Pulau Thitu Jadi Pusat Logistik Militer, Filipina Siap Menghadapi China
Filipina berencana memperkuat kehadiran militer di Pulau Thitu, kawasan sengketa di perairan Laut China Selatan. Suhu ketegangan hubungan Filipina dan China akan semakin panas karena langkah tersebut.
Oleh
Pascal S Bin Saju
·5 menit baca
Laut China Selatan kini menjadi isu paling panas dan sensitif dalam hubungan China dan Filipina. Presiden Rodrigo Duterte secara tegas menolak seruan Beijing untuk menarik kapal dari wilayah sengketa yang diperebutkan di Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Filipina, termasuk di Pulau Thitu atau Pagasa menurut Filipina; Zhongye Dao menurut China; dan Dao Thi Tu menurut Vietnam.
Pulau Thitu secara de facto dikelola Filipina. Namun, China bulan lalu menyerukan agar Filipina menarik kapal-kapalnya dari wilayah sengketa tersebut. Duterte mencemoohnya karena merasa dilecehkan Beijing yang selama berbulan-bulan sebelumnya tidak mau gubris permintaan Filipina setelah mengerahkan 200 kapal nelayan, yang diduga diawaki milisi, ke wilayah sengketa itu.
Terakhir, China bahkan tidak mengindahkan dua nota protes diplomatik baru yang dikirim Manila, April 2020. Manila memprotes Beijing yang dinilai gagal menarik kapal-kapal nelayan China yang mengancam Filipina di wilayah yang disengketakan di Laut China Selatan. Manila juga menilai Beijing mengabaikan komitmen untuk mempromosikan perdamaian dan stabilitas di kawasan.
Beijing sendiri merasa terancam oleh kehadiran kapal Angkatan Laut Filipina di perairan sengketa karena Pulau Thitu berada dekat dengan instalasi militer China. Jika Beijing kini merasa terancam, Manila sudah berbulan-bulan sebelumnya juga terintimidasi. Itu sebabnya Duterte bersumpah takkan mundur satu inci pun dari perairan yang disebut Filipina sebagai Laut Filipina Barat tersebut.
Akhir pekan lalu, Filipina memutuskan meningkatkan kehadiran di ZEE-nya. Di zona yang luasnya 200 mil laut dari garis dasar pantai itu, suatu negara pantai memiliki hak atas kekayaan alam di dalamnya. Negara tersebut juga berhak menggunakan hukum, kebebasan navigasi, terbang di atas wilayah udara, dan aktivitas lain, seperti memasang kabel dan pipa. Di titik inilah Duterte menilai seruan China absurd.
Dalam pidatonya, Jumat (14/5/2021), yang disiarkan televisi nasional, Duterte membela kehadiran kapal Filipina di perairan tersebut. Menurut South China Morning Post (SCMP), untuk memperkuat kehadirannya, Manila akan membangun pusat logistik di Thitu. Setiap satuan Angkatan Laut Filipina dapat mengisi bahan bakar dan memenuhi kebutuhan lainnya di sana.
Militer dan otoritas penjaga pantai Filipina juga meningkatkan patroli perairan laut dan mengumumkan rencana untuk memasang kamera pengintai di titik-titik tertentu. ”Kami memiliki pendirian di sini. Saya ingin menegaskan, kapal kami di Pagasa dan di wilayah lain takkan mundur satu inci pun. Kalian bisa membunuh saya, tapi di sinilah saya tinggal. Di sini pula persahabatan kita akan berakhir,” kata Duterte seperti dilaporkan SCMP.
Reaksi keras Duterte muncul setelah dia mendapatkan kritik tajam di dalam negeri. Kritik menyebutkan bahwa kedekatan pemerintahan Duterte dengan China telah membuat Beijing berulang kali melecehkan Filipina dengan melanggar ZEE Filipina. Dia memang pernah melontarkan keinginan untuk meninggalkan sekutu tradisionalnya, Amerika Serikat (AS), demi China, Oktober 2016.
Pengadilan Arbitrase ICC telah memenangkan Filipina atas China terkait sengketa di Laut China Selatan. Pengadilan pada Juli 2016 memutuskan China tidak memiliki bukti legal sebagai pemilik eksklusif atas Laut China Selatan jika hanya berdasarkan patokan ”sembilan garis putus-putus” yang diklaim sepihak China. Beijing menolak dan menganggap putusan tersebut batal demi hukum.
Presiden Filipina mendapat kritik pedas minggu lalu karena pernah mengatakan bahwa putusan Pengadilan Arbitrase ICC pada tahun 2016 hanyalah ”selembar kertas” yang bisa dia buang ke tong sampah. Setelah mendapatkan kritik, Duterte dalam pidatonya di televisi pada Jumat pekan lalu mengatakan sebaliknya bahwa dia ”percaya pada keseluruhan” putusan itu.
Pusat logistik
Kini Filipina akan mengubah Pulau Thitu menjadi pusat logistik militer utama di Laut China Selatan. Menurut Asia Times, rencana Filipina ini bisa memberikan AS pijakan baru di wilayah maritim yang diperebutkan. Rencana itu kemungkinan juga akan meningkatkan suhu ketegangan yang sudah panas dengan China.
Pulau Thitu hendak dijadikan simpul pergerakan Filpina, dan mungkin juga bagi AS, di Laut China Selatan. Di sana akan dipasang kamera beresolusi tinggi untuk memantau aktivitas negara saingan, yaitu China. Manila bakal membangun fasilitas baru untuk mendukung pasukan dan patroli AL di sekitar pulau strategis di gugus Kepulauan Spratly yang juga diklaim Vietnam itu.
Selama bertahun-tahun, Pulau Thitu sudah menjadi jantung pergolakan China dan Filipina di perairan Laut China Selatan. Dalam beberapa tahun terakhir, kapal-kapal China mengerumuni Thitu untuk memblokade pengiriman logistik Filipina, termasuk material untuk membangun jalur pendaratan. Tempat pendaratan yang sekarang telah selesai akan digunakan untuk menangani material peningkatan lapangan terbang Rancudo Airfield sipil-militer Thitu.
Di pulau terbesar kedua di gugus Kepulauan Spratly itu kini terdapat dermaga angkatan laut, menara komunikasi, barak tentara, dan fasilitas desalinasi. Telah ada pula sebuah sekolah dasar untuk anak-anak para anggota militer dan sekitar 200-300 jiwa penduduk sipil. Pata Agustus 2020, Manila memberikan nama kepada enam palung pasir dan dua karang atol di daerah proksimal Thitu untuk memperkuat klaimnya.
Letak strategis pulau itu yang menonjol di Laut China Selatan dipastikan berada dalam pantauan AS, yang masih mempertahankan perjanjian pertahanan bersama dengan Filipina. Menurut Asia Times, Visiting Forces Act (VFA) yang terpisah—sekarang sedang dalam negosiasi ulang—akan memungkinkan AS menempatkan pasukan dan peralatan secara bergilir di Filipina.
Lembaga pertahanan Filipina jelas bermaksud meletakkan dasar untuk memperkuat kehadiran militer di sana. Thitu akan membantu menyeimbangkan kembali defisit Angkatan Laut Filipina yang cukup besar dibandingkan dengan China dan tetangganya.
Sengketa Laut China Selatan bukan soal baru dan akan diselesaikan dalam waktu dekat. Negara adikuasa dan pesisir yang bersaing telah mencoba untuk menegaskan klaim mereka melalui berbagai cara. Entah mulai dari pendudukan atas ’tanah tak bertuan’ (terra nullius), penaklukan, dan pertambahan atau perluasan wilayah sengketa yang ada dengan reklamasi.
Departemen Luar Negeri Filipina telah menyerah Thitu kepada angkatan bersenjata. ”Kami mengikuti Departemen Pertahanan Nasional dan Angkatan Bersenjata tentang cara terbaik memenuhi mandat konstitusional mereka, terutama terkait dengan peningkatan keselamatan, kesejahteraan, mata pencarian, dan keamanan pribadi orang Filipina di (Spratly),” kata pernyataan Kementerian Luar Negeri Filipina.
Pulau Thitu yang telah dibentengi dengan lebih baik, pada waktunya dapat memberikan dukungan kepada AS dan peningkatan kebebasan navigasi sekutunya, yang diluncurkan untuk menantang China. AS bisa saja berusaha memindahkan sistem rudal canggih untuk dipasang di Thitu dalam upaya melawan militerisasi China di Laut China Selatan.
”Kami datang dengan proposal untuk membangun (Thitu) menjadi pusat logistik sehingga kapal kami. Daripada kembali ke Puerto Princesa (di dekat Pulau Palawan, berjarak 480 kilometer) untuk mengisi bahan bakar, lebih baik mendapatkan persediaan di sana (Thitu),” kata Lorenzana kepada Asia Times.
”Dengan menjadikan (Pulau Thitu) pusat logistik, tidak akan ada gangguan dalam patroli kedaulatan kami di Laut Filipina Barat,” imbuh Lorenzana, yang menyebut nama versi Filipina untuk Laut China Selatan.
Pengerahan massal kapal milisi China ke pulau-pulau yang diduduki Manila di Spratly, termasuk Thitu, bisa dibilang telah memperkuat pertahanan Filipina. Dengan itu pula Manila secara konsisten akan terus mendorong sikap yang lebih keras kepada China di Laut China Selatan. (AFP/AP/REUTERS)