Kelompok Perlawanan Sipil Bergerilya di Provinsi Chin
Chinland Defense Force, bagian dari angkatan bersenjata Pemerintahan Persatuan Nasional melakukan perlawanan sengit terhadap aparat keamanan junta. Paus Fransiskus meminta rakyat Myanmar tidak patah arang.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
NAYPYIDAW, MINGGU – Pasukan Pertahanan Provinsi Chin (Chinland Defense Force), bagian dari angkatan bersenjata pemerintahan bayangan Pemerintahan Persatuan Nasional, Minggu (16/5), mundur dari Kota Mindat, sebuah kota di barat laut Naypidaw, Ibu Kota Myanmar, setelah pasukan keamanan merangsek ke dalam kota berpenduduk sekitar 40.000 jiwa itu. Pasukan CDF memilih melakukan taktik gerilya, meninggalkan Kota Mindat dan bergeser ke arah perbukitan yang berbatasan dengan India untuk menghindari kerusakan.
Kini di kota tersebut, hanya dihuni kaum perempuan dan anak-anak.
Pertempuran antara anggota CDF dengan militer Myanmar berlangsung sejak Kamis (13/5) setelah junta militer pimpinan Jenderal Senior Ming Aung Hlaing menetapkan status darurat militer di wilayah tersebut. Di bawah status darurat militer, warga yang melakukan salah satu dari 23 jenis pelanggaran, dikutip dari laman Irrawady, akan menjalani proses peradilan di peradilan militer dengan ancaman hukuman penjara seumur hidup, kerja paksa hingga hukuman mati, dalam perintah yang ditandatangani oleh Sekretaris junta militer Letnan Jenderal Aung Lin Dwe.
Namun, status darurat militer itu tidak membuat warga menghentikan perlawanan mereka terhadap junta.
Pertempuran antara CDF dan anggota militer junta berlangsung sejak pukul 6 pada Sabtu (15/5) pagi. Pasukan darat diperkuat oleh helikopter tempur menggempur wilayah barat Kota Mindat dan menghancurkan beberapa rumah warga.
"Kota Mindat sekarang dikepung dan bersiap untuk serangan habis-habisan oleh pasukan junta dari udara dan darat," kata sebuah pernyataan dari Organisasi Hak Asasi Manusia Chin.
Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) sempat mengeluarkan peringatan bahwa kota itu berpotensi menjadi medan pertempuran dan ribuan orang menghadapi bahaya pengungsian. Administrasi Rakyat Kotapraja Mindat, kelompok oposisi lainnya, mengklaim bahwa 15 pemuda ditangkap oleh aparat keamanan junta dan digunakan sebagai tameng manusia.
Televisi Myawaddy yang dikendalikan junta menyebut, perlawanan yang dilakukan oleh CDF adalah perlawanan yang dilakukan 1000 orang tidak bermoral. Meski CDF menghadapi tentara dengan persenjataan ala kadarnya serta granat rakitan, siaran televisi pemerintah itu mengakui bahwa CDF melakukan perlawanan yang keras terhadap militer.
Menurut sejumlah informasi, beberapa anggota pasukan keamanan junta dilaporkan tewas dan hilang. Sementara dari pihak CDF, menurut Dr Sasa – Menteri Kerja Sama Internasional NUG, lima orang warga sipil tewas ketika pasukan keamanan junta menyerbu Kota Mindat.
Pertempuran di Kota Mindat menandai kemunculan CDF yang merupakan bagian dari Pasukan Pertahanan Rakyat (PDF) yang dibentuk NUG, sebagai cikal bakal militer Myanmar nantinya. CDF sendiri adalah satu dari beberapa kelompok milisi sipil yang baru muncul di negara yang sudah memiliki sekitar dua lusin kelompok etnis bersenjata.
Khin Ma Ma Myo, Wakil Menteri Pertahanan Pemerintah bayangan, mengatakan salah satu tugas Pasukan Pertahanan Rakyat adalah melindungi gerakan perlawanan dari serangan militer dan kekerasan yang dipicu oleh junta.
Negara-negara Barat telah berulang kali mengecam penggunaan kekerasan bersenjata oleh junta militer terhadap warga sipil yang berdemonstrasi damai. Penerapan status darurat militer di Provinsi Chin serta serangan militer terhadap wilayah itu, juga kembali dikecam oleh Inggris dan Amerika Serikat.
"Penggunaan senjata perang oleh militer terhadap warga sipil, termasuk minggu ini di Mindat, memperlihatkan upaya lebih lanjut junta untuk berkuasa. Kami meminta militer untuk menghentikan kekerasan terhadap warga sipil,” kata Kedutaan Besar Inggris di Myanmar melalui akun Twitternya.
Sementara, Kedutaan Besar AS menyatakan peningkatan kekerasan terhadap warga sipil di Mindat dan berbagai laporan tentang penembakan dan kekejaman junta terhadap warga sipil akan dikirim ke penyelidik PBB. Keduanya mendesak agar junta menghentikan penggunaan kekerasan bersenjata terhadap warga sipil.
Pesan Paus Fransiskus
Paus Fransiskus, pemimpin umat Katholik dunia, menyelenggarakan misa khusus untuk komunitas dan warga Myanmar, Minggu (16/5), di Vatikan. Beberapa ratus orang, banyak dari mereka pelajar dan biarawan-biarawati dari Myanmar, bergabung dengan Paus Fransiskus di Basilika Santo Petrus untuk kebaktian dan diakhiri dengan seruan penghentian kekerasan di Myanmar.
Dalam pesannya, Paus Fransiskus mengatakan, rakyat Myanmar tidak boleh putus asa ketika berhadapan dengan kejahatan atau membiarkan diri mereka terpecah belah.
"Negara Myanmar yang Anda cintai sedang mengalami kekerasan, konflik, dan penindasan. Dia (Yesus Kristus) tidak pasrah pada kejahatan, Dia tidak membiarkan dirinya diliputi oleh kesedihan, Dia tidak mundur ke dalam kepahitan dari yang kalah dan kecewa," kata Paus dalam homiliyang diucapkan dengan keras, Paus mendesak umat untuk menarik inspirasi dari jam-jam terakhir Yesus Kristus sebelum penyalibannya.
Paus Fransiskus pernah mengunjungi Myanmar pada 2017. Paus adalah salah satu pemimpin global yang telah berulang kali mengecam kudeta militer di Myanmar.
Dia mengatakan, rakyat Myanmar tidak boleh kehilangan keyakinan atau harapan mereka. Dia mendesak rakyat Myanmar untuk tidak menyerah pada "logika kebencian dan balas dendam", atau untuk mengompromikan nilai-nilai mereka. “Persatuan itu penting,” kata Paus. (AP/Reuters)