Panduan Perilaku di Laut China Selatan Harus Selaras dengan UNCLOS
Masyarakat ASEAN-China sudah berhubungan sejak ribuan tahun lalu. Namun, ada kerikil tajam dalam hubungan mereka di Laut China Selatan.
Oleh
kris mada
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — China menyadari bahwa negara-negara ASEAN curiga setelah Beijing menerapkan Undang-Undang Penjaga Pantai di Laut China Selatan. UU China itu dinilai ASEAN tidak sesuai dengan Konvensi PPB tentang Hukum Laut yang menjadi rujukan panduan perilaku di Laut China Selatan.
Pengesahan dan kepatuhan pada panduan perilaku atau code of conduct (COC) di Laut China Selatan memang telah menjadi salah satu tantangan hubungan ASEAN-China. Hubungan keduanya juga masih diwarnai dengan upaya yang terus-menerus untuk membangun kepercayaan.
Wakil Ketua Akademi Diplomat China Nguyen Hung Son, Selasa (9/3/2021), mengatakan, ada kecurigaan di antara negara-negara ASEAN setelah China mengesahkan UU Penjaga Pantai atau China’s Coast Guard Law (CCGL). UU tersebut dinilai tidak sesuai dengan Konvensi PBB tentang Hukum Laut atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).
UU itu juga dikhawatirkan tidak selaras dengan COC Laut China Selatan yang sedang dibahas ASEAN-China. ”Amat penting memastikan semua pihak mematuhi panduan perilaku,” ujarnya dalam Jakarta Forum on ASEAN-China Relations in 2021 yang diselenggarakan CSIS, Selasa ini.
UU Penjaga Pantai disahkan Komite Tetap Kongres Rakyat Nasional di Beijing pada 22 Januari 2021, yang secara tegas mengizinkan petugas menggunakan kekuatan. Dalam UU itu tercantum, Beijing membolehkan aparatnya menembak kapal asing yang ada atau membongkar bangunan di pulau di perairan China.
UU China itu mengatur ”semua cara yang diperlukan” untuk menghentikan kapal asing, termasuk penggunaan senjata di atas kapal China. Masalahnya, China memasukkan sebagian Laut China Selatan sebagai perairan teritorialnya. Padahal, ASEAN dan banyak pihak tidak setuju dengan klaim sepihak Beijing.
UU China itu disahkan kala COC Laut China Selatan sedang dibahas ASEAN-China. Pembahasan COC itu telah memasuki putaran kedua yang sedianya dituntaskan pada 2020. Karena pandemi, pembahasan tertunda. Panduan itu diharapkan menjadi acuan semua pihak dalam berhubungan di Laut China Selatan.
”ASEAN berharap COC selaras dengan UNCLOS dan berbagai norma hukum internasional lainnya. ASEAN juga sangat berharap COC segera selesai (dibahas) dan diterapkan oleh setiap negara,” kata Hung Son.
Menurut Hung, ada harapan amat tinggi pada China sebagai negara besar. China diharapkan mematuhi UNCLOS dan aneka norma internasional lain di kawasan.
Jadi tantangan
Peneliti Chulalongkorn University, Kavi Chongkittavorn, menyebut, COC menjadi salah satu tantangan hubungan ASEAN-China. Tantangan lain adalah Pandangan ASEAN tentang Indo-Pasifik (AOIP).
Sejak lama, Beijing cenderung berkeberatan dengan konsep itu. Sebab, Beijing memandang konsep itu sebagai cara Amerika Serikat dan sekutunya untuk menghadang China di kawasan. ASEAN memang berusaha membuat konsep sendiri, antara lain lewat AOIP.
Dosen pada Foreign Policy University China, Yue Yang, menyebut bahwa ada masalah kepercayaan di antara ASEAN dan China. Persoalan itu terus mewarnai relasi yang secara resmi berlangsung 30 tahun. ”Ada kecemasan di antara anggota ASEAN,” ujarnya.
Meski demikian, hubungan ASEAN-China terbukti akan terus berkembang. Sebab, jauh sebelum diformalkan, masyarakat ASEAN-China sudah berhubungan sejak ribuan tahun lalu. Pada beberapa sisi ada kesamaan tradisi dan budaya di antara masyarakat ASEAN-China. Persamaan-persamaan itu menjadi salah satu modal untuk meningkatkan hubungan ASEAN-China.
Sekretaris Jenderal ASEAN Lim Jock Hoi mengatakan, China penting bagi ASEAN tidak hanya karena sejarah. China adalah mitra dagang terbesar ASEAN. Selain itu, China menjadi yang pertama untuk berbagai jenis kerja sama ASEAN dengan mitra di luar kawasan. Beijing menjadi negara pertama di luar kawasan yang menandatangani perjanjian persahabatan dan kerja sama (TAC), perdagangan bebas, hingga dialog.
Selama pandemi, hubungan dagang ASEAN-China terus berkembang. Hal itu menunjukkan kuatnya hubungan keduanya. Apalagi, seperti disampaikan Yang, masyarakat ASEAN-China sudah lama berhubungan dengan berbagai cara.
Pihak luar
Bagi Kavi, AOIP adalah bukti lain kegagalan ASEAN-China menentukan narasi untuk dialog mereka. Dialog ASEAN-China kerap kali membahas narasi yang pertama kali diembuskan pihak luar. Kegagalan itu menjadi salah satu kendala dalam upaya peningkatan hubungan ASEAN-China.
Kegagalan itu juga ironi karena hubungan ASEAN-China sudah berlangsung 30 tahun. China menjadi pihak pertama untuk berbagai kerja sama dengan ASEAN. Karena itu, menurut Kavi, penting bagi ASEAN-China untuk menemukan narasi sendiri dalam hubungan mereka.
Di sisi lain, Hung Son dan Kavi menilai selama ini ASEAN relatif mandiri dari China ataupun mitra lainnya. Bagi Kavi, hal itu, antara lain. tecermin dari pelaksanaan kerja sama ASEAN-China.
Jika ASEAN menerima, pelaksanaannya akan cepat. Jika ASEAN keberatan dengan konsep dari China, pelaksanaan akan terhambat aneka hal dengan beragam bentuk rintangan. ”Salah satu yang sering diajukan ASEAN adalah kami punya banyak anggota dan punya pendapat masing-masing,” ujarnya.
Hung Son mengatakan, ASEAN akan selalu beragam dan punya keputusan bervariasi. ASEAN akan selalu berusaha berhubungan dengan pihak mana pun. ”ASEAN tidak bisa didikte siapa pun, sikapnya akan tetap beragam,” katanya. (REUTERS/CAL)