China Terus Ganggu Kedaulatan Filipina di Pulau Thitu
Laut China Selatan menjadi isu paling panas dan sensitif dalam hubungan China dan Filipina dalam tiga bulan terakhir.
Oleh
Pascal S Bin Saju
·4 menit baca
MANILA, SABTU — China terus berusaha mengganggu kehadiran Filipina, negara tetangga yang secara de facto telah menguasai Pulau Thitu di gugus Kepulauan Spratly, Laut China Selatan. Meski belasan nota protes diplomatik sudah dikirim ke Beijing, kapal-kapal China belum juga keluar dari perairan di sekitar Thitu.
Otoritas Filipina, Sabtu (29/5/2021), kembali menuntut China menarik semua kapal, termasuk kapal-kapal nelayan, dari sekitar Pulau Thitu. Tuntutan kembali disampaikan Manila setelah militer China kembali menegaskan kedaulatannya di pulau tersebut dan bersumpah untuk melindunginya.
Pulau Thitu secara de facto dikelola Pemerintah Filipina. Namun, juru bicara Kementerian Pertahanan China Tang Kefei, Kamis (27/5/2021), kembali mengatakan bahwa China ”dengan tegas menentang” setiap kehadiran atau perkembangan Filipina di Pulau Thitu.
”Militer China akan dengan teguh menjaga wilayah nasional, kedaulatan, dan hak maritimnya. Juga dengan tegas menjaga perdamaian dan stabilitas di Laut China Selatan,” kata Tang, tanpa memerinci dalam pertemuan bulanan di Beijing.
Beijing pada April lalu menyerukan agar Filipina menarik kapal-kapalnya dari wilayah sengketa tersebut. Kemudian, Presiden Filipina Rodrigo Duterte mencemoohnya karena merasa dilecehkan Beijing. Sebab, selama berbulan-bulan sebelumnya Beijing tidak mau menggubris tuntutan Manila setelah mengerahkan sekitar 200 kapal nelayan, yang diduga diawaki milisi, ke perairan sekitar Thitu.
Laut China Selatan menjadi isu paling panas dan sensitif dalam hubungan China dengan Filipina dalam tiga bulan terakhir, sejak awal Maret. Manila secara tegas menolak seruan Beijing untuk menarik kapal dari wilayah sengketa yang diperebutkan di Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Filipina, termasuk di Pulau Thitu.
Departemen Luar Negeri Filipina di Manila, Sabtu ini, mengatakan, pihaknya telah mengajukan protes diplomatik lagi terhadap ”penyebaran yang tidak henti-hentinya, kehadiran yang berkelanjutan, dan kegiatan ilegal aset maritim China serta kapal penangkap ikan di sekitar Pulau Pagasa”. Pagasa adalah nama Pulau Thitu menurut Filipina, yang oleh China disebut Zhongye Dao.
Manila melalui departemen tersebut menuntut China agar menarik semua kapalnya dari sekitar Pagasa yang, oleh Departemen Luar Negeri Filipina di Manila dikatakan ”adalah bagian integral dari kedaulatan dan yurisdiksi Filipina”.
Pulau seluas 37,2 hektar itu, pulau terbesar dari sembilan pulau, terumbu karang, dan beting yang ada di gugus Kepulauan Spratly, dikuasai pasukan Filipina. Manila mendaftarkan Pulau Thitu dan fitur-fitur di sekitarnya sebagai bagian integral dari wilayah kota di barat Provinsi Palawan.
Selain militer dan polisi, komunitas nelayan Filipina sudah eksis di Thitu. Filipina telah membangun jalur pantai untuk memungkinkan berlabuhnya kapal angkatan laut dan kargo. Pulau tersebut bahkan diarahkan menjadi pusat logistik militer Filipina di Laut China Selatan.
Otoritas Filipina sekarang memacu pembangunan fisik, dengan melakukan aktivitas seperti menurunkan bahan bangunan dan alat berat untuk proyek-proyek baru. Ada pula perbaikan dan perpanjangan landasan pacu yang terkikis air laut, pembuatan pabrik es untuk nelayan, dan pembangunan barak-barak militer.
Proses yang dilakukan otoritas Filipina di Pulau Thitu seperti berkejaran dengan upaya serupa yang dijalankan otoritas China dan Vietnam di pulau-pulau lain yang diklaim oleh masing-masing mereka di Laut China Selatan. Ketiganya adalah negara pengklaim dalam sengketa Laut China Selatan bersama Taiwan, Malaysia, dan Brunei Darussalam.
Konflik terbaru antara Manila dan Beijing di Pulau Thitu dimulai pada awal Maret lalu. Situasinya semakin panas setelah lebih dari 200 kapal China yang dicurigai otoritas Filipina diawaki milisi pemerintah terlihat di Whitsun Reef, atau Julian Filipe menurut Filipina. Menteri Pertahanan Filipina Delfin Lorenzo dan Menlu Filipina Teodoro Locsin memerintahkan pengusiran kapal-kapal itu.
Para pejabat Filipina kemudian mengerahkan kapal angkatan laut dan penjaga pantai untuk mengusirnya. Namun, China mengklaim bahwa mereka juga memiliki terumbu karang di sekitar Pulau Thitu yang diklaim Filipina.
Beijing mengatakan, kapal China berlindung di sana dari laut yang ganas. Filipina telah mengeluarkan lusinan protes diplomatik ke China sejak saat itu.
Locsin, awal Mei ini, meminta maaf setelah mencuit kalimat tidak senonoh yang menuntut China keluar dari wilayah yang diklaim Filipina di Laut China Selatan. Sebelumnya, dia mengecam China dengan bahasa nondiplomatik di Twitter, mengusir China dengan kalimat ”Get The Fuck Out”.
”Pembicaraan diplomatik yang ramah tak membuahkan hasil,” kata Locsin saat itu. Menteri yang terkenal vokal itu menyamakan China dengan ”orang bodoh dan jelek yang kerap memaksakan kehendak pada pria tampan yang hanya ingin jadi teman”.
Namun, Duterte pada pertengahan Mei tiba-tiba melunak setelah bersuara sangat keras mengecam sepak terjang China di Laut China Selatan. Dia mengimbau semua anggota kabinetnya dan pejabat pemerintah untuk tidak lagi berbicara secara terbuka dan keras terkait isu tersebut.
”Ini perintah saya sekarang kepada kabinet dan semua orang yang berbicara untuk pemerintah. Semua pihak agar menahan diri untuk tidak membahas Laut Filipina Barat dengan siapa pun,” kata Duterte dalam pidato nasional, Senin (17/5/2021). Laut Filipina Barat adalah sebutan yang kerap digunakan Manila untuk wilayah perairan yang diklaimnya di Laut China Selatan.
”Hanya karena kami memiliki konflik dengan China tidak berarti kami harus bersikap kasar dan tidak sopan,” kata Duterte. ”Kami memiliki banyak hal untuk berterima kasih kepada China atas bantuannya di masa lalu dan bantuannya sekarang.” (AP/REUTERS/AFP)