi eksklusif Malaysia.
Sama seperti pada Haiyang Dizhi 8, Kuala Lumpur marah besar terhadap intrusi 16 pesawat militer China itu. Kementerian Luar Negeri Malaysia pun langsung mengirimkan nota protes diplomatik ke Beijing dan memanggil Duta Besar China di Kuala Lumpur.
Pemerintah Malaysia pantas marah karena belasan jet China terbang dalam formasi taktis di dalam wilayah udara Sarawak. Ini sebuah pelanggaran serius wilayah udara dan kedaulatan Malaysia.
Namun, Kedubes China di Kuala Lumpur malah menanggapinya dengan enteng atas pengaduan otoritas Malaysia. Menurut Beijing, ”kegiatan yang diadukan” itu merupakan bagian dari latihan rutin yang tidak menargetkan negara mana pun dan China tetap mematuhi hukum internasional.
Malaysia yang setahun lalu terganggu oleh aktivitas kapal Haiyang Dizhi 8 kembali diusik oleh intrusi 16 jet tempur China. Sama seperti sikap beberapa negara lain yang terlibat tumpang tindih klaim dengan China di Laut China Selatan, Malaysia yang berhubungan baik dengan China juga tidak pernah berkompromi soal kedaulatan dan keutuhan wilayahnya.
China memang sering membuat marah negara-negara tetangganya. Insiden intrusi belasan jet China itu terjadi tak lama setelah ratusan kapal China yang diawaki milisi memasuki—dan enggan pergi dari—perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Filipina, di sekitar Pulau Thitu dan karang Julian Felipe.
Baca juga: Ekspansionisme China dan Matinya Diplomasi di Laut China Selatan
Pulau Thitu secara de facto telah dikuasai Filipina. Bahkan, Manila telah menempatkan kekuatan militer yang didukung dengan pembangunan pusat logistik militer, sebuah upaya untuk melawan ”serangan” China di Laut China Selatan. Meski Manila telah mengirim banyak nota protes diplomatik ke Beijing, kapal-kapal China membandel tak mau beranjak.
Filipina berulang kali mengeluhkan keberadaan kapal-kapal China yang ditambatkan di karang yang mereka klaim. Dalam tahun 2021 ini hingga Mei, Manila sudah berulang kali memprotes Beijing atas masuknya kapal-kapal China itu, termasuk kapal militer, ke ZEE Filipina. Beijing hingga kini diam saja. Jelas ini sebuah pelecehan, yang membuat Manila sempat mengecam keras Beijing.
Gangguan China atas kehadiran Filipina di Pulau Thitu bukan tanpa alasan. Asia Times melaporkan, ada kekhawatiran pulau yang telah dilengkapi landasan pacu pesawat itu diduga kuat dapat menjadi pijakan baru Amerika Serikat di wilayah maritim yang diperebutkan itu. Jika itu terjadi, kemungkinan besar akan meningkatkan ketegangan yang sudah panas dengan China.
Baca juga: China Terus Ganggu Kedaulatan Filipina di Pulau Thitu
Satu lagi negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) yang juga dibuat meradang oleh perilaku militer China di Laut China Selatan, yakni Vietnam. Insiden terakhir yang dilaporkan Kementerian Luar Negeri Vietnam ialah soal dua kapal penjaga pantai China menyerang kapal nelayan mereka. Hasil tangkapan dan peralatan nelayan Vietnam disita pada Juni 2020.
Dua bulan sebelumnya, satu kapal nelayan Vietnam ditabrak dan ditenggelamkan oleh kapal penjaga pantai China di dekat Kepulauan Paracel. Insiden di Paracel, yang terletak antara garis pantai Vietnam dan China, membuat Hanoi mengajukan nota protes, Juli 2020. Beijing mendiamkannya.
China paling sering bersitegang dengan Filipina, Vietnam, lalu yang terbaru dengan Malaysia. Tiga negara ASEAN itu telah lama berada di dalam pusaran konflik dengan China. Pada Desember 2019 hingga awal 2020, Indonesia juga bersitegang dengan China di Laut Natuna Utara.
”Kelakuan China ini bukan sekadar pamer kekuatan militer, tetapi tindakan predator yang oportunis,” kata Collin Koh, pengamat militer di Singapura, kepada South China Morning Post.
Baca juga: China Makin Agresif
Meski Koh beropini merespons intrusi jet temput China ke Malaysia, komentarnya juga bisa menjelaskan semua oportunisme dan ekspansionisme China di kawasan. China sejatinya sedang terus-menerus memperkuat kehadiran militernya di Laut China Selatan untuk pengamanan wilayah yang diklaim dan menghadapi AS. Kedua hal ini merupakan kepentingan strategis China.
Tidak sulit mengidentifikasi pemicu ketegangan di Laut China Selatan. China telah membuat banyak kemajuan dalam klaim di kawasan itu sejak awal 2020. Pada April tahun lalu, China membentuk dua distrik administrasi baru dan memberi nama 80 fitur geografis di perairan sengketa itu.
Dua distrik baru itu, yakni Xisha dan Nansha, ditetapkan di bawah yurisdiksi kota Sansha di Provinsi Pulau Hainan, China selatan. Setelah membangun dua distrik baru, China juga memperluat klaim batas-batas maritimnya berdasarkan wilayah daratan yang telah dalam penguasaannya.
Baca juga: Saat Dunia Perangi Covid-19, China Bentuk Dua Distrik Baru di Laut China Selatan
Media resmi China, Global Times, menyebutkan, Beijing juga berencana meningkatkan kekuatan nuklir untuk menghadapi ancaman AS di Laut China Selatan dan Selat Taiwan. Dalam kaitan dengan itu Beijing akan menambah jumlah rudal balistik antarbenua untuk armada kapal selamnya.
Peningkatan jumlah rudal balistik antarbenua disebutkan akan menjamin integritas teritorial China dan merupakan penjamin perdamaian dunia. AS dicap sebagai ”penghasut perang”. Media China itu membandingkan anggaran besar AS untuk pertahanan tahun depan, yang akan memodernisasi persenjataan nuklirnya guna menghadang China. Saatnya China melakukan hal serupa.
Menurut Reuters, anggaran keamanan nasional AS secara keseluruhan telah meningkat 1,7 persen dari angka 2021. Dalam beberapa tahun terakhir, China telah mempertahankan pengeluaran pertahanannya sekitar 1,3 persen dari PDB, jauh di bawah rata-rata global 2,6 persen.
Para pakar militer China meminta Beijing untuk lebih memperhatikan rudal balistik antarbenua DF-41 lokal karena memiliki jangkauan operasional terjauh. Mereka berpendapat Beijing harus meningkatkan jumlah senjata tentara China.
Song Zhongping, pakar militer China, mengatakan, memperkuat triad nuklir China sangat penting. Meningkatkan jumlah rudal yang diluncurkan dari kapal selam merupakan misi masa depan pertahanan China yang harus diwujudkan dalam menghadapi kekuatan AS di kawasan.
”Jika Washington meluncurkan provokasi militer untuk menantang keamanan dan kedaulatan China, China akan segera melakukan pembalasan yang efektif dan segera,” tulis Global Times.
Baca juga: Panduan Perilaku di Laut China Selatan Harus Selaras dengan UNCLOS
Di sisi lain—meski terlibat dalam sengketa maritim dengan sejumlah negara, termasuk empat negara anggota ASEAN di Laut China Selatan—Beijing telah membangun pengaruh di antara 10 negara ASEAN. Pada Selasa ini, China menjamu 10 menlu ASEAN di tengah persaingan yang meningkat antara Beijing dan Washington untuk mendapatkan pengaruh di wilayah tersebut.
Pengaruh ekonomi dan diplomatik China telah membantu untuk mengesampingkan semua kecemasan terkait isu Laut China Selatan. Filipina yang dalam tiga bulan terakhir, Maret-Mei, meradang dan mengeluarkan kecaman paling keras terhadap China telah melempem.
Saat negara-negara menempuh jalur diplomatik, termasuk nota protes, seperti yang disampaikan Filipina dan Malaysia, China bungkam. Namun, konsistensi sikap sebuah negara dalam satu isu sangat penting dalam diplomasi internasional, termasuk masalah di Laut China Selatan.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri sudah menunjukkan itu ketika menegaskan penolakannya terhadap tawaran negosiasi dan konsultasi yang diajukan Pemerintah China dalam masalah Laut China Selatan. Menlu Retno Marsudi sudah berulang kali menegaskan, posisi Indonesia dalam isu Laut China Selatan. Di bawah Konvensi Hukum Laut PBB 1982 (UNCLOS 1982) tidak ada klaim yang tumpang tindih sehingga tidak ada yang perlu dinegosiasikan. Itulah sikap Indonesia terkait insiden di Laut Natuna Utara beberapa waktu lalu.
Baca juga: Indonesia Tolak Tawaran Negosiasi China Terkait Batas dan Hak Maritim
Penegasan itu jelas mengesampingkan klaim China yang hanya berdasarkan klaim sepihak ”sembilan garis putus-putus” yang tidak merujuk hukum internasional. Namun, kini jadi soal karena China telah memperkuat militernya untuk menjaga kawasan yang mereka klaim.
Siapa yang terkuat di Laut China Selatan dan siapa yang akan menjadi pecundang, perjalanan waktu kelak membuktikan. Namun, de facto China sudah menjadi pemenang saat ini dan bukan pecundang di Laut China Selatan. China telah berhasil mengklaim hampir 80 persen wilayah tersebut.
China terus diperkuat klaimnya dengan pembangunan infrastruktur di pulau-pulau yang diklaimnya. China terus mereklamasi beting atau karang. China memperkuat kehadiran militer serta mobilisasi penduduknya ke sana, termasuk keluarga nelayan dan bahkan milisi maritimnya. Malaysia, Brunei Darussalam, Vietnam, Filipina, dan Taiwan berteriak, tetapi kafilah terus berlalu.